Homili 13 Januari 2020

Hari Senin, Pekan Biasa I
1Sam. 1:1-8
Mzm. 116:12-13,14,17,18-19
Mrk. 1:14-20

Yesus menjadi nomor satu

Saya pernah diundang untuk memberkati sebuah rumah. Saya menemukan sebuah gambar berbingkai di ruang tamu di mana terdapat seorang anak kecil yang menunjuk kepada Yesus, lalu ada sebuah tulisan di bawah gambar itu: “Yesus menjadi nomor satu”. Saya menjadikan penemuan kecil ini sebagai inspirasi dalam homili saya saat itu. Saya mengatakan bahwa Yesus selalu menjadi nomor satu di dalam kehidupan berkeluarga, Dia adalah tuan rumah, kepala bagi setiap keluarga sebab Dia adalah kasih. Kadang-kadang pengalaman yang sederhana dan kecil dapat menginspirasi kita untuk bertumbuh menjadi lebih baik, lebih matang dan hidup semakin layak di hadirat Tuhan.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini menginspirasikan kita untuk menjadikan Yesus sebagai nomor satu di dalam hidup kita. Penginjil Markus mengisahkan bahwa Yesus menyingkir ke Galilea setelah Yohanes yang membaptis-Nya ditangkap. Dia tidak hanya menyingkir tetapi dalam kuasa Roh Kudus, Ia memulai tugas perutusan-Nya di atas dunia. Apa yang hendak dilakukan Yesus di Galilea? Ia mewartakan Injil Allah. Injil adalah khabar sukacita dari Allah bagi kaum miskin. Kaum miskin atau orang-orang anawim membutuhkan khabar sukacita yang membebaskan mereka. Injil merupakan khabar sukacita yang membebaskan. Tuhan Yesus juga mewartakan pertobatan. Ia berkata: “Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” (Mrk 1:15). Khabar sukacita dapat diterima kalau orang sungguh berubah secara radikal. Pewartaan Yesus ini menjadikan-Nya sebagai nomor satu bagi semua orang yang mendengar-Nya.

Tuhan Yesus tetap menjadi nomor satu ketika Ia memulai panggilan-panggilan di danau dan panggilan di gunung. Ia memanggil orang-orang pilihan-Nya dan menjadikan mereka sebagai penjala manusia. Siapakah orang-orang pertama yang mengalami panggilan di danau? Ketika itu Yesus menyusur pantau danau Galilea. Ia melihat para nelayan sedang bekerja. Mungkin itu bukan pertama kali Ia melewati daerah itu tetapi beberapa kali sambil memperhatikan para nelayan. Mereka adalah Simon dan saudaranya Andreas, anak-anak Zebedeus yaitu Yakobus dan Yohanes. Mereka adalah penjalah ikan, sedang bekerja bersama orang tua mereka. Yesus mendekati dan memanggil mereka untuk mengikuti-Nya dari dekat. Pada saat yang sama mereka berani meninggalkan pekerjaan dan memulai petualangan baru bersama Yesus. Mereka menjadi penjala manusia bukan lagi penjala ikan. Penjala ikan berarti, tugas menginjil dari para rasul itu bertujuan untuk mensejahterakan manusia secara jasmani dan rohani. Artinya manusia tidak hanya sekedar mengetahui doa dan doktrin agama tetapi mereka juga sejahtera secara jasmani sehingga menjaga kelestarian Injil.

Hal-hal yang menarik dari kisah panggilan para murid di danau adalah, pertama, sosok Tuhan Yesus. Ia tidak tinggal di tempat tetapi selalu bergerak untuk mencari dan menyelamatkan manusia. Ia menyingkir ke Galilea karena tekanan politik dari Herodes yang memenjarakan Yohanes. Namun demikian ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk memulai karya-karya-Nya di depan umum. Ia membutuhkan manusia untuk menjadi mitra kerja-Nya. Lihatlah, Tuhan Yesus saja membutuhkan manusia untuk bekerja sama. Mengapa ada di antara kita yang merasa tidak membutuhkan sesama manusia? Kedua, sosok para murid perdana. Mereka mendengar panggilan Yesus dan segera meninggalkan pekerjaan, juga keluarga untuk mengikuti Yesus. Mereka sebenarnya belum mengetahui seperti apakah masa depan mereka, namun karena Yesus memanggil maka mereka berani meninggalkan segalanya dan mengikuti-Nya. Yesus lalu menjadi nomor satu dalam hidup mereka.

Keindahan sebuah panggilan adalah ketika Tuhan Yesus mengenal dan memanggil. Manusia menjawab dan berani meninggalkan segalanya untuk mengikuti-Nya dari dekat. Tuhan Yesus hebat karena Ia memanggil manusia dalam hidupnya yang nyata. Ia memanggil Simon Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes, bukan di Sinagoga melainkan di tempat mereka bekerja. Tempat di mana mereka berpijak adalah tempat kudus adanya. Sebab itu Tuhan memanggil dan mereka siap untuk meninggalkan dan mengikuti-Nya. Tuhan juga melakukan hal yang sama di dalam hidup kita yang nyata. Ia memanggil kita bukan saat sedang mengikuti Ekaristi, retret, Seminar Hidup Baru dalam Roh dan lain sebagainya. Ia memanggil kita dalam hidup yang nyata.

Pengalaman Hana, ibunda Samuel dalam bacaan pertama sangatlah nyata. Istri Elkana ini memang hingga mencapai usia senja belum memiliki keturunan. Tuhan menutup kandungannya. Sebab itu ia mengalami penderitaan akibat hinaan dari Penina istri Elkana yang sudah memiliki keturunan. Dalam hidupnya yang nyata, Hana tetap dikasihi oleh Elkana. Inilah perkataan Elkana kepada Hana: “Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu dari pada sepuluh anak laki-laki?” (1Sam 1:8). Dalam situasi penderitaan tertentu, cinta kasih adalah segalanya. Tuhan menunjukkan diri-Nya sebagai nomor satu dalam pengalaman hidup kita.

Pada hari ini kita belajar untuk hidup layak di hadirat Tuhan. Ia tetap berjalan dalam Lorong-lorong kehidupan kita dan memanggil kita untuk mengikuti-Nya dari dekat. Mari kita terlibat dalam mewartakan Injil dengan hidup kita yang nyata. Mari kita bertobat supaya mampu menjadikan Yesus Kristus sebagai nomor satu dalam hidup kita dan mewartakan-Nya kepada orang-orang lain.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply