Homili 15 Maret 2019

Hari Jumad, Pekan Prapaskah I
Yeh. 18:21-28
Mzm. 130:1-2,3-4ab,4c-6,7-8
Mat. 5:20-26

Segeralah Berdamai!

Saya pernah mengikuti sebuah acara Kebangunan Rohani Katolik (KRK). Suasananya sangat meriah. Banyak lagu-lagu yang sangat menghidupkan suasana doa dan penyembahan kepada Tuhan. Orang-orang yang hadir kelihatan tersihir oleh lagu-lagu pujian dan kotbah dari Romo yang memimpin Kebangunan Rohani Katolik ini. Namun suasananya berubah seketika ketika sang Romo bertanya dengan suara nyaring: “Apakah anda sudah berdamai dengan saudaramu sendiri?” Semua umat yang hadir saling memandang satu sama lain, tersenyum malu karena mungkin banyak di antara mereka yang belum berdamai dengan saudaranya. Saya lalu berpikir bahwa orang boleh menyanyikan puji-pujian dan mengangkat doa-doa selama Kebangunan Rohani Katolik ini, sambil merenungkan Sabda Tuhan tentang damai di dalam hati manusia, namun kemampuan pribadi untuk membangun rasa damai dalam hatinya sendiri dan hati sesama belumlah cukup. Itu sebabnya mereka memilih diam dan tersenyum malu. Memang manusia itu mudah berbicara tentang damai tetapi sangat sulit untuk berdamai dengan diri dan dengan sesama manusia.

Saya mengingat kembali sebuah ulasan saya tentang damai di hati manusia yang saya tulis beberapa tahun yang lalu. Ada sebuah kutipan yang bagus dan inspiratif dari Budha, begini: “Untuk menikmati kesehatan yang baik, untuk memberikan kebahagian yang nyata di dalam keluarga, untuk membawa damai, pertama-tama, seseorang harus disiplin dan mengendalikan pikiran mereka sendiri. Jika seseorang bisa mengendalikan pemikirannya dia bisa menemukan jalan keselamatan. Dan semua kebijaksanaan dan kebaikan akan datang sendirinya kepada mereka.” Singkatnya, damai itu indah ketika masing-masing pribadi dapat berdisiplin dan mengendalikan pikirannya sendiri. Orang yang tidak memiliki disiplin diri dan tidak mengendalikan pikirannya maka akan mengalami kesulitan dalam membangun rasa damai di hatinya.

Damai itu sebuah anugerah istimewa dan indah. Tuhan Yesus sendiri saat menampakkan diri-Nya kepada para murid pada hari kebangkitan-Nya mengucapkan kata pertama: “Damai sejahtera bagimu” (Yoh 20:21). Tapi kita juga mengingat jauh sebelumnya, pada saat Ia lahir ke dunia, para malaikat mengatakan kata yang sama: “Damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:14). Damai adalah salah satu inti pewartaan Yesus bagi kita semua. Pada malam perjamuan terakhir Ia berkata begini: “Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu.” (Yoh 14:27). Damai sebagai titipan dari Tuhan bagi kita maka tugas kita adalah membawa damai kepada sesama. Yesus menyapa kita seperti ini: “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Mat 5:9).

Saya merasa bahwa pada hari ini Tuhan Yesus menyapa saya tentang kata damai ketika Ia berkata: “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Mat 5:23-24). Banyak kali saya berdoa dan merayakan misa tetapi masih ada kesulitan untuk berdamai dengan diriku dan dengan sesama. Mungkin anda menertawakan saya, tetapi itulah hidup saya. Masa prapaskah menjadi kesempatan bagi saya untuk berubah.

Apakah anda sedang membawa damai yang ada dalam hatimu kepada sesama? Damai yang Tuhan titip di dalam hatimu bukan untuk menjadi milikmu sendiri tetapi bagikanlah damai itu kepada sesama yang lain. Damai Tuhan adalah milik kita bersama. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil juga mengatakan: “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 5:20). Kita membangun rasa damai sebagai tanda bahwa kita benar-benar beriman kepada Tuhan. Kalau kita tidak mampu membangun rasa damai maka kita tidak lebih baik dari kaum pendosa.

Pada hari ini kita perlu jujur kepada Tuhan dengan mengakui diri kita sebagai orang berdosa. Semangat pertobatan merupakan jalan yang terbuka bagi kita untuk tetap bersatu dengan Tuhan dalam masa prapaskah ini. Tuhan memang tidak menghitung dosa-dosa kita tetapi Ia melihat iman kita kepada-Nya. Tepatlah perkataan ini: “Jika Engkau mengingat-ingat kesalahan ya Tuhan, siapakah yang dapat tahan?“ (Mzm 130:3).

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip doa St. Fransiskus Asisi: “Tuhan, jadikanlah aku pembawa damai”.

Tuhan,
Jadikanlah aku pembawa damai,
Bila terjadi kebencian,
jadikanlah aku pembawa cinta kasih,
Bila terjadi penghinaan,
jadikanlah aku pembawa pengampunan,
Bila terjadi perselisihan,
jadikanlah aku pembawa kerukunan,
Bila terjadi kebimbangan,
jadikanlah aku pembawa kepastian,
Bila terjadi kesesatan,
jadikanlah aku pembawa kebenaran,
Bila terjadi kecemasan,
Jadikanlah aku pembawa harapan,
Bila terjadi kesedihan,
jadikanlah aku sumber kegembiraan,
Bila terjadi kegelapan,
jadikanlah aku pembawa terang,
Tuhan semoga aku ingin menghibur daripada dihibur,
memahami daripada dipahami,
mencintai daripada dicintai,
sebab
dengan memberi aku menerima,
dengan mengampuni aku diampuni,
dengan mati suci aku bangkit lagi,
untuk hidup selama-lamanya.
Amin.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply