Homili 22 Januari 2020

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-2
1Sam. 17:32-33,37,40-51
Mzm. 144:1,2,9-10
Mrk. 3:1-6

Saling curiga itu tidak manusiawi!

Pada pagi hari saya mendapat sebuah pesan singkat dari salah seorang sahabat. Ia menulis begini: “Orang yang melakukan kejahatan biasanya mudah ketakutan dan curiga.” Saya tersenyum dan mengatakan dalam hati bahwa perkataan ini ada benarnya. Misalnya, ketika ada seseorang yang melakukan kejahatan tertentu dan kejahatannya itu sudah diketahui maka orang itu akan mudah curiga, sensitif, merasa tidak nyaman ketika berada di antara orang-orang lain. Orang itu juga akan berusaha dengan cara apa saja untuk membenarkan dirinya. Saya merasa yakin bahwa anda juga memiliki pengalaman-pengalaman tertentu seperti ini. Sebenarnya saling mencurigai itu tidaklah manusiawi.

Pada hari ini kita mendengar kelanjutan kisah Yesus dalam Injil Markus. Markus mengisahkan bahwa pada suatu hari Sabat, Yesus masuk ke dalam sebuah rumah ibadat. Ada seorang yang berada di dalam rumah ibadat itu menderita sekali karena sebelah tangannya mati. Ia sulit menggerakannya dan tentu saja ia juga tidak dapat beraktivitas dengan baik. Orang-orang Farisi itu sangat legalis. Mereka menaruh curiga kalau-kalau Yesus menyembuhkannya pada hari Sabat di dalam rumah ibadat. Sebab itu mereka menunjukkan sikap curiga seperti ini: “Mereka mengamat-amati Yesus, kalau-kalau Ia menyembuhkan orang itu pada hari Sabat, supaya mereka dapat mempersalahkan Dia.” (Mrk 3:2). Orang-orang Farisi memiliki kebiasaan yakni suka ‘mengamat-amati’ Yesus dan menaruh curiga kepada-Nya. Orang-orang Farisi ini adalah anda dan saya yang juga memiliki kecurigaan tertentu kepada sesame manusia. Banyak kali kita juga suka mengamat-amati dan menilai kehidupan pribadi orang lain, yang sebetulnya mungkin tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Memang, manusia selalu melihat sesamanya dari luar saja, Tuhan melihat hati manusia.

Reaksi Yesus adalah Ia tetap mewujudkan keselamatan bagi manusia yang sangat membutuhkannya. Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan bukan membinasakan. Sebab itu, meskipun kaum Farisi menaruh curiga, suka mengamat-amati dan berhati jahat kepada Yesus, namun Ia tetap menyelamatkan orang yang mati sebelah tangan itu. Yesus meminta orang sakit itu, mengulurkan tangannya dan seketika itu juga Yesus menyembuhkannya. Tuhan Yesus melakukan perbuatan baik dengan menyembuhkan orang yang sakit tangannya namun orang Farisi tidak melihat kebaikan itu. Mereka malah bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Yesus.

Kisah Injil ini adalah kisah kehidupan kita setiap hari. Berapa kali dalam sehari kita mengamat-amati kehidupan pribadi orang lain dan menilainya secara subjektif. Kita lupa bahwa setiap penilaian negatif kita terhadap orang lain itu merupakan proyeksi atau pencerminan diri kita sendiri. Ketika kita menunjuk sesuatu atau seseorang, dua jari kita ke depan dan tiga jari menunjuk kepada kita. Artinya ketika kita mencurigai orang lain, mengamat-amati dan menilai kehidupan pribadi orang maka sebenarnya kita juga menunjukkan ketidakberdayaan kita di hadapan sesama lain. Sebab itu kita perlu mawas diri dan bersikap adil terhadap sesama kita.

Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah Daud dan Goliat. Dua sosok yang terkenal dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Daud masih muda tetapi memiliki pikiran yang matang. Saul sendiri tidak percaya pada kemampuan Daud di hadapan Goliat. Inilah perkataan Saul kepada Daud: “Tidak mungkin engkau dapat menghadapi orang Filistin itu untuk melawan dia, sebab engkau masih muda, sedang dia sejak dari masa mudanya telah menjadi prajurit.” (1Sam 17:33). Tetapi Daud sangat percaya diri bahwa ia dapat memenangkan pertempuran ini. Ia dengan tegas berkata: “Tuhan yang telah melepaskan aku dari cakar singa dan dari cakar beruang, Dia juga akan melepaskan aku dari tangan orang Filistin itu.” (1Sam 17:37). Saul akhirnya mendukung Daud dengan mengatakan bahwa Tuhan Allah akan menyertainya.

Daud dianggap tidak mampu. Ini adalah sebuah kecurigaan karena hanya melihat tubuhnya yang kecil. Goliat sendiri meremehkan Daud. Namun Daud tetap tegar. Ia mengatakan kepada Goliat: “Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama Tuhan semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.” (1Sam 17:45). Daud akhirnya memenangkan pertempuran ini. Seorang yang dianggap tidak berdaya tetapi Tuhan menguatkannya sehingga ia dapat menaklukan Goliat orang Filistin itu.

Pada hari ini kita belajar supaya jangan mencurigai dan meremehkan orang lain. Kita semua mengidap sebuah penyakit yang sama yaitu mencurigai, mengamat-amati dan meremehkan hidup orang lain. Apalah artinya hidup sebagai pengikut Kristus kalau kita tidak menerima orang lain apa adanya? Kita bukanlah yang paling hebat, kita semua memiliki kelemahan-kelemahan maka kita membutuhkan dan mengandalkan Tuhan. Daud mengandalkan Tuhan sehingga mampu mengalahkan Goliat. Orang yang mati sebelah tangannya mengandalkan Yesus sehingga memperoleh kesembuhan. Bagaimana dengan kita? Siapakah andalan kita?

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply