Homili Hari Raya Santa Perawan Maria Diangkat ke Surga – 2019

HARI RAYA SANTA PERAWAN MARIA DIANGKAT KE SURGA
Why. 11:19a; 12:1,3-6a,10ab
Mzm. 45:10bc,11,12ab
1Kor. 15:20-26
Luk. 1:39-56

De Maria Nunquam Satis!

Santu Bernardus terkenal dengan sebuah ungkapan kasihnya kepada Bunda Maria: “De Maria nunquam satis” atau “Of Mary, never enough” atau “tentang Maria, tidak pernah cukup”. Saya sepakat dengan ungkapan kasih St. Bernardus ini. Rasanya kata-kata dalam doa lisan dan tertulis tidak pernah cukup baginya. Perhatikanlah litany Bunda Maria. Ada begitu banyak ungkapan kasih dalam doa Litani Bunda Maria, ditambah dengan istilah atau bahasa manusia yang banyak namun rasanya tidak pernah cukup. Maka saya boleh mengatakan bahwa Bunda Maria memang sosok yang beda. Wanita sederhana dari Nazaret ini mengasihi Tuhan dan sesama manusia dengan hati yang suci dan murni. Ia seakan dan menjadi nyata dalam membaktikan dirinya kepada Tuhan dengan mengandung, melahirkan dan membesarkan Yesus Kristus Anak Allah. Tidak pernah ada kata-kata yang cukup untuk melukiskan seluruh hidup Bunda Maria.

Pada hari ini kita merayakan Bunda Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan raganya. Devosi kepada Bunda Maria diangkat ke surga ini dimulai sejak abad ke-VI M di Gereja Timur dan pada abad ke-VII di Gereja Barat. Pada tanggal 1 November 1950 Paus Pius ke-XII menetapkan dogma Maria diangkat ke Surga. Dengan demikian Gereja Katolik mengajarkan bahwa Bunda Maria diangkat ke surga, berdasarkan Tradisi Suci yang sudah diimani oleh Gereja sejak lama, namun baru ditetapkan menjadi Dogma melalui pengajaran Bapa Paus Pius XII, tanggal 1 November 1950, yang berjudul Munificentimtissimus Deus. Salah satu bagian penting dalam Munificentissimus Deus, Bapa Paus Pius XII berkata: “…. dengan otoritas dari Tuhan kita Yesus Kristus, dari Rasul Petrus dan Paulus yang Terberkati, dan oleh otoritas kami sendiri, kami mengumumkan, menyatakan dan mendefinisikannya sebagai sebuah dogma yang diwahyukan Allah: bahwa Bunda Tuhan yang tak bernoda, Perawan Maria yang tetap perawan, setelah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, diangkat tubuh dan jiwanya ke dalam kemuliaan surgawi.” (MD 44).

Konsili Vatikan II mengatakan tentang peristiwa hari ini: “Allah tidak berkenan mewahyukan misteri keselamatan umat manusia secara resmi, sebelum mencurahkan Roh yang dijanjikan oleh Kristus. Maka kita saksikan para Rasul sebelum hari Pentakosta “bertekun sehati sejiwa dalam doa bersama beberapa wanita, dan Maria Bunda Yesus serat saudara-saudari-Nya” (Kis 1:14). Kita lihat Maria juga dengan doa-doanya memohon kurnia Roh, yang pada saat Warta Gembira dulu sudah menaunginya. Akhirnya Perawan tak bernoda, yang tidak pernah terkena oleh segala cemar dosa asal, sesudah menyelesaikan perjalanan hidupnya di dunia, telah diangkat melalui kemuliaan di sorga beserta badan dan jiwanya. Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya, Tuan di atas segala tuan (lih. Why 19:16), yang telah mengalahkan dosa dan maut.” (Lumen Gentium, 59).

Dalam rumusan doa pembuka perayaan Hari Raya Santa Perawan Maria, kita mendengar kalimat doa yang indah seperti ini: “Allah yang mahakuasa dan kekal, perawan Maria yang tak bernoda, Bunda Putera-Mu telah Engkau angkat ke dalam kemuliaan surgawi dengan jiwa dan raganya. Kami mohon, semoga dengan tetap mengarahkan hati kepada perkara-perkara surgawi, kami layak ikut serta dalam kemuliaannya.” Dengan merayakan Hari Raya ini, kita berusaha untuk hidup dalam rahmat Tuhan dan menjauhkan diri dari dosa. Kita diingatkan untuk hidup seperti Bunda Maria dengan tetap mengarahkan hati kepada Tuhan. Kita berusaha untuk layak dan ikut serta dalam kemuliaannya.

Bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini mengarahkan kita pada sosok yang dengan kata-kata kita pun tidak pernah cukup yaitu Bunda Maria. Dalam bacaan pertama kita mendengar sosok yang menggambarkan Maria sebagai seorang ibu yang suci hatinya. Yohanes dalam visinya memandang sebuah tanda besar di surge: “Seorang perempuan berselubungkan matahari, dengan bulan di bawah kakinya dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya.” (Why 12:1). Ia juga melihat tanda lain berupa naga yang hendak menelan anak yang akan dilahirkan wanita itu. Namun anak laki-laki yang dilahirkan itu direngut dan dilarikan kepada Allah. Ibunya sendiri melarikan diri ke padang gurun, ke tempat yang sudah di sediakan Allah baginya. Anak laki-laki itu sudah ditakhdirkan untuk menjadi gembala bagi semua bangsa dengan gada besi. Dikisahkan juga bahwa ada suara yang nyaring di surga dengan berkata: “Sekarang telah tiba keselamatan dan kuasa dan pemerintahan Allah kita, dan kekuasaan Dia yang diurapi-Nya, karena telah dilemparkan ke bawah pendakwa saudara-saudara kita, yang mendakwa mereka siang dan malam di hadapan Allah kita” (Why 12:10).

Kalau kisah perempuan dalam Kitab Wahyu ini dibaca dengan menggunakan kacamata kristiani maka kita sedang merenungkan tentang Bunda Maria. Ia melahirkan Yesus, sang Gembala Baik. Yesus sendiri berada di hadirat Bapa dan kini Maria juga berada di tempat yang sudah disiapkan baginya yaitu di Surga. Gereja dengan segala keterbatasan dan kelebihannya berusaha untuk menghadirkan Kristus di dunia ini. Meskipun banyak pengalaman penderitaan, penganiayaan, penghinaan namun Gereja tetap berdiri tegak hingga saat ini karena ada Tuhan Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar, rela menderita dan wafat bagi kita semua.

Kisah perempuan dalam Kitab Wahyu menjadi nyata dan sempurna dalam diri Bunda Maria. Dia dikandung tanpa noda. Ia dipilih menjadi Bunda bagi Yesus Puteranya. Meskipun dalam suasana hamil muda namun ia tetap berkomitmen untuk meninggalkan Nazaret supaya dapat melayani Elizabeth saudaranya di Ayin Karem. Di sini terjadilah perjumpaan yang menarik antara dua orang ibu dan dua orang anak yang masih ada di dalam Rahim mereka. Ada ucapan selamat, ada suasana penuh sukacita karena Roh Kudus turut bekerja. Bunda Maria mengalami peneguhan yang luar biasa karena disapa sebagai ibu Tuhan oleh Elizabeth. Bunda Maria lalu menunjukkan kemurnian dan kekudusan hidupnya dengan mengucapkan Magnificat. Magnificat menggambarkan kemuliaan diri Maria di hadapan Tuhan dan sesama. Hidupnya selalu terarah kepada Tuhan.

Berbicara tentang Maria memang tidaklah cukup kata-kata kita karena selalu berkaitan dengan Yesus Puteranya. Santu Paulus mengatakan bahwa Yesus adalah buah sulung, sesudah itu mereka yang menjadi miliknya. Dia juga menambahkan bahwa kebangkitan Tuhan Yesus Kristus menjadi jaminan bagi kebangkitan kita semua. Melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Ia meniadakan maut satu kali untuk selamanya. Sungguh ‘ad Mariam per Iesum’. Mari kita belajar dari Maria yang memberikan seluruh hidupnya kepada Tuhan dan manusia. Dia diangkat ke surga karena murni hatinya. Hanya melalui Maria kita dapat bersatu dengan Kristus. De Maria nunquam satis!

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply