Homili 16 Juli 2019

Hari Selasa, Pekan Biasa ke-XV
Santa Maria dari Gunung Karmel
Kel. 2:1-15a
Mzm. 69:3,14,30-31,33-34
Mat. 11:20-24

Bertobatlah saudaraku!

Pada hari ini kita mengenang Santa Maria dari gunung Karmel. Sebagaimana kita ketahui bahwa Ordo Karmel didirikan pada tahun 1155 oleh Bertold dari Kalabria. Konon sebelumnya, Bertold sudah mendirikan sebuah kapel kecil di atas gunung Karmel. Di kapel ini selalu diadakan ibadat khusus untuk menghormati Santa Perawan Maria. Kebiasaan ini berlangsung terus menerus dengan barpatok pada praktek nabi Elias dan murid-muridnya. Bertold menetap di gunung Karmel dan bersama dengan rekan-rekannya menyatukan diri dalam suatu perkumpulan di dalam biara Santa Perawan Maria. Ordo ini kemudian disyahkan oleh Sri Paus pada tahun 1245. Kita merasa yakin bahwa Bunda Maria mendoakan pertobatan orang-orang berdosa hingga saat ini.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengundang kita untuk merenungkan belas kasih Tuhan bagi orang-orang yang berani bertobat. Dalam bacaan Pertama, kita membaca kelanjutan kisah bangsa Israel di Mesir setelah kematian Yusuf anak Yakub. Konon, Firaun saat itu tidak lagi mengenal Yusuf maka perlakuannya terhadap bangsa Israel pun berubah total. Ada rasa kuatir yang mendalam dari pihak pemerintah bangsa Mesir bahwa akan ada neokolonialisme di negeri mereka oleh bangsa Israel. Maka strategi yang dilakukannya adalah melakukan kerja rodi sebagai kewajiban mutlak bagi orang Israel dan kalau ada anak-anak yang lahir dari keturunan orang Israel, anak-anak perempuan dibiarkan hidup sedangkan anak laki-laki dibuang ke dalam sungai Nil. Tentu saja ini adalah sebuah kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan belas kasih Tuhan.

Kita barusan mendengar kisah Musa. Ayahnya adalah keturunan berasal dari suku Lewi yang menikah dengan seorang wanita dari suku yang sama. Wanita itu mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan. Mula-mula sang bayi laki-laki itu disembunyikan oleh keluarganya namun akhirnya harus dibuang juga ke dalam sungai Nil dengan dimasukkan ke dalam peti. Bayi itu kemudian ditemukan oleh putri Firaun yang sedang mandi di sungai Nil. Putri Firaun itu berbelas kasih kepada sang bayi yang sedang menangis kedinginan dan bersedia untuk memeliharanya. Bayi itu kemudian di pelihara oleh ibu kandungnya hingga besar dan diserahkan kepada Putri Firaun sebagai anak angkatnya. Anak itu dinamai Musa, artinya: “Aku telah menarik dia dari air”. Musa perlahan-lahan menjadi dewasa, melihat sendiri penderitaan dan kemalangan yang dialami bangsa Israel. Kerja rodi dan aneka penindasan adalah bagian dari hidup bangsa Ibrani. Suasana ini menarik perhatian Musa sehingga ia bertindak keras terhadap ketidakadilan yang dialami bangsanya. Ia sempat membunuh seorang Mesir yang berlaku kasar terhadap seorang Israel. Pada gilirannya, Ia pun mendapat ancaman pembunuhan dari Firaun sehingga ia melarikan dirinya.

Kisah Musa dalam bacaan pertama ini membuka wawasan kita untuk memiliki rasa emphaty terhadap saudari dan saudara di sekitar kita yang masih kurang beruntung. Musa membuka mata dan melihat penderitaan ayah dan saudara-saudaranya di Mesir. Kita saat ini sering melihat penderitaan dan kemalangan orang lain. Banyak kali kita lupa sehingga menertawakan sesama lain yang sedang tertimpah kemalangan. Ini benar-benar bertentangan dengan cinta kasih dan keadilan terhadap sesama kita. Kita seharusnya berempati dengan saudara-saudara yang menderita.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil memberikan pengajaran tentang pentingnya semangat pertobatan. Ia sempat mengecam kota-kota, dengan menggunakan kata ‘Celakalah!’ Kota-kota yang dimaksud adalah Khorazim, Betsaida dan Kapernaum. Yesus tegas mengatakan bahwa rahmat dan belas kasih Allah tidak akan memihak mereka kalau mereka tidak mau bertobat. Apabila kota-kota penting ini benar-benar tidak mau bertobat, maka kota Tirus, Sidon dan Sodom akan lebih bermartabat karena ada pertobatan di sana. Pertobatan telah meringankan beban kota Tirus, Sidon dan Sodom. Pertobatan telah menjadi jalan kekudusan bagi bangsa-bangsa asing dan kaum pendosa yang bertobat. Pada hari ini kita semua benar-benar diajak untuk melakukan pertobatan sebagai jalan kekudusan kita.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip perkataan Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik Gaudete et Exultate berikut ini: “Saya senang melihat kekudusan yang ada dalam kesabaran umat Allah: dalam diri orang tua yang membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang yang sangat besar, dalam diri laki-laki dan perempuan yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga mereka, dalam diri mereka yang sakit, dalam diri kaum religius lanjut usia yang tetap tersenyum. Pada mereka saya melihat kekudusan Gereja yang militant” (GE, 7). Bertobatlah saudaraku!

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply