Renungan 28 Agustus 2013

St. Agustinus
Hari Rabu, Pekan Biasa XXI
1Ts 2:9-13
Mzm 139:7-8.9-10.11-12ab
Mat 23:27-32



 Janganlah seperti kubur!

Pada suatu kesempatan saya bertamu di rumah sebuah keluarga. Mereka menyiapkan hidangan yang lezat. Hanya ada satu kekurangan saat itu yakni ketika menuangkan air ke dalam semua gelas, airnya kelihatan kotor padahal gelas dan tempat airnya bersih. Saya memperhatikan bapa dan ibu di dalam keluarga tersebut bingung dengan keadaan air yang kotor itu. Saya mengatakan kepada mereka bahwa kemungkinan bagian dalam tempat air itu belum bersih. Dan memang benar demikian. Mereka melihat tempat airnya bersih hanya di luarnya saja dan langsung mengisi air minum. Akibatnya adalah air kotor dimasukan ke dalam gelas minum. 

Ada juga pengalaman yang lain: Ketika masih bertugas di Sumba, NTT, saya memperhatikan salah satu kebiasaan yakni mereka menguburkan jenazah di depan rumah tinggal. Kuburannya sangat bagus melebihi rumah yang mereka huni. Ada kubur-kubur tertentu yang dilengkapi dengan lukisan Yesus atau malam perjamuan terakhir. Sangat menakjubkan! Ketika saya bertanya kepada seorang sahabat, ia berkata: “Kubur adalah rumah masa depan maka layaklah dibuat lebih bagus dari rumah yang sekarang ini”. Wah, ini sebuah cara pandang yang berbeda! Para pastor mengingatkan umat untuk menguburkan jenazah di pekuburan umum tetapi ada juga yang tetap menguburkannya di depan rumah tinggal. Dua pengalaman ini mau menggambarkan cara pandang manusiawi kita, ketika lebih mengutamakan bagian luarnya dan lupa bagian dalamnya seperti tempat air dan kuburan.

Selama tiga hari terakhir ini, Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Kita sudah mendengar lima kecaman Yesus dengan kata yang keras “Celakalah” dan sekarang kita mendengar dua kecaman terakhir tentang kemunafikan hidup dan kedurjaanan serta hidup mereka sebagai keturunan pembunuh para nabi. Siapakah yang dikecam oleh Yesus? Para ahli Taurat dan kaum Farisi. Kedua kelompok orang ini bukanlah orang biasa tetapi orang-orang luar biasa saat itu. Mereka adalah orang pintar dan pandai menarik minat masyarakat luas untuk bersatu dengan mereka. Mereka bisa saja mengundang banyak orang, bersekongkol dan berdemo melawan Yesus.  Namun Yesus sangat berani mengecam mereka terang-terangan bahkan dengan kata “celakalah” karena Dialah Anak Allah.


Para Ahli Taurat adalah sekelompok orang yang  mempelajari Kitab Suci terutama Kitab Taurat. Semua tradisi Kitab Taurat diturunkan turun temurun kepada para murid. Kitab Taurat berisikan 613 perintah dimana terdapat 248 perintah positif dan 365 perintah negative. Semua ini ditafsirkan sesuai selera mereka. Farisi dari kata Ibrani, פרושים – perusyim,  artinya “kelompok yang terasing”. Mereka adalah penganut murni Agama Yahudi, sebuah sekte yang berkembang dari kaum ‘Hasidim’ atau ‘Khasidim’ (umat Allah yang setia) sejak abad ke 2 sM. Kelompok ini dikenal sejak pemerintahan Yohanes Hyrkanus. Pada masa itu ada perpecahan antara mayoritas golongan Khasidim dan keluarga Hasmonean. Ia tersinggung karena keberatan-keberatan Kashidim atas jabatannya sebagai imam besar. Sejak saat itu muncul golongan Farisi. Golongan Farisi memusatkan perhatian pada pengendalian masalah agama, bukan politik. Perhatian dan kegemaran mereka yang terutama adalah menjalankan Hukum Taurat (tentu saja termasuk sebagai tradisi) secara rinci dan cermat.

Tuhan Yesus mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi karena pribadi mereka seperti kubur. Kita tahu bahwa pada bagian luar kubur tampaknya begitu bagus tetapi di dalamnya penuh dengan bau tulang belulang dan kotoran. Demikianlah hidup mereka penuh dengan kemunafikan dan kedurjanaan. Para ahli Taurat dan kaum Farisi juga dikecam karena membangun makam para nabi dan pura-pura menyesal bahwa seandainya mereka hidup pada zaman dahulu pasti tidak akan membunuh para nabi. Padahal mereka adalah keturunan para pembunuh nabi-nabi. Yesus mengakhiri kecaman ini dengan mengatakan “Penuhlah takaran para leluhurmu” karena mereka jugalah yang akan membunuh Yesus sendiri.

Yesus tidak hanya mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi. Ia juga mengecam para ahli Taurat dan kaum Farisi modern yang munafik dalam perilaku hidup: di dalam keluarga, hidup menggereja dan di tempat kerja. Hitunglah dalam sehari berapa kali anda bersikap munafik di hadapan pasanganmu dan anak-anakmu? Berapa kali dalam sehari anda bersikap munafik di hadapan pimpinanmu, membuatnya dia senang padahal di belakangnya anda melayangkan fitnahan-fitnahan. Anda munafik karena tidak menggunakan waktu kerja dengan efektif dan efisien. Berapa kali dalam sehari anda juga munafik terhadap sesama di dalam lingkungan gereja, berpura-pura mencari alasan untuk menjauhkan diri dari pelayanan tertentu? Mungkin Yesus akan berkata lebih keras kepada kita semua yang mengikutiNya: “Celakalah!” Mari kita tunduk dan memohon ampun dari Tuhan Yesus.

Santo Paulus dalam bacaan pertama menginspirasikan kita untuk memahami lebih dalam semangat missioner. Ia mengingatkan jemaat di Tesalonika akan semua jerih payah yang mereka lakukan dalam mewartakan Injil. Paulus dan rekan-rekannya bekerja siang dan malam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehingga mereka juga tidak menjadi beban bagi jemaat yang dilayani. Di hadapan Tuhan dan sesama, mereka menunjukkan kesalehan hidup, adil dan tidak bercacat. Ini saya kira prinsip yang baik bagi seorang misionaris. Di samping semangat kerja, Paulus juga mengingatkan mereka kemampuannya untuk mengasihi dan meneguhkan iman seperti seorang bapa sayang anaknya. Jemaat di Tesalonika mengalami kasih sayang Tuhan lewat Paulus dan rekan-rekannya.


Memang menjadi misionaris bukan hanya sekedar mengambil air, memericiki dan berkotbahdi depan jemaat, selesai! Misionaris sejati adalah utusan Tuhan untuk meneguhkan iman, menghadirkan Kristus di tengah jemaat untuk diimani dan dikasihi. Misionaris sejati itu seperti seorang ibu yang ramah terhadap anak-anaknya (1Ts 2:7) dan seorang bapa yang mengasihi dan meneguhkan anak-anaknya (1Ts 2:11). Semua pengalaman Paulus ini mengingatkan kita pada Yesus sebagai gembala baik yang selalu hadir di tengah domba-dombaNya. Ia mengenal domba-domba dan domba-domba juga mengenalNya (Yoh 10:14). Pada akhirnya Paulus bersyukur kepada Tuhan karena semua pewartaan mereka diterima dengan baik oleh jemaat. Mereka menerimanya sebagai sabda Tuhan bukan sabda manusia. Allah sendiri giat bekerja di dalam diri orang yang percaya.

Pengalaman iman Paulus ini sebenarnya sangat meneguhkan kita semua. Banyak kemunafikan dan kedurjanaan, banyak ambisi dan upaya untuk membenarkan diri kita karena kita tidak hidup bersama Tuhan. Kita terlampau mengandalkan diri kita dan kita lupa bahwa Allah yang melampaui segalanya karena Dialah Pencipta kita. Mulai sekarang mari kita memandang Tuhan, mengikutinya dari dekat sambil terus menerus memohon kasih dan pengampunanNya yang berlimpah. Tuhan Yesus tidak akan mengatakan kepada kita “Celakalah” karena kita ada di pihakNya.


Doa: Ya Tuhan Yesus Kristus, banyak kali kami bersikap munafik terhadap Engkau dan sesama kami. Bantulah kami hari ini untuk berubah menjadi orang yang mampu mengasihi seperti Engkau sendiri. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply