Homili 19 Oktober 2018

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XXVIII

Bacaan 1 : Ef 1:11-14

Mazmur : Mzm 33:1-2.4-5.12-13

Injil : Luk 12:1-7

Hidup Kristen Sejati

Saya mau menjadi orang Kristen Sejati! Ini adalah sebuah janji yang diucapkan seorang bapak di hadapan Tuhan setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan dosa. Ketika memasuki usia yang ke-60 ia mulai menyadari bahwa ia belum terlambat untuk menjadi orang terbaik di hadapan Tuhan, atau orang Kristen sejati di hadapan Tuhan dan sesama. Ia mulai mendekatkan diri ke Gereja, berpartisipasi dalam berbagai aktivitas gerejani. Ia perlahan namun pasti, berusaha untuk menjadi yang terbaik. Ia menunjukkan kemurahan hatinya, selalu siap untuk menolong sesama dan berperilaku baik. Semua orang juga mengaguminya karena ia sungguh-sungguh mau berubah. Ia juga mengatakan bahwa ini saatnya ia kembali kepada Tuhan. Pada saatnya nanti dipanggil Tuhan,ia tidak akan membawa apapun kepada Tuhan. Ia hanya membawa dirinya yang fana.

Saya mendengar dan menyimak semua yang diakuinya dalam sharing pengalamannya di hadapan Tuhan dan sesama. Hatiku merasa bangga karena ada orang yang berani menyadari hidupnya sebagai orang berdosa di hadapan Tuhan. Memang zaman ini sulit untuk menemukan orang yang jujur dengan dirinya sebagai orang berdosa. Sulit menemukan orang yang masih memiliki perasaan bersalah. Tuhan menggunakan bapa ini untuk mengubah orang lain yang mendengar sharing pengalamannya.

Penginjil Lukas melanjutkan kisah Yesus dalam Injil karangannya. Yesus sedang dalam perjalanan menuju ke Yerusalem. Dalam perjalanan-Nya bersama para murid-Nya, Ia juga menemukan berbagai perilaku manusia, terutama yang selalu berseberangan dengan Tuhan Yesus. Mereka adalah kaum Farisi dan para ahli Taurat. Ia mengambil pengalaman-pengalaman tertentu untuk mendidik kita semua yang membaca dan mendengar Injil zaman ini. Salah satunya adalah bagaimana menjadi pengikut-Nya yang sejati.

Mula-mula Yesus mengingatkan para murid-Nya untuk berhati-hati terhadap ragi. Yesus mengatakan bahwa ragi adalah sebuah kelemahan kaum Farisi terutama sikap mereka yang penuh kemunafikan. Tentu saja Yesus tidak sedang berbicara tentang ragi roti melainkan tentang ajaran-ajaran dan sikap legalistis kaum Farisi yang sebenarnya menunjukkan kemunafikan mereka. Artinya apa yang mereka ajarkan, yang mereka ungkapkan tidak sesuai dengan kehidupan mereka yang nyata. Mulut boleh manis tapi hidup tidak sinkron dengan hidupnya. Murid Kristus sejati tidak akan jatuh dalam kemunafikan semata. Ia akan menunjukkan keaslian wajah Kristus yang berbelas kasih, adil, jujur dan lain sebagainya.

Tuhan Yesus lalu mengajak para murid-Nya untuk berani berkata benar dalam mewartakan Injil. Mereka mewartakan Injil dalam kebenaran sebab apa yang mereka wartakan akan menjadi mengubah seluruh hidup orang lain. Ia tegas mengatakan: “Tidak ada sesuatupun yang tertutup yang tidak akan dibuka dan tidak ada sesuatupun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui. Karena itu apa yang kamu katakan dalam gelap akan kedengaran dalam terang, dan apa yang kamu bisikkan ke telinga di dalam kamar akan diberitakan dari atas atap rumah.” (Luk 12:2-3). Tugas seorang rasul adalah mewartakan kasih dan kebaikan Tuhan dalam Injil. Tentu bukanlah hal yang mudah namun para rasul harus berani mewartakannya tanpa henti. Hanya dengan demikian Injil akan mengubah hidup banyak orang.

Seorang Kristen sejati tidak akan dikuasai oleh roh ketakutan. Ia tidak akan takut dalam mewartakan Injil dan menyebarkan kasih dan kebaikan Tuhan. Tuhan mengasihi segala ciptaan bahkan burung pipit yang kecil sekalipun dikasihi Tuhan. Tuhan tidak melupakan mereka, apalagi manusia yang diciptakan sewajah dengan-Nya? Tuhan akan mengasihi manusia tanpa batas. Rambut kepala saja terhitung semuanya. Jadi Tuhan memang mengenal kita tiada batasnya. Dia bahkan mengatakan bahwa kita lebih berharga dari pada burung pipit.

Tuhan Yesus hendak mengatakan apa kepada kita pada hari ini. Pertama, supaya kita selalu bersatu sebagai saudara. Kita adalah utusan Tuhan yang siap untuk mewartakan kesatuan kita sebagai manusia dan kesatuan kita dengan-Nya sebagai Allah. Kedua, butuh kemampuan untuk mewartakan Injil dengan sukacita. Kasih karunia memampukan kita untuk semakin setia dalam mewartakan Injil dengan sukacita. Sikap bathin yang harus kita bangun adalah menjauhkan diri dari aneka perasaan takut. Jangan takut kepada manusia. Sikap yang paling tepat adalah takut akan Tuhan.

Santu Paulus menguatkan kita ketika mengatakan:  “Di dalam Dia (Kristus) kamu juga karena kamu telah mendengar firman kebenaran, yaitu Injil keselamatanmu di dalam Dia kamu juga, ketika kamu percaya, dimeteraikan dengan Roh Kudus, yang dijanjikan-Nya itu.” (Ef 1:13). Kita percaya akan kasih dan kebaikan Tuhan untuk yang mengubah kita untuk semakin sepadan dengan rencana keselamatan-Nya. Mari kita belajar untuk bertumbuh sebagai pengikut Kristus sejati.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply