Homili Hari Minggu Biasa ke-XIII/C – 2019

Hari Minggu Biasa XIII/C
1Raj. 19:16b,19-21
Mzm. 16:1-2a,5,7-8,9-10,11
Gal 5:1,13-18
Luk. 9:51-62

Menguji semangat pemuridan

Saya pernah menghadiri misa syukur pancawindu tahbisan seorang imam, beliau berkarya sebagai misionaris di tanah misi. Ia membagikan pengalaman-pengalaman pelayanannya di tanah misi bersama para petugas awam yang tangguh sebagai bagian dari rasa syukurnya atas panggilan imamat. Mereka benar-benar menjadi rekan kerja yang membentuk sebuah team kerja untuk melayani umat di sana. Hal yang sangat menguatkannya adalah semangat pemuridan dari para awam yang menjadi rekan kerjannya ini. Mereka siap melayani, mengurbankan dirinya untuk kemajuan Gereja di tanah misi. Mereka selalu menjadi orang nomor satu dalam melayani, meskipun banyak kali ada saja resiko yang harus mereka hadapi. Ada pengalaman-pengalaman pahit yang mereka alami bersama. Baginya, kunci dari semangat pemuridan ini adalah keteladanan hidup. Ia sebagai misionaris tak kenal lelah membaktikan dirinya untuk kemajuan Gereja, dan para rekan kerjanya melihat dan mengalamai keindahan sebuah pelayanannya. Ia menunjukkan semangat pemuridan sejati dengan rela berkorban, meninggalkan segalanya karena kasih kepada Tuhan dan sesama.

Pengalaman sang misionaris ini adalah pengalaman Gereja karena Gereja kita adalah Gereja Misioner. Seorang gembala tidak pernah bekerja sendiri tetapi selalu bekerja bersama umat selaku domba gembalaannya. Tentu saja ini bukanlah hal yang baru karena Yesus sang gembala baik benar-benar membaktikan diri bagi domba-domba-Nya. Yesus sang gembala baik membutuhkan manusia sebagai rekan kerja baik sebagai murid maupun rasul yang siap diutus. Seorang pribadi menjadi murid karena ada guru yang mengajar, membimbing dan mengarahkannya. Seorang pribadi menjadi rasul karena ada seorang yang siap untuk mengutusnya demi sebuah pelayanan tertentu. Dalam konteks hidup menggereja, kita memiliki Yesus sang Guru sejati yang siap untuk mengutus para murid dan utusan untuk tugas pelayanan tertentu. Para murid dan utusan ini tidak berjalan sendiri tetapi mereka mengikuti jejak sang guru yaitu Kristus sendiri. Mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan sang Guru.

Saya mengingat Paus Fransiskus. Ia pernah memberikan sebuah homili yang indah dan menarik pada tanggal 28 Mei 2013 yang lalu, tentang semangat pemuridan sejati. Ia mengatakan bahwa dalam konteks pemuridan sejati, kita dapat menemukan dua tipe murid di dalam Gereja katolik. Tipe murid pertama, orang-orang yang menjadi murid atau mengikuti Yesus karena faktor budaya. Mereka berpikir bahwa sudah turun temurun nenek moyang mereka mengikuti Yesus Kristus maka mereka pun memiliki status quo sebagai murid. Bagi Paus, tantangannya adalah murid tipe pertama ini cenderung untuk lebih mengejar status sosial dan kekuasaan yang lebih tinggi di dalam Gereja. Tipe murid kedua adalah ada ada orang yang berpikiran bahwa menjadi murid Kristus adalah kesempatan untuk berkarir di dalam Gereja. Berkaitan dengan hal ini Paus Fransiskus mengatakan, “Banyak orang Kristen, tergoda oleh roh dunia, berpikir bahwa mengikuti Yesus itu baik karena dapat menjadi sebuah karir, mereka bisa maju, namun ini ‘bukan roh-Nya’”. Murid Kristus bukanlah sebuah karier tetapi sebuah pelayanan dan pemberian diri tanpa pamrih.

Lalu apa yang paling penting dalam semangat pemuridan? Paus Fransiskus mengatakan: “Mengikuti Yesus hanya seperti ini: pergi bersama-Nya karena kasih, berada di belakang-Nya: dalam perjalanan yang sama, dan melewati sebuah jalan yang sama.” Sebab itu sebagai Gereja, Paus mengharapkan supaya Gereja menunjukkan semangat pemuridannya dengan memohon rahmat ini: “Mengikuti Yesus dalam jalan yang Dia telah tunjukkan kepada kita dan yang telah Dia ajarkan kepada kita. Ini memang indah, karena Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian. Tidak pernah! Dia selalu bersama kita”.

Bacaan–bacaan Kitab Suci pada Hari Minggu ini mengarahkan kita untuk menjadi murid sejati. Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini menunjukkan diri-Nya sebagai seorang murid sejati dari Bapa. Ia juga menjadi Rasul Bapa yang datang ke dunia untuk melakukan kehendak Bapa dengan sempurna yakni menghadirkan Kerajaan Allah dalam Sabda dan Karya-Nya. Sebab itu Lukas mengisahkan: “Ketika hampir genap waktunya Yesus diangkat ke sorga, Ia mengarahkan pandangan-Nya untuk pergi ke Yerusalem” (Luk 9:51). Yesus mengarahkan pandangan ke Yerusalem, kota damai, tempat Ia menunjukkan kasih-Nya sampai tuntas bagi para murid-Nya. Dia tidak akan kembali lagi ke Galilea tetapi maju terus, apapun kesulitan dan tantangan bahkan kematian menantikan-Nya. Yesus benar-benar menjadi murid sekaligus rasul sejati dari Bapa. Ia meninggalkan kenyamanan dan kejayaan Galilea menuju Yerusalem. Maka ciri khas murid sejati adalah berani meninggalkan segala sesuatu.

Yesus menunjukkan teladan sebagai murid dan rasul kepada mereka semua yang mengikuti-Nya dari dekat. Ia menyiapkan para Rasul ke suatu desa di Samaria namun mereka mengalami penolakan karena orang-orang Samaria tahu bahwa Yesus sedang dalam perjalanan menuju ke Yerusalem. Tentu saja para murid-Nya menunjukkan reaksinya berupa ungkapan rasa marah atas sikap orang Samaria ini. Namun Yesus tetap mengarahkan mereka untuk pergi ke desa yang lain karena mereka akan diterima di sana. Lihatlah bahwa Yesus mengajarkan supaya kejahatan tidak boleh dibalas dengan kejahatan melainkan dengan kebaikan. Sikap para murid adalah sikap yang sangat manusiawi. Dan murid sejati itu harus berani berbuat baik bukan membalas kejahatan dengan kejahatan.

Selanjutnya, Yesus menunjukkan tiga sosok murid dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem. Sosok pertama menyatakan rasa sukanya untuk mengikuti Yesus. Ia berkata: “Aku akan mengikut Engkau, ke mana saja Engkau pergi.” (Luk 9:57). Namun Yesus mengetahui pribadi dan motivasinya untuk mengikuti Yesus sehingga Ia berkata kepadanya: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Luk 9:58). Harta kekayaan selalu menjadi penghalang dalam pemuridan sejati. Mengapa? Sebab di mana harta berada, hati juga berada di sana. Sosok kedua, Yesus melihat seorang dan mengajaknya untuk mengikuti-Nya dari dekat. Namun orang ini masih memberi alasan kelekatannya pada orang tuanya, terutama hendak menguburkan ayahnya yang meninggal dunia. Namun, Yesus dengan tegas mengatakan: “Biarlah orang mati menguburkan orang mati; tetapi engkau, pergilah dan beritakanlah Kerajaan Allah di mana-mana.” Urgensinya kerajaan Allah menjadi alasan utama pemuridan sejati. Sosok ketiga, seorang yang berkeinginan untuk mengikuti Yesus namun ia masih hendak meminta ijin dari keluarganya. Kepada orang ini Yesus mengatakan bahwa ia tidak layak untuk Kerajaan Allah. Pemuridan sejati berarti berani meninggalkan segalanya, terutama hal-hal yang nyaman dan menyenangkan dan belajar untuk menerima hal yang ekstrim.

Kisah Injil tentang pemuridan sejati ini kiranya sejalan dengan kisah nabi Elia dan Elisa dalam bacaan pertama. Pada waktu itu Elisa sedang bekerja di ladangnya dengan mengemudi dua belas pasang lembu yang menggemburkan ladangnya. Nabi Elia tanpa banyak bicara, mendekatinya dan melemparkan jubahnya sebagai nabi kepada Elisa. Elisa berusaha untuk mengerti panggilan ini, mengejar nabi Elia sambil mengemukakan alasan-alasan tertentu tentang panggilan ini, namun Elia tetap pada pendiriannya: “Baiklah, pulang dahulu, dan ingatlah apa yang telah kuperbuat kepadamu.” (1Raj 19:20). Elisa menunjukkan semangat pemuridan sejatinya dengan ‘mengikuti Elia dan menjadi pelayannya.’ (1Raj 19:21). Semangat Elisa sebagai murid sejati dan pelayan adalah meninggalkan segala pekerjaannya, semua ternak dikurbankan bahkan kayu bajaknya dijadikan kayu api. Daging ternaknya itu diberikannya kepada para pekerjanya. Ini benar-benar radikal. Semangat pemuridan itu berarti kemampuan untuk meminggalkan segalanya untuk kemuliaan nama Tuhan. Di sini kita belajar dari Elisa yang mengikuti nabi Elia, dan para murid yang mengikuti Yesus untuk meninggalkan segalanya demi mengabdi bagi Allah seorang diri saja.

Seorang murid sejati perlu menyadari dirinya sebagai seorang yang merdeka, bebas dalam mengikuti Yesus dari dekat. Kemerdekaan adalah sebuah panggilan. Semangat ini akan menjadi nyata dalam pelayanan kasih kepada Tuhan dan sesama. Seorang murid sejati akan mencari hal-hal yang terbaik di dalam diri sesama manusia. Roh Kudus memampukannya untuk menjadi murid sejati yang mampu mengasihi seperti Tuhan mengasihi. Semangat pemuridan bukan untuk mencari kuasa dan karier tetapi berani meninggalkan segalanya untuk mengasihi. Bagaimana dengan kita?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply