Homili Hari Minggu Palma/C – 2019

Hari Minggu Palma/C
Yes 50:4-7
Mzm 22:8-9.17-18a.19-20.23-24
Flp 2:6-11
Luk 22:14-23:56

Allah sangat meninggikan Dia!

Pada hari ini kita memasuki Pekan Suci. Fokus perayaan kita pada hari ini adalah mengenangkan Kristus Tuhan memasuki kota Yerusalem untuk menggenapi misteri keselamatan melalui paskah-Nya. Ada seorang katekumen pernah bertanya kepada saya, alasan mengapa pekan suci diawali dengan Hari Minggu Palma. Saya coba menjelaskannya secara singkat dari narasi para penginjil supaya membuka wawasannya. Pertama-tama, narasi Injil Sinoptik. Dalam Injil Matius kita mendapatkan informasi ini: “Orang banyak yang sangat besar jumlahnya menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang memotong ranting-ranting dari pohon-pohon dan menyebarkannya di jalan”. (Mt 21:8). Penginjil Markus mengatakan: “Banyak orang yang menghamparkan pakaiannya di jalan, ada pula yang menyebarkan ranting-ranting hijau yang mereka ambil dari ladang”. (Mrk 11:8). Kita melihat kedua penginjil ini sama-sama menceriterakan bahwa orang banyak itu menghamparkan pakaiannya di jalan, bukan memegang daun palma. Mereka tidak memegang ranting-ranting pohon dan melambaikannya tetapi menyebarkannya di jalan yang akan dilewati Yesus. Sementara Penginjil Lukas mengatakan: “Dan sementara Yesus mengendarai keledai itu mereka menghamparkan pakaiannya di jalan”. (Luk 19:36). Kita melihat Lukas menceritakan tentang orang-orang yang menghampakan pakaian mereka di jalan. Ia tidak menceriterakan kisah tentang para murid Yesus yang mengiringi-Nya sambil menyebarkan ranting-ranting pohon dan memegang daun palma di pinggir jalan.

Bagaimana dengan Injil Yohanes? Ternyata satu-satunya penginjil yang mengisahkan tentang daun palma adalah Yohanes. Ia mengisahkan tentang pemakaian daun palma. Kita membacanya dalam Injil Yohanes: “Orang banyak mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru: Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” (12:13). Bedanya di sini adalah Yohanes tidak menceritakan bahwa orang banyak itu menyebarkan ranting-ranting pohon atau menghamparkan pakaiannya di jalan melainkan mengambil daun palma untuk menyongsong Yesus. Kisah Injil Yohanes ini yang dipakai dalam tradisi Gereja Katolik. Sejak abad ke-4, Egeria menulis tentang orang-orang Kristen di Yerusalem memulai tradisi mengenang Yesus memasuki kota Yerusalem dengan melakukan perarakan daun palma. Daun palma selalu hijau sehingga melambangkan keceriaan, kedamaian dalam hati setiap pribadi. Daun palma juga menyatakan kemenangan para martir atas kematiannya.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu Palma ini mengarahkan kita pada sosok Yesus yang menunjukkan kemuliaan-Nya melalui penderitaan. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah tentang hamba Allah yang menderita dalam Kitab nabi Yesaya. Sang Hamba Allah mengakui bahwa Tuhan sendiri menganugerakan kepadanya lidah sebagai seorang murid dan ia mampu memberi semangat baru kepada orang-orang yang letih dengan perkataan-perkataannya. Tuhan juga menganugerahkan pendengaran yang tajam sebagai seorang murid. Hal yang menjadi kekhasan hamba Allah yang menderita adalah kesiapan untuk patuh kepada kehendak Allah. Model kepatuhannya adalah: “Aku memberi punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan diludahi.” (Yes 50:6).

Dalam suasana menderita ini, sang Hamba Allah tetap mengandalkan kuasa Tuhan Allah. Kita membaca: “Tuhan Allah menolong aku; sebab itu aku tidak mendapat noda. Sebab itu aku meneguhkan hatiku seperti keteguhan gunung batu karena aku tahu, bahwa aku tidak akan mendapat malu.” (Yes 50:7). Orang-orang yang memberi diri secara total sebagai hamba Tuhan Allah tidak akan kehilangan harapan atau putus asa. Mereka akan tetap setia dan berharap pada Tuhan yang datang menolongnya tepat pada waktunya. Para martir pernah mengalaminya. Mereka menderita penganiayaan bahkan dibunuh dengan keji namun mereka tetap memberi diri mereka karena kasih sampai tuntas kepada Tuhan dan sesama. Tentu saja para martir menemukan teladan yang tepat yaitu Yesus Kristus sang Hamba sejati. Ia menderita karena mengasihi kita semua. Allah sangat meninggikan Dia.

St. Paulus dalam bacaan kedua menggambarkan himne Yesus sang hamba menderita yang ditinggikan Allah di mata manusia yang berdosa. St. Paulus dengan sangat tepat melukiskan hidup Yesus secara singkat dan mendalam. Yesus Kristus adalah Anak Allah. Ia tidak mempertahankan kesetaraan-Nya dengan Allah karena diri-Nya sebagai Anak. Ia justru berkenosis artinya mengosongkan diri-Nya, mengambil rupa sebagai seorang hamba, menjadi sama dengan manusia. Ia merendahkan diri, taat sampai mati di kayu salib. Sikap patuh kepada kehendak Allah ini membuat Yesus sangat ditinggikan. Segala makhluk takhluk di hadapan-Nya. Kita lihat jalan pikiran Paulus sangatlah menarik. Ada hal yang sangat dinamis di sini: di mana ada kehinaan di situ ada kemuliaan, di mana ada perbudakan di situ ada kemerdekaan. Yesus sebagai Anak Allah mengalami penghinaan Salib, tetapi Dia justru sangat ditinggikan sehingga segala makhluk patuh dan takhluk kepada-Nya.

Penginjil Lukas melukiskan hidup Yesus dan keagungan-Nya dalam kisah sengsara yang kita dengar hari ini. Ia melakukan kehendak Bapa di surga dengan sempurna. Kerelaan untuk menderita hingga wafat menunjukkan kasih Yesus yang tiada batasnya bagi manusia. Jawaban yang tepat dari manusia adalah kerelaan untuk bertobat dan bersatu dengan Tuhan.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip Thomas A Kempis ketika merenungkan tentang kebajikan kerendahan hati: “Ingin akan mengetahuan adalah kodrat manusia, tetapi apakah gunanya pengetahuan jika kita tidak takut akan Allah? Seorang petani yang rendah hati dan mengabdi kepada Tuhan, sungguh lebih baik daripada seorang ahli filsafat yang congkak, yang menyelidiki ilmu perbintangan, tetapi memedulikan keadaan jiwanya. Barangsiapa mengenal diri sendiri lebih baik, akan merasa hina dan tidak merasa gembira atas pujian orang. Andaikata saya mengetahuui segala-galanya, tetapi saya tidak memiliki cinta kasih, apakah gunanya semua itu bagi saya terhadap Allah yang akan mengadili saya sesuai dengan perbuatan saya?” (De Imitatione Christi, I,II,1).

Hari Minggu Palma mengundang kita untuk memandang Yesus. Dia datang ke dunia dan mengambil rupa sebagai hamba yang menderita. Ia merendahkan diri sampai wafat di kayu salib bagi kita. Kita memasuki hari-hari suci dengan rasa optimis bahwa Tuhan mengasihi kita sampai tuntas. Mari kita belajar merendahkan diri seperti Yesus supaya Tuhan meninggikan kita di hadirat-Nya.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply