Homili 12 April 2019

Hari Jumat, Pekan Prapaskah ke-V
Yer. 20:10-13
Mzm. 18:2-3a,3bc-4,5-6,7
Yoh. 10:31-42

Radikalisme mengancam umat manusia

Kita tidak dapat menutup mata kita terhadap gerakan-gerakan radikalisme agama di berbagai negara. Berbagai media massa nasional dan internasional menyoroti secara intensif gerakan radikalisme agama-agama dan bahaya latennya di dalam lembaga-lembaga pendidikan. Ada dugaan gerakan radikalisme ini sudah merembes masuk ke dalam dunia pendidikan dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi. Para peneliti bahkan beranggapan bahwa paham radikalisme agama itu sudah masuk dalam kondisi darurat. Menurut Muhammad A.S Hikam dalam bukunya Deradikalisasi, beliau menerangkan bahwa gerakan radikalisme agama ini secara umum bersumber kepada aliran Wahabisme yang menekankan kemurnian hidup agama sesuai dengan hukum agama; dalam skala global paham ini mendasari gerakan NIIS dan Al Qaeda (A.S Hikam, 2018: 1). Tentu saja ujung dari gerakan radilalisme dalam konteks Indonesia adalah menolak Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI; mempraktikan sikap takfiri yang mengafirkan rekan-rekan seagama yang berbeda pandangan; dan terakhir menolak toleransi dan kerja sama dengan penganut agama lain. Secara menyeluruh radikalisme agama adalah gerak keagamaan berbasis kepada tafsiran literal hukum agama demi pemahaman dan praksis keagamaan yang lurus dan murni, dan karena itu menolak Pancasila dan toleransi.

Fenomena gerakan radikalisme agama ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Pada zaman Tuhan Yesus juga sudah ada gerakan berbusana radikalisme agama ini. Bacaan Injil hari ini membuka wawasan kita bahwa terlepas dari konsep keselamatan hanya dalam nama Yesus Kristus, dalam konteks radikalisme agama, Yesus Kristus adalah salah satu contoh korban radikalisme agama itu sendiri. Orang-orang Yahudi mengetahui semua aktivitas Yesus: Ia mewartakan Kerajaan Allah dalam kata dan tindakan. Semua perkataan Yesus penuh dengan kuasa dan wibawa yang sangat berbeda dengan para nabi yang mereka kenal. Semua tanda heran juga menjadi bukti pekerjaan Allah di tengah-tengah manusia saat itu. Namun orang-orang Yahudi tidak memiliki hati nurani yang jernih dalam memandang Yesus.

Apa yang terjadi sebenarnya? Orang-orang Yahudi tidak sepakat dengan Yesus yang mengakui Allah sebagai Bapa dan mereka juga beranggapan bahwa Yesus meniadakan hukum Taurat. Orang-orang Yahudi saat itu mau melempari Yesus dengan batu. Suasana melempari orang dengan batu adalah kekerasan fisik yang selalu dibarengi dengan kekerasan verbal. Gerakan radikalisme agama dapat nampak dalam aneka kekerasan terhadap orang yang seagama dan juga yang bukan seagama. Yesus berusaha untuk membuka wawasan orang-orang Yahudi dan mengubah mindset mereka dengan berkata: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” (Yoh 10:32). Pekerjaan baik yang Tuhan Yesus lakukan ternyata tidak mempan karena rasa benci kepada Yesus memang tidak terbendung. Orang-orang Yahudi hanya berpegang teguh pada pikiran mereka yang radikal dalam agama mereka. Inilah perkataan kaum Yahudi: “Bukan karena suatu pekerjaan baik maka kami mau melempari Engkau, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia saja, menyamakan diri-Mu dengan Allah.” (Yoh 10:33).

Tuhan Yesus coba menjelaskan diri-Nya bahwa Ia sungguh Allah dan sungguh manusia. Ia adalah yang kudus dari Allah Bapa. Namun orang-orang Yahudi tetap berprinsip bahwa Yesus menghujat Allah. Ia mengaggap diri-Nya sebagai Anak Allah maka ini artinya Yesus menghujat Allah. Namun bagi Yesus sebenarnya hal yang terpenting adalah Ia melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa. Maka Yesus dengan tegas mengatakan: “Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku, tetapi jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa.” (Yoh 10:37-38). Meskipun ada orang yang tidak menerima Yesus, namun ada juga yang percaya kepada-Nya sebab semua perkataan Yohanes benar-benar terbukti.

Pengalaman Yesus sebenarnya pernah dialami oleh nabi Yeremia dalam dunia Perjanjian Lama. Ia membagikan pengalaman penderitaannya, bahwa para musuh itu bukan orang lain tetapi mereka yang setiap hari bersama-sama dengan dia. Ia bersaksi: “Kegentaran datang dari segala jurusan! Adukanlah dia! Kita mau mengadukan dia!” Semua orang sahabat karibku mengintai apakah aku tersandung jatuh: “Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!” (Yer 20:10). Pada akhirnya, hanya Tuhan saja yang menyertai Yeremia dalam suka dan dukanya. Tuhan laksana pahlawan yang gagah perkasa melindunginya dan mempermalukan para lawan dan musuhnya.

Nabi Yeremia menunjukkan imannya kepada Tuhan Allah dalam doanya ini: “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka, sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku. Menyanyilah untuk Tuhan, pujilah Tuhan! Sebab ia telah melepaskan nyawa orang miskin dari tangan orang-orang yang berbuat jahat.” (Yer 20:12-13). Yeremia tetap menunjukan dirinya sebagai orang beriman. Tuhan adalah andalan baginya dalam kesulitan. Ia tidak merasa berjalan sendiri.

Kisah-kisah Yesus dan nabi Yeremia yang kita baca hari ini membawa kita kepada sebuah pemikiran bahwa orang baik dan jujur biasa memiliki banyak musuh. Pengalaman empiris pasti membuktikannya. Orang tidak banyak nengapresiasi kebaikan dan kebajikan yang ia miliki tetapi mencari-cari kelemahannya. Kalau tidak mendapatkan kelemahannya maka orang lainlah yang memproyeksikan kelemahannya kepada orang baik dan jujur sehingga seolah-olah dia serupa mereka. Begitulah kehidupan sosial kita.

Kita memperhatikan situasi hidup kita menjelang pesta rakyat 17 April 2019 mendatang. Agama-agama di negeri ini dipakai oleh para politikus untuk memuaskan nafsu berkuasa mereka. Paham radikalisme sangat kentara ketika melihat kampanye-kampanye akbar di tepat umum, media sosial dan perbincangan masyarakat. Kekerasan fisik dan verbal sedang terjadi di sekitar kita sebagai wujud radikalisme agama-agama tertentu. Yesus dan nabi Yeremia sudah mengalaminya maka kita tidak perlu kuatir sebagai golongan minoritas. Kita harus berjuang untuk tetap menjadi garam dan terang dunia.

Mari kita juga belajar untuk menata hidup kita dengan bercermin pada pengalaman nabi Yeremia dan Tuhan Yesus. Ada banyak hal dari hidup mereka yang membuat kita semakin menjadi manusia yakni membangun kasih setia dalam hidup dan tetap mengandalkan Tuhan. Kita juga harus memberi edukasi yang baik bagi generasi mudah untuk tidak jatuh dalam radikalisme agama apapun. Apa untungnya kita bersikap radikal dalam agama kalau hidup pribadi kita sebenarnya jauh dari Tuhan? Iman kita juga masih lemah? Tuhan adalah kasih dan Ia mengasihi semua orang.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply