Homili 11 Juli 2019

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XIV
Peringatan Wajib St. Benediktus
Kej. 44:18-21,23b-29; 45:1-5
Mzm. 105:16-17,18-19,20-21
Mat. 10:7-15

Menempatkan Kristus di atas segalanya

Kita mengucapkan selamat berbahagia kepada semua saudara yang merayakan pesta nama Benediktus pada hari ini. Kita mengenang St. Benediktus, pendiri ordo Benediktin. Beliau dilahirkan di Nursia, Italia tahun 480 dari sebuah keluarga bangsawan. Benediktus memiliki saudara kembar yaitu Santa Skolastika. Orang tuanya mengirimnya untuk belajar di Roma hingga suatu saat ia merasa muak dengan hidup yang korup, penuh nuansa duniawi di kota abadi Roma. Situasi ini juga yang membuatnya menarik diri dari keramaian dan kemegahan lalu memilih untuk menyendiri di sebuah gua di gunung Subiako selama tiga tahun. Banyak godaan dialaminya misalnya untuk kembali ke rumah dan menikmati harta kekayaan namun ia tetap bertahan dalam doa dan mati raga sehingga tidak jatuh dalam berbagai godaan.

Pengalaman tiga tahun pertama ini menjadi awal yang baik. Banyak orang mulai mendatangi Benediktus di dalam gua dan meminta nasihat bagaimana mereka dapat mengikuti jalan kekudusan. Ia menganjurkan kepada mereka untuk bermati raga. Ada orang yang menerima anjurannya ada juga yang marah dan hendak meracuninya. Benediktus mendirikan dua belas biara, termasuk sebuah biara terkenal di Monte Kasino hingga saat ini. Di biara ini ia menulis peraturan biara Ordo Benediktin dengan ajakan supaya para biarawan itu setia dalam berdoa dan bekerja (ora et labora) dan menempatkan Kristus di atas segalanya. Para biarawan juga diharapkan untuk rendah hati dalam hidup bersama. Peraturan Santu Benediktus ini menjadi dasar bagi banyak peraturan hidup bakti dari berbagai tarekat. Beliau wafat pada tanggal 21 Maret tahun 547. Pada tahun 1966, Paus Paulus VI menyatakan St. Benediktus sebagai santo pelindung Eropa. Pada tahun 1980, Paus Yohanes Paulus II menambahkan St. Sirilus dan St. Metodius sebagai santo pelindung Eropa bersama dengan St. Benediktus.

Kehidupan pribadi St. Benediktus menginspirasikan kita semua pada hari ini untuk memahami pesan Tuhan Yesus dalam bacaan Injil tentang perutusan para murid-Nya. Tuhan Yesus memanggil dua belas orang terpilih dari banyak orang yang mengikuti-Nya untuk menjadi rekan kerja-Nya. Tugas mereka adalah tinggal bersama-Nya, mengalami hidup bersama dan nantinya mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan Yesus di mana pun mereka berada. Pekerjaan-pekerjaan Yesus yang dimaksud adalah para murid itu berani pergi untuk mewartakan bahwa Kerajaan surga sudah dekat. Sebuah kerajaan bukan dalam kategori manusiawi tetapi kerajaan di mana Allah sendiri yang berkuasa, merajai dalam kasih dan manusia mengalaminya dalam hidup yang nyata. Tanda-tanda nyata Kerajaan Allah hadir dalam nuansa kasih adalah orang sakit mengalami kesembuhan, orang mati dibangkitkan, orang kusta menjadi tahir dan setan-setan diusir dari hidup manusia. Semua ini tentu sangat menggangu kehidupan manusia maka Yesus menghendaki supaya manusia merasakan ‘Kebenaran yang memerdekakan’.

Para murid Yesus perlu menunjukkan keunggulan-keunggulan sebagai orang pilihan Tuhan. Mereka harus menempatkan Yesus di atas segalanya bukan harta, kekayaan dan pribadi-pribadi tertentu. Sebab itu Yesus menasihati mereka bahwa mereka telah memperoleh dengan cuma-cuma maka sebagai murid, mereka juga harus memberi dengan cuma-cuma. Perkataan Tuhan Yesus ini mengingatkan kita pada kata-kata lain yang penting dalam mewujudkan hidup bersama yang lebih berkualitas yakni murah hati, rela berkorban, memberi diri secara total, melayani tanpa perlu menghitung-hitung apa yang diperoleh dari pelayanan, tidak pasang tarif, bukan mata duitan dan masih banyak lagi deretan kata-kata untuk mempertegas perkataan Tuhan ini. Tuhan Yesus tidak hanya berbicara tetapi Dia menunjukkannya dalam tindakan yang konkret. Bagaimana dengan kita? Apakah kita sadar diri telah memperoleh dengan cuma-cuma dan berani memberi dengan cuma-cuma juga? Saatnya kita melayani dengan sukacita.

Hal praktis yang para murid perlu lakukan dalam pemuridannya adalah hidup sederhana. Pola hidup sederhana dan memiliki hati anawim akan membantu mereka untuk lebih fokus dalam melayani Tuhan dan sesama. Ini adalah sikap menempatkan Kristus di atas segalanya bukan hal yang lain. Perkataan Yesus ini sangat bernilai: “Janganlah kamu membawa emas atau perak atau tembaga dalam ikat pinggangmu. Janganlah kamu membawa bekal dalam perjalanan, janganlah kamu membawa baju dua helai, kasut atau tongkat, sebab seorang pekerja patut mendapat upahnya.” (Mat 10:9-10). Tugas lainnya adalah para murid menunjukkan dirinya sebagai anak-anak Allah yang membawa damai Tuhan kepada orang lain. Damai itu milik Tuhan dan tugas para murid adalah membaginya kepada semua orang supaya merasakannya dan menjadi anak Allah.

Semangat pelayanan para murid dan Gereja masa kini dapatlah berpijak pada pengalaman Yusuf anak Israel. Ia dijual ke Mesir oleh saudara-saudaranya tetapi ia tidak menghitung-hitung kejahatan mereka. Ia berusaha untuk menghilangkan rasa sakit masa lalu dan dengan hidup sebagai manusia baru, ia juga membaharui saudara-saudaranya. Ia menjadi manusia baru dengan kuasa yang Tuhan berikan kepadanya sebagai Mangkubumi di Mesir. Ia membaharui saudara-saudaranya yang jahat dengan kebaikannya. Saudara-saudaranya mengenal diri dengan dosa yang sudah mereka lakukan sehingga terjadilah sebuah rekonsiliasi yang indah. Ia menerima mereka apa adanya, dengan memeluk saudaranya yang sudah berbuat jahat sambil berkata: “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.” (Kej 45:5).

Orang yang berhati murni akan melakukan rekonsiliasi dengan indah. Dapatlah dikatakan bahwa rekonsiliasi itu indah dan tulus tanpa perlu syarat tertentu. Yusuf berekonsiliasi dengan saudara-saudaranya tanpa syarat. Ini adalah kehendak Tuhan bagi Yusuf dan bagi kita yang membaca Kitab Suci hari ini. St. Benediktus berhasil melakukan rekonsiliasi dirinya dengan alam dan dunia di dalam gua. Kita juga berekonsiliasi tanpa syarat dengan diri sendiri, dengan Tuhan dan sesama kita dalam situasi hidup yang nyata. Dari Yusuf dan dari Tuhan Yesus kita belajar indahnya sebuah rekonsiliasi. Mari berekonsiliasi dan menjadikan Kristus di atas segalanya.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply