Homili 5 Januari 2019

Hari Sabtu, 5 Januari
1Yoh. 3:11-21
Mzm. 100:2,3,4,5
Yoh. 1:43-51

Sebuah kasih yang indah

Seorang sahabat membagikan pengalamannya tentang kasih Allah. Ia pernah berpikir bahwa mengasihi itu cukup diungkapkan saja dalam kata-kata dan dengan sendirinya akan dirasakan oleh orang yang mendengarnya. Sebab itu bertahun-tahun dia hidup dalam alam pikir seperti ini. Ia baru sadar diri ketika sudah menikah dan tinggal bersama pasangan hidupnya. Setiap kali ia mengungkapkan kalimat ‘I love you’ kepada pasangannya, pasangannya terkadang mengangguk, tetapi pada suatu ketika pasangannya bertanya, “Buktikanlah makna I love you itu dong”. Ini merupakan saat yang membuatnya berubah total. Ia menyadari bahwa kasih itu bukan hanya sekedar diungkapkan oleh mulut tetapi harus nyata dalam perbuatan-perbuatan baik. Sejak saat itu ia merasa dibaharui dan memulai lagi komitmen kasihnya bagi pasangan hidupnya.

Bagi saya ini adalah sebuah pengalaman yang sederhana namun memiliki makna yang mendalam. Banyak di antara kita yang masih terjebak dalam kata-kata cinta dan kasih dan lupa bahwa seharusnya kasih itu nyata dalam perbuatan-perbuatan baik yang dapat dialami oleh setiap pribadi. Yohanes dalam bacaan pertama mengatakan: “Anak-anaku terkasih, inilah berita yang telah kamu dengar dari mulanya, yaitu bahwa kita harus saling mengasihi.” (1Yoh 3:11). Ini selalu menjadi ungkapan nyata dalam komunitas Yohanes supaya mereka saling mengasihi sebagai saudara dan sahabat. Kita harus saling mengasihi bukan hanya dalam kata-kata tetapi dalam perbuatan-perbuatan baik yang dapat kita lakukan bagi sesama manusia. Ia mencontohkan kisah Kain dan Abel. Kain berlaku jahat. Ia tidak berbuat baik di hadapan Tuhan dan adiknya sendiri. Sebab itu ia membunuh Abel. Abel melakukan perbuatan benar di hadapan Tuhan. Ia mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan. Maka satu rumusan penting bagi kita ada selalu berbuat baik bagi sesama manusia dan menghindari kebiasaan berbuat jahat dalam hidup kita.

Hal-hal penting yang merupakan keperihatinan Yohanes di dalam komunitasnya adalah sedapat mungkin menjauhkan diri dari sikap membenci saudara-saudari kita, tidak menjadi orang yang pelit atau gila harta duniawi. Sikap-sikap ini akan menghalangi untuk mengasihi dan berbuat baik. Maka sikap yang tepat adalah selalu mengasihi dan jangan pernah berhenti. Mengasihi itu membantu kita untuk keluardari maut ke hidup. Sikap lain yang penting adalah selalu berempati dengan sesama yang berkekurangan atau yang miskin. Membangun rasa empati yang mendalam akan memampukan kita untuk semakin mengasihi sesama yang lain. Hanya orang-orang yang pelit yang sulit untuk berbagi kasih kepada sesamanya.

Yohanes akhirnya sampai kepada sebuah penegasan yang sempurna. Ia berkata: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.” (1Yoh 3:18). Kita sudah terbiasa mengasihi dengan kata-kata manis dan dengan lidah. Kita lupa bahwa kasih haruslah menjadi nyata dalam perbuatan dan tindakan yang baik dan dalam kebenaran. Perbuatan-perbuatan baik yang kita lakukan adalah cerminan kasih kita bagi orang yang mengalami kebaikan kita. Berbuat baik itu sesuatu yang membahagiakan hati dan budi kita. Kita mengasihi dalam kebenaran sebab bagi Yohanes, kita juga berasal dari kebenaran. Hanya dengan demikian kita dapat menghadap Allah dengan sukacita dan tenang di hadirat-Nya.

Bacaan Injil hari ini juga mengungkapkan sebuah kasih yang indah. Konon Yesus sudah berada di Galilea. Ia berjumpa dengan Filipus dan mengajaknya untuk mengikuti Yesus. Selanjutnya Filipus berjumpa dengan Natanael atau Bartolomeus. Filipus bersaksi tentang pengalamannya bersama Yesus: “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.” (Yoh 1:45). Natanael sangat kritisi maka ia pun berkata: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (Yoh 1:46). Filipus tidak mau berdebat dengan Natanael maka ia hanya berkata: “Mari dan lihatlah!” Dialog kedua sahabat ini menunjukkan semangat untuk mencari kebenaran sejati yaitu Yesus Kristus. Mereka boleh mencari-Nya namun ternyata Dialah yang lebih dahulu mengenal mereka yang mencari-Nya.

Reaksi Yesus terhadap Natanael adalah: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (Yoh 1: 47). Natanael memang keheranan dengan sapaan Yesus. Ia merasa heran karena sebelum ia datang kepada-Nya, Ia sudah mengenalnya di bawah pohon ara. Pohon ara adalah lambang kedamaian. Duduk di bawah pohon ara adalah upaya seorang murid untuk mencari kebijaksanaan. Kini Natanel benar-benar merasa damai karena menemukan kebijaksanaan sejati yaitu Yesus Kristus. Relasi kasih yang indah menjadi sempurna dalam pengakuan iman: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!” (Yoh 1:49).

Kita berterima kasih kepada Tuhan, sebab Ia juga membantu kita untu hidup dalam kasih-Nya. Mari kita belajar untuk mengasihi seperti Tuhan sendiri sudah mengasihi kita. Ia tidak hanya berkata tentang kasih tetapi Ia melakukan kasih dalam perbuatan dan kebenaran. Kasih yang paling agung adalah kerelaan-Nya untuk berkurban dengan menyerahkan nyawa bagi sahabat-sahabat-Nya. Mari memandang Yesus dan kita akan mengerti tentang kasih yang tulus.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply