Homili Hari Minggu Biasa ke-XXXII/B – 2018

Hari Minggu Biasa XXXII/B
1Raj. 17:10-16
Mzm. 146:7,8-9a,9bc-10
Ibr. 9:24-28
Mrk. 12:38-44

Mencintai dengan segenap hati

Saya pernah membaca kisah hidup sepasang suami dan istri di sebuah majalah. Isi ringkas kisah pasutri dimaksud seperti ini: Mulanya mereka adalah pasangan yang bahagia. Kedua-duanya memiliki bagian-bagian tubuh yang sempurna adanya pada saat menikah. Mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki yang sudah menjadi remaja. Pada suatu hari istrinya melakukan perjalanan dan kendaraan yang ditumpangi jatuh ke dalam tebing yang cukup dalam. Sang istri selamat, tetapi kedua kaki dan tangannya harus diamputasi. Tentu saja ini adalah pilihan yang sulit bagi pasangan suami dan istri ini. Namun mereka harus memilih yang terbaik. Kaki dan tangan sang istri diamputasi dan sang suami harus bekerja keras untuk anak dan istrinya, serta merawat mereka berdua. Pada saat merayakan HUT Pernikahan ke-25, suaminya membagi pengalamannya tentang kebersamaan mereka. Ia mengatakan bahwa pada saat menikahi wanita yang kini menjadi istrinya, ia merasa bahagia. Hidupnya menjadi sempurna. Tetapi saat ini ia merasa lebih bahagia dan semakin sempurna karena dapat memberikan seluruh hidup dan cintanya kepada istri dan anaknya. Ternyata mencintai dengan segenap hati bukan hanya pada saat-saat yang membahagiakan. Mencintai dengan segenap hati juga dilakukan pada saat sedang berada dalam dunia penderitaan dan tangisan. Ini adalah sebuah pengalaman yang super! Jarang orang menerima dan menghayati cinta dengan segenap hati.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menuntun kita untuk mengerti dengan baik tentang makna mencintai dengan segenap hati. Mencintai dengan segenap hati itu ditandai dengan sikap memberi dengan hati tanpa ada paksaan apapun dan menghargai hal-hal yang kecil dan sederhana dalam hidup setiap hari. Dalam bacaan pertama dari Kitab Pertama Raja-Raja, kita mendengar kisah tentang perjumpaan antara nabi Elia dan seorang janda tanpa nama di Sarfat. Nabi Elia menjumpai janda itu di gerbang kota, sedang mengumpulkan kayu api. Nabi Elia meminta kepada janda itu sedikit air dan sepotong roti untuk di makan. Janda di Sarfat itu dengan jujur mengakui di depan nabi Elia bahwa ia hanya memiliki segenggam tepung di dalam tempayan dan sedikit minyak di dalam buli-buli. Ia mengumpulkan kayu api untuk mengolahnya, setelah janda dan anaknya memakan roti itu mereka akan mati karena tidak ada lagi persediaan makanan bagi mereka.

Nabi Elia sebagai utusan Tuhan meyakinkan janda yang sedang berkekurangan ini supaya jangan takut, tetapi mengikuti kemauan Elia untuk membuat roti bundar kecil baginya, kemudian baru membuat roti bunda kecil lainnya untuk ia dan anaknya sendiri. Untuk lebih jelas Nabi Elia berkata dalam nama Tuhan: “Tepung dalam tempayan itu tidak akan habis dan minyak dalam buli-buli itupun tidak akan berkurang sampai pada waktu Tuhan memberi hujan ke atas muka bumi.” (2Raj 17:14). Janda itu melakukan apa yang dikatakan nabi Elia sehingga dengan sedikit yang mereka miliki yaitu tepung segenggam dan minyak dalam buli-buli itu tidak pernah habis dan mereka dapat bertahan hidup. Janda di Sarfat memberi dari kekurangan dan tidak pernah berkekurangan juga. Kisah ini menunjukkan bahwa nabi Elia percaya kepada Tuhan bahwa Ia akan tetap mengasihi sampai tuntas umat-Nya dengan mencukupkan semua kebutuhan mereka, janda sendiri menunjukkan cinta kasihnya dengan mentaati perintah Tuhan yang disampaikan melalui nabi Elia.

Kisah janda di Sarfat serupa dengan kisah janda di dalam bacaan Injil. Tuhan Yesus dan para murid-Nya sedang berada di dalam Bait Suci di Yerusalem. Ia duduk berhadapan dengan peti persembahan dan memperhatikan bagaimana perilaku orang-orang yang datang untuk memberi persembahan mereka. Ia melihat banyak orang kaya memasukkan uang ke dalam peti dengan jumlah yang besar. Bersamaan dengan orang kaya itu, ada seorang janda miskin tanpa nama yang memasukkan dua peser yaitu satu duit. Melihat sikap dan ketulusan dalam memberi dari sang janda miskin ini, Yesus terguugah hati-Nya untuk memujinya karena ia tulus memberi. Yesus berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.” (Mrk 12:43-44).

Mengapa janda miskin ini memberi semua yang ia miliki? Mengapa ia tidak memikirkan kelanjutan hidupnya? Janda miskin ini memiliki hati yang murni. Ia percaya bahwa apa yang diberikannya kepada orang yang lebih membutuhkan di dalam peti persembahan, ia juga akan menerima lebih dari yang ia berikan. Ia merasa yakin karena semua yang ada di dalam peti persembahan juga akan diberikan kepada orang-orang yang sangat membutuhkan termasuk dirinya sendiri. Maka meskipun ia memberi dari kekurangan namun ia akan menerima lebih dari itu. Siapa yang mengasihi akan menerima kasih yang lebih dari kasih yang sudah diberikannya.

Pada hari ini kita merasa dikuatkan oleh dua orang yang lemah di mata manusia tetapi kuat di mata Tuhan, yakni janda di Sarfat dan janda di Yerusalem. Kedua-duanya tidak memiliki nama, untuk mewakili kita semua supaya dalam memberi jangan pernah berpikir untuk menerima. Apa yang diberikan tangan kiri janganlah diketahui tangan kananmu. Mereka berdua memberi dengan sukacita dan akan menerima kembali dengan sukacita. Artinya bahwa ketika mereka mengasihi dengan segenap hati maka kasih itu akan kembali kepadanya dan abadi. Kasih yang sempurna itu tulus, penuh pengurbanan, tidak setengah-setengah tapi sampai tuntas. Tuhan Yesus sudah membuktikannya. Bunda Maria dan Santu Yusuf sudah membuktikannya. Para orang tua kita yang setia sampai mati sebagai pasangan hidup sudah membuktikannya. Maka kita belajar untuk mengasihi dengan segenap hati sampai tuntas.

Tuhan Yesus menunjukkan cinta kasih dengan seganap hati dan sampai tuntas bagi manusia. Sepanjang hidup-Nya Ia mengasihi orang-orang miskin, sakit dan menderita. Cinta kasih yang lebih besar ditunjukkan dalam paskah-Nya. Penulis surat kepada jemaat Ibrani sangat jelas menulis: “Yesus Kristus adalah Imam Agung yang satu kali saja mengurbankan diri-Nya untuk menanggung dosa banyak orang”. Para imam yang masuk ke dalam bait Suci, mereka mempersembahkan kurban bakaran berupa hewan, ia tidak mengurbankan dirinya sendiri. Hanya Yesus Kristus yang melalui salib, mengurbankan diri-Nya satu kali untuk selama-lamanya. Mencintai dengan segenap hati berarti berkurban untuk kebahagiaan dan keselamatan orang lain. Yesus sudah memberi contoh mengasihi dengan segenap hati maka marilah kita juga mencintai sesama kita dengan segenap hati. Kita berempati, berbagi dengan sukacita untuk kebahagiaan mereka yang sangat-sangat membutuhkan.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply