Homili 11 Januari 2019

Hari Jumat, sesudah penampakan Tuhan
1Yoh. 5:5-13
Mzm. 147:12-13,14-15,19-20
Luk. 5:12-16

Menerima sesama manusia apa adanya

Saya pernah diundang untuk merayakan misa syukur 25 tahun perkawinan sepasang suami dan istri. Perayaan misa syukur berlangsung dengan meriah. Rasa bahagia bukan hanya terpancar dari wajah para jubilaris, tetapi semua keluarga dan para undangan juga ikut berbahagia. Satu hal yang mengesankan semua hadirian adalah ungkapan hati mereka di depan umum. Suaminya mengatakan: “Aku menerimamu apa adanya”. Istrinya membalasnya dengan kata-kata yang sama: “Aku juga menerimamu apa adanya”. Ada beberapa orang yang tertawa sambil berbisik-bisik begini: “Bukanya ada orang tertentu yang justru mengatakan ‘aku menerimamu ada apanya?’” Saya merasa yakin bahwa saling menerima apa adanya merupakan kekuatan bagi pasutri ini sehingga mereka bertahan hingga memasuki usia perkawinan yang ke-25.

Pada hari ini Tuhan menyapa kita dengan sapaan yang indah dan teladan terbaik untuk menerima semua orang apa adanya. Santu Yohanes memulai perkataannya dalam bacaan pertama: “Saudara-saudariku terkasih, tidak ada orang yang mengalahkan dunia, selain dia yang percaya bahwa Yesus adalah anak Allah!” (1 Yoh 5:5). Pernyataan ini membuka pikiran kita untuk memahami kasih setia Tuhan Yesus bagi manusia sebagaimana digambarkan pengunjil Lukas hari ini. Dikisahkan dalam bacaan Injil bahwa Tuhan Yesus sedang berada di sebuah kota yang dihuni oleh seorang kusta yang unik. Biasanya orang-orang kusta itu dikucilkan karena dianggap najis. Namun orang kusta yang satu ini tidak malu dan sungkan kepada Yesus. Ia percaya bahwa Tuhan Yesus pasti menerimanya apa adanya.

Apa yang dia lakukan di hadapan Yesus? Ia mengetahui segala kelebihan dan kekurangannya. Ternyata ia sadar diri lebih bahwa dia memiliki banyak kekurangan dan memohon belas kasih Yesus. Posisi tubunya di depan Yesus menunjukkan kerelaannya untuk bertobat dan terungkap dalam perkataannya ini: “Tuan, jika Tuan mau, Tuan dapat mentahirkan aku.” (Luk 5:12). Orang yang dianggap najis, kotor, memiliki banyak dosa tetapi masih berani memohon kesembuhan dari Tuhan. Ia tidak tinggal dan menikmati dosa-dosanya atau mengulangi dosa-dosa yang sama. Semua ini mendorong dia untuk percaya bahwa Yesus pasti menerimanya apa adanya.

Reaksi Yesus adalah menerimanya apa adanya. Tuhan Yesus memiliki kepekaan terhadap kebutuhan si kusta ini. Tangan Tuhan Yesus penuh dengan berkat maka Ia mengulurkan tangan-Nya untuk memberkati orang kusta ini dan juga untuk menjamahnya. Yesus tidak takut dengan penyakit kusta tetapi Ia datang untuk mengalahkan kusta. Alasan utamanya adalah kasih Yesus kepada orang itu, terlepas dari dosa dan salah yang dimilikinya. Yesus berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” (Luk 5:13). Yesus juga membantu orang itu supaya tahu bersyukur kepada Tuhan dan mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang membuatnya diterima kembali di dalam lingkungannya. Maka Yesus berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti yang diperintahkan Musa, sebagai bukti bagi mereka.” (Luk 5:14). Yesus menerima orang kusta sebagai manusia yang bermartabat dan melenyapkan kusta yang dideritanya.

Apa yang hendak Tuhan Yesus katakan kepada kita? Ia peduli dengan manusia yang dikuasai oleh berbagai penyakit dan kelemahan. Ia melihat manusia sebagai pribadi yang bermartabat, yang diciptakan sewajah dengan Allah dan membebaskannya dari berbagai penyakit dan kelemahan. Ia mengasihi manusia yang mengakui atau mengimani-Nya dan menghancurkan penyakit, membersihkannya dari dosa yang kotor yang melekat dalam diri manusia. Sikap Tuhan Yesus yang menerima semua orang apa adanya ini patutlah kita ikuti dalam hidup bersama dengan orang lain. Apakah kita juga menerima semua orang apa adanya atau kita menerima yang baik dan menolak yang tidak baik? Apakah kita menerima yang sepihak dan menolak yang berlawanan dengan kita?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply