Homili Hari Minggu Biasa ke-XXVII/C – 2019

Hari Minggu Biasa XXVII/C
Hab. 1:2-3; 2:2-4
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9
2Tim. 1:6-8,13-14
Luk. 17:5-10

Jangan malu bersaksi

Saya pernah diundang oleh sebuah keluarga untuk bersantap bersama di sebuah restoran yang terkenal dan sangat ramai. Hidangan sudah dipesan sesuai menu kesukaan, para pelayan pun sudah menyiapkannya di atas meja. Saya mengajak keluarga ini untuk berdoa sebelum makan, namun seorang anggota keluarga yang duduk di samping saya berbisik: “Romo, biarlah kita berdoa masing-masing saja sebab tempat ini ramai sekali. Saya malu membuat tanda salib dan berdoa di depan umum” Saya menjawabnya: “Tuhan hadir di sini maka biarlah kita menyapa-Nya sebelum santap bersama.” Kami semua berdoa bersama sebelum dan sesudah makan. Wajah semua anggota keluarga ceriah, penuh syukur dan tak ada lagi wajah penuh ketakutan. Saya kembali ke rumah dengan membawa sebuah pengalaman yang sangat mendidik dan indah. Banyak kali kita malu sehingga sulit untuk memberi kesaksian tentang Tuhan kepada sesama. Kita malu untuk berdoa di tempat umum karena takut dianggap sok suci atau sengaja tidak mau berdoa.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini berbicara tentang situasi dan pengalaman hidup kita yang nyata. Dalam bacaan pertama, Barukh menegaskan bahwa orang-orang benar hidup berkat imannya kepada Tuhan. Meskipun demikian ada saja ujian iman yang mengundang kita untuk bertanya dan berefleksi. Pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang suasana hidup manusia selalu muncul dari dahulu hingga sekarang. Perhatikan pertanyaan-pertanyaan berikut ini: “Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar, aku berseru kepada-Mu: “Penindasan!” tetapi tidak Kautolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi.” (Bar 1: 2-3). Ini adalah pertanyaan dan penyataan mendasar dalam diri manusia dari dahulu hingga sekarang ini. Pengalaman kegelapan, penderitaan dan kemalangan yang datang bertubi-tubi membuat orang bertanya-tanya kala Tuhan ada dan Mahabaik, mengapa semua ini harus terjadi di dalam diri, keluarga dan masyarakat kita?

Tuhan tidak pernah tinggal diam. Dia peka dan peduli serta mengerti kehidupan setiap pribadi di hadapan-Nya. Marilah kita perhatikan bagaimana Tuhan berkata kepada Habakuk: “Tuliskanlah penglihatan itu dan ukirkanlah itu pada loh-loh, supaya orang sambil lalu dapat membacanya.” (Hab 2:2). Tuhan mengingatkan Habakuk tentang pentingnya iman dan kepercayaan dari pihak manusia kepada Tuhan. Masing-masing pribadi berjuang untuk tetap memiliki iman yang teguh kepada Tuhan. Perkataan dari Pemazmur hari ini sangat inspiratif bagi kita semua: “Singkirkanlah penghalang sabda-Mu, cairkanlah hatiku yang beku dan bimbinglah kami di jalanmu” (Mzm 95:8). Semoga Perkataan ini ikut membuka hati manusia untuk terus berjuang dan bersaksi sebagai anak-anak Allah.

Santu Paulus dalam bacaan kedua mengajak Timotius untuk berani bersaksi tentang Tuhan kita. Keberanian untuk bersaksi merupakan wujud nyata karunia Allah di dalam hidupnya oleh karena pencurahan Roh Kudus melalui pengurapan tangan Paulus. Roh bagi Paulus, adalah roh yang menguatkan bukan roh yang menakutkan. Roh yang menguatkan ini menginspirasikan manusia untuk berani bersaksi tentang Tuhan yang diimaninya. Kesaksian menjadi sempurna ketika kita ikut mengalami penderitaan Kristus dan Injil-Nya di dalam hidup kita. Roh Kudus yang satu dan sama memelihara iman kita sebagai harta yang indah.

Hidup menggereja benar-benar menjadi nyata dalam kesaksian hidup kita sebagai pengikut Kristus. Ada dua hal yang kiranya membantu kita untuk bersaksi yakni iman dan karya pelayanan. Iman adalah sebuah anugerah yang Tuhan berikan kepada kita secara pribadi. Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa iman itu pasti, lebih pasti dari setiap pengertian manusiawi, karena ia berdasarkan Sabda Allah yang tidak dapat menipu (KGK, 157). St. Yakobus mengatakan: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.” Karena iman itu begitu penting sehingga para murid Yesus berani meminta: “Tuhan, tambahkanlah iman kami” (Luk 17:5). Para murid Yesus juga merupakan orang biasa-biasa saja. Mereka tinggal bersama Yesus namun mereka belum mengimani Yesus secara utuh. Mereka berani meminta Yesus untuk menambahkan iman mereka, padahal setiap saat mereka ada bersama Yesus. Mungkin kita juga tidak berbeda dengan para murid ini. Kita berani memohon supaya Tuhan menambahkan iman sebab kita sesungguhnya belum benar-benar beriman kepada Yesus.

Hal kedua yang menarik perhatian kita dalam bersaksi adalah kesediaan untuk melayani dan mengabdi. Dalam struktur masyarakat kita, masih ada daerah tertentu yang memiliki hubungan tuan dan hamba. Tuan akan selalu siap dilayani. Hamba akan selalu siap untuk mengabdi tuannya. Sekalipun ia lelah bekerja namun ia tetap pada posisinya untuk melayani samapai tuntas. Sebab itu seorang hamba harus selalu berprinsip: “Kami hanya hamba-hamba yang tidak berguna. Kami melakukan apa yang kami lakukan” Prinsip penghambaan ini sangatlah menarik. Kalau kita dapat melakukannya maka kita akan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus sendiri.

Pada hari pikiran kita dibuka oleh Tuhan untuk beriman dengan radikal karena Dia sendiri yang menambahkannya di dalam hidup kita. Kita juga belajar untuk berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan Allah. Iman dan doa menjadi jalan yang benar bagi kita untuk bersatu dengan Tuhan dan sesama kita. Maka satu hal yang penting adalah keberanian untuk menjalankan pelayanan kami. Hidup dan bersaksi sebagai orang-orang benar di hadapan Tuhan Allah kita.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply