Homili 10 November 2018

Hari Sabtu Pekan Biasa ke-XXXI
Peringatan Wajib St. Leo Agung
Flp. 4:10-19
Mzm. 112:1-2,5-6,8a,9
Luk. 16:9-15

Apakah kamu masih setia?

Saya pernah merayakan misa syukur pernikahan yang ke-40 atau panca windu pernikahan dari sepasang suami dan istri. Perayaan Ekaristi disiapkan dengan baik dan berlangsung sangat meriah. Usai misa syukur, pasutri yang sudah menjadi opa dan oma ini memberikan sambutan singkat dan sangat mengesankan bagi semua yang hadir. Sambutan berupa kesaksian hidup pribadi mereka itu dimulai dengan dialog singkat di antara mereka berdua. Sang oma bertanya kepada opa: “Apakah engkau masih setia kepadaku?” “Tentu saja saya setia dari dahulu hingga saat ini dan selamanya” Jawab opa. Opa balik bertanya kepada oma: “Apakah engkau masih setia kepadaku?” “Ya, saya setia selamanya” Jawab oma. Dialog sederhana ini disambut dengan tepuk tangan meriah dari seluruh keluarga besar dan umat yang hadir dalam perayaan syukur ini. Banyak pasangan suami dan istri yang hadir merasakan peneguhan dari dialog singkat ini. Mereka mengakui bahwa kesetiaan dalam pernikahan itu harus sampai keabadian bukan setengah-setengah saja. Orang boleh berkata tentang kesetiaan tetapi selalu sulit untuk menghayatinya.

Pada hari ini kita semua mengenang Santu Leo Agung. Beliau adalah seorang Romawi yang hidup sekitar abad kelima. Ia diangkat menjadi Paus setelah Paus Sixtus wafat. Masa kepausannya adalah masa yang sulit bagi Gereja Katolik. Apa yang terjadi? Pada saat itu ada banyak pasukan barbar yang menyerang umat Kristiani, dan di dalam Gereja sendiri ada beberapa orang yang menyebarluaskan ajaran iman yang sesat (bidaah). St. Leo Agung sebagai Paus membela ajaran iman katolik dengan hidup yang nyata dan pemikiran-pemikirannya yang cerdas. Ia sangat berani menghadapi dan melumpuhkan para musuh Gereja. Mereka yang sudah tersesat dan kembali ke Gereja diterimanya kembali dengan senang hati. Kisah hidup St. Leo Agung menandakan satu nilai luhur yang ia miliki yaitu kesetiaan. Ia menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan Yesus dan Gerejanya.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini juga membicarakan nilai kesetiaan dalam hidup bersama. St.Paulus adalah rasul dan misionaris agung. Ia pergi ke tanah-tanah misi dalam perjalanan misionernya dengan mengandalkan bakat dan kemampuannya untuk bertahan hidup. Namun ia sangat bersyukur karena di tanah-tanah misi, ia juga mengalami kesetiaan dari orang-orang yang merasakan pelayanannya. Sebab itu ia bersyukur dan berkata: “Aku sangat bersukacita dalam Tuhan, bahwa akhirnya pikiranmu dan perasaanmu bertumbuh kembali untuk aku. Memang selalu ada perhatianmu, tetapi tidak ada kesempatan bagimu” (Flp 4:10). Rasa syukur mendalam dari Paulus karena orang-orang Filipi masih setia kepadanya, meskipun sebenarnya Paulus dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Paulus sadar diri bahwa Tuhan selalu menyertainya. Tuhan setia kepadanya maka ia pun setia kepada-Nya. Sebab itu ia berkata: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Flp 4:13). Kesetiaan adalah sebuah pengalaman nyata. Paulus tidak hanya mengalami kesetiaan dari jemaat di Filipi saat masih berada di antara mereka. Ketika sudah berkarya di Tesalonika, ia masih mengalami kasih dan kesetiaan dari jemaat di Filipi. Ia menerima bantuan-bantuan tertentu, namun yang paling ditekankan oleh Paulus adalah ‘bukanlah pemberian itu, melainkan buahnya, yang makin memperbesar keuntunganmu’ (Flp 4:17). Pengalaman akan kasih dan kesetiaan jemaat ini tetap diingat Paulus dan ia mendoakan mereka dengan berkata: “Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus” (Flp 4:19).

Dalam bacaan injil, Tuhan Yesus mengingatkan para murid untuk menunjukkan kesetiaan kepada-Nya. Tuhan Yesus mula-mula membuka pikiran mereka supaya mengerti bahwa setiap orang dapat memiliki harta benda asalkan dapat digunakan secara wajar, misalnya saling berbagi dengan orang-orang yang sangat membutuhkannya. Istilah ‘Mamon’ berkaitan dengan semua harta kekayaan yang diperoleh dengan tidak wajar dan digunakan bagi diri sendiri. Hal yang penting di sini adalah kesetiaan dalam hidup. Orang-orang yang memiliki harta kekayaan haruslah bersikap bijaksana dalam menggunakannya. Harta duniawi memang diperlukan saat ini dan sifatnya sementara tetapi yang terpenting adalah kesetiaan untuk mencari harta surgawi. Harta duniawi adalah perkara-perkara kecil sedang harta surgawi adalah perkara-perkara besar. Kalau kita setia pada harta duniawi dengan saling berbagi dan bersikap adil kepada sesama maka kita juga berusaha untuk setia pada harta surgawi yakni kehidupan kekal. Untuk itu Tuhan Yesus berkata: “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.” (Luk 16:10). Maka setiap pribadi harus menjadi administrator yang adil dan jujur dalam mengelola harta duniawi sebagai perkara kecil. Dengan demikian harta surgawi berupa nilai-nilai rohani dan abadi dapat dengan mudah kita miliki.

Apakah kita masih setia kepada Tuhan dan sesama? Perkataan Yesus ini patut kita renungkan lebih lanjut tentang kesetiaan Tuhan: “Kamu membenarkan diri di hadapan orang, tetapi Allah mengetahui hatimu. Sebab apa yang dikagumi manusia, dibenci oleh Allah” (Luk 16:15). Berusahalah untuk setia selamanya dengan pasangan hidupmu bukan hanya dengan harta duniawi! Setialah untuk mencari dan bersahabat dengan harta surgawi.  St. Leo Agung, doakanlah kami. Amen.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply