Homili 17 Juli 2019

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XV
Kel. 3:1-6,9-12
Mzm. 103:1-2,3-4,6-7
Mat. 11:25-27

Berani Menanggalkan Kasut!

Adalah sebuah pemandangan menarik ketika melihat orang beramai-ramai menanggalkan kasutnya untuk masuk ke dalam rumah tinggalnya, menanggalkan kasut ketika hendak masuk ke dalam rumah ibadat tertentu, menanggalkan kasut ketika masuk ke dalam kantor kerja dan lain sebagainya. Kebiasaan ini memang menyulitkan orang tertentu karena harus melepaskan dan mengenakannya kembali. Pikirkanlah orang-orang gemuk dan usia lanjut yang kesulitan mengenakan dan mengikat sepatunya. Namun karena sebuah tuntutan berdasarkan adat kebiasaan maka orang itu berusaha untuk melepaskan kasut atau sepatunya pada tempat-tempat tertentu. Mungkin kita bertanya, “Mengapa harus melepas kasut?” Alasan-alasan tertentu yang sering kita dengar adalah supaya tempat itu tidak terkontaminasi dengan debu atau kotoran dari tempat yang lain meskipun sebenarnya tempat itu tetap akan kotor juga. Alasan yang lebih mendalam dan sangat rohani adalah kita melepaskan kasut sebagai tanda merendahkan diri di hadapan Tuhan. Kita berusaha untuk menanggalkan hidup lama dan masuk ke dalam hidup baru, tugas yang baru bersama Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar kisah Musa. Ia menyadari bahwa tindakan frontalnya melawan orang-orang Mesir sudah terbaca oleh Firaun. Sebab itu ia juga menjadi sasaran untuk dibunuh. Ia lalu melarikan diri untuk bersembunyi di tanah Midian. Pekerjaannya adalah menggembalakan kambing dan domba mertuanya yang bernama Yitro. Beliau adalah imam di Midian. Musa menggembalakan kambing dan domba mertuanya hingga ke kaki gunung Allah yaitu gunung Horeb. Pada saat itu ia melihat sebuah penampakan malaikat Tuhan dalam nyala api yang keluar dari semak duri. Anehnya, semak duri itu menyalah namun tidak di makan api. Peristiwa ini menarik perhatian Musa sehingga ia berusaha untuk mendekatkan diri ke tempat ini. Tuhan mengetahui keinginan Musa ini sehingga ketika ia mendekati tempat penampakan ini, Tuhan berkata kepadanya: “Musa, Musa! Janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus.” (Kel 3:4-5).

Apa yang sesunguhnya terjadi pada Musa? Ia merasa heran dan juga takut. Ini adalah pengalamannya yang pertama kali dalam hidupnya. Lagi pula ia sedang melihat sebuah penampakan yang mengagetkan. Ia semakin kaget ketika suara itu memperkenalkan dirinya: “Akulah Allah ayahmu, Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub.” (Kel 3:6). Mendengar semuanya ini, Musa menutup mukanya sebab ia takut memandang Allah dengan matanya sendiri. Pengalaman akan Allah dalam diri Musa ini sekaligus menjadi awal panggilan dan perutusannya. Inilah perkataan Tuhan kepada Musa: “Sekarang seruan orang Israel telah sampai kepada-Ku; juga telah Kulihat, betapa kerasnya orang Mesir menindas mereka. Jadi sekarang, pergilah, Aku mengutus engkau kepada Firaun untuk membawa umat-Ku, orang Israel, keluar dari Mesir.” (Kel 3:9-10). Meskipun Musa masih ragu-ragu namun Tuhan berjanji untuk tetap menyertainya. Pada akhirnya mereka juga akan menyembah Tuhan sebagai Allah mereka.

Kisah Musa dalam bacaan pertama ini menarik perhatian kita. Lihatlah bahwa Tuhan sudah memiliki rencana bagi Musa untuk menjadi pemimpin umat Israel. Ia beralih dari tugasnya sebagai gembala kambing dan domba menjadi gembala kawanan manusia yang tidak lain adalah bangsa Israel yang sedang menderita di Padang Gurun. Di sini kita belajar bahwa Tuhan memanggil dan memilih orang-orangnya bukan saat mereka sedang beribadah, beradorasi atau memberi kesaksian iman. Tuhan memanggil, memilih dan mengutus manusia dalam situasi hidupnya yang nyata dana pa adanya. Panggilan dan perutusan itu menjadi sempurna kalau manusia itu rendah hati, berani untuk meninggalkan dan melupakan. Panggilan dan perutusan menjadi subur kalau ada rasa syukur yang mendalam dari orang yang merasakan panggilan dan perutusan.

Dalam bacaan Injil kita belajar satu sisi lain dari kehidupan Tuhan Yesus. Dia adalah Anak Allah namun Ia tetap berdoa dan mengucap syukur kepada Bapa. Ia menengadah ke langit dan berkata: “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil.” (Mat 11:25). Orang-orang kecil dipandang berkenan kepada Tuhan. Mereka polos dan jujur dalam hidupnya setiap hari. Siapakah orang-orang kecil itu? Mereka adalah para rasul pilihan Yesus. Mereka berasal dari latar belakang yang berbeda namun Tuhan memilih membentuk dan mengutus mereka.

Selanjutnya Tuhan Yesus mewujudkan syukurnya dengan berkata: Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu. Semua telah diserahkan kepada-Ku oleh Bapa-Ku dan tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya. (Mat 11:26-27). Tuhan Yesus saja menyatakan syukurnya dengan berdoa. Ia adalah Anak Allah yang merendahkan diri di hadapan Bapa. Kita belajar dari Musa untuk berani melepaskan atau menanggalkan kasut dan berpasrah pada kehendak Allah. Kita belajar dari Yesus yang meskipun Anak Allah tetapi merendahkan diri-Nya dengan bersyukur dan berdoa kepada Bapa di Surga.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply