Homili 28 November 2019

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XXXIV
Dan 6:12-28
MT T.Dan 3:68-74
Luk 21:20-28

Bangkitlah, angkatlah mukamu!

Adalah Khalil Gibran. Pada suatu kesempatan ia berkata: “Orang-orang optimis melihat bunga mawar, bukan durinya. Orang-orang pesimis terpaku pada duri dan melupakan mawarnya.” Perkataan ini memang sangat sederhana tetapi mendalam. Banyak kali kita menjadi serupa dengan orang-orang yang selalu optimis dan memiliki harapan yang besar. Orang-orang seperti ini selalu melihat bunga mawar bukan durinya yang tajam. Bunga mawar itu begitu unik dan indah. Bunga-bunganya berwarna, ada yang merah, ungu, putih dan lain sebagainya, yang turut memperindah kelopak bunga mawar. Inilah orang-orang optimis yang melihat secara keseluruhan bunga mawar mulai dari pohon hingga bunganya yang Indah. Bagaimana dengan orang-orang pesimis? Orang-orang pesimis hanya melihat durinya saja dan mengabaikan bunga mawar yang begitu indah secara keseluruhan. Mereka hanya mengenal mawar sebagai bunga yang menakutkan karena berduri. Sebab itu mereka selalu berhati-hati mendekati bunga ini. Memang kedengarannya lucu, tetapi itulah manusia. Bunga yang indah tetapi hanya dikenal sebagai bunga berduri tajam.

Apakah anda termasuk orang yang optimis atau pesimis? Apakah anda melihat mawar sebagai bunga yang indah atau hanya melihat mawar sebagai bunga yang duri-durinya menakutkan. Jawaban atas pertanyaan ini akan tepat berdasarkan refleksi dan pengalaman pribadi kita masing-masing. Anda seorang yang penuh optimis dan harapan untuk menjadi yang terbaik karena melihat mawar sebagai bunga. Anda seorang yang penuh pesimis karena hanya terpaku pada duri-duri mawar. Dalam pengalaman praktis, kita sering menjadi optimis karena melihat sesama sebagai manusia yang memiliki kekhasan sebagai individu dan berusaha untuk menerimanya apa adanya. Setiap pengalaman penderitaan, kemalangan dan kegagalan adalah peluang untuk menjadi yang terbaik. Tidak ada ketakutan dalam ensiklopedi hidupnya. Hal ini berbeda dengan orang pesimis. Mereka akan berhenti pada penderitaan, kemalangan dan kegagalan. Bagi mereka sekali menderita tetap menderita, sebuah takdir, tidak akan ada perubahan yang signifikan dalam hidup ini.

Selama hari-hari terakhir masa liturgi kita ini, Tuhan membimbing kita untuk memilih apakah kita mampu menjadi pribadi yang optimis atau pesimis. Penginjil Lukas menggambarkan situasi chaos yang akan terjadi pada saat menjelang hari Tuhan. Tanda-tanda situasi chaos yang dimaksud adalah: Pertama, Yerusalem akan dikepung oleh tentara hingga mereka meruntuhkannya. Hal ini sungguh terjadi pada tahun 70M. Kedua, karena situasi chaos di Yerusalem maka sepertinya terjadi sebuah goncangan yang dahsyat di Israel. Orang-orang Yudea berlarian ke pegunungan, orang-orang di kota mengungsi, orang-orang kampung dilarang berurbanisasi. Mengapa ada larangan ini? Yesus mengatakan bahwa ini adalah masa pembalasan dalam pengadilan terakhir. Ketiga, Yerusalem akan diinjak-injak oleh bangsa-bangsa asing yang tidak mengenal Allah. Hal ini berdampak pada penderitaan yang akan dialami kaum ibu, masyarakat akan Tewas oleh mata pedang dan menjadi tawanan bangsa asing itu. Keempat, ada fenomena alam khususnya tanda-tanda yang akan terjadi pada matahari, bulan dan bintang. Di bumi sendiri ada deru dan gelora laut. Kuasa-kuasa langit bergoncang. Akibatnya adalah rasa takut dan cemas menguasai manusia di bumi ini sehingga berujung pada kematian.

Semua situasi yang menakutkan ini menjadi awal untuk menyambut kedatangan Anak Manusia. Dalam suasana chaos yang menakutkan ini, orang akan melihat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya. Tentu saja orang-orang yang menyaksikannya diliputi rasa takut yang mencekam. Namun demikian kita harus percaya bahwa ini adalah tanda Tuhan Yesus datang untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Maka yang harus kita miliki bukanlah rasa takut melainkan perasaan optimis. Ciri khas orang optimis di hadirat Tuhan adalah: “Bangkitlah dan angkatlah mukamu sebab penyelamatanmu sudah dekat”. Perkataan Tuhan Yesus ini menjadi nyata ketika para murid Yesus menyaksikan sendiri kenaikan-Nya ke surga di mana mereka ‘menatap ke langit’ (Kis 1:10). Menatap ke langit adalah optimisme sebagai pengikut Kristus, meskipun penderitaan dan kemalangan akan menimpa para murid Yesus di masa depan.

Gereja dalam sejarahnya sudah membuktikan semua ini. Pengalaman penderitaan, kemalangan dan kegagalan tidak menjadi alasan untuk menjadi manusia yang pesimis. Tuhan Yesus sendiri mengalaminya dan memenangkannya sengan gemilang. Kita mengikuti-Nya dari dekat dan bersamanya kita akan menjadi ‘lebih dari pemenang’. Santu Paulus mengatakan: “Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita” (Rom 8:37). Ya, kita memang lebih dari pemenang!

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply