Renungan 2 September 2013

Hari Senin, Pekan Biasa XXII
1Tes 4:13-17a
Mzm 96:1.3.4-5.11-12.13
Luk 4:16-30


Kematian itu Indah


Saya pernah membaca sebuah buku berjudul “Kematian itu indah. Bagaimana Menghadapinya?”. Buku kecil ini merupakan buah permenungan St. Alfonsus de Liguori yang disadur bebas oleh alm. Pater Moses Beding CSsR ke dalam bahasa Indonesia. Di dalam buku itu terdapat satu bab yang membahas secara khusus bagaimana cara mempersiapkan kematian. Pertama, kita jangan menunggu saat terakhir baru menyiapkan diri untuk menyambut kematian. Kita semua seharusnya sadar bahwa kita akan mati, satu kali maka haruslah menjadi suatu kematian yang baik dan bahagia. Untuk itu orang harus membenci dosa dan mencintai Allah. Kedua, sering memeriksa bathin dan membereskan hidup. Harapan Alfonsus adalah supaya setiap orang melakukan pertobatan total di dalam hidupnya. Semua afeksi jahat dibuang. Sering mengikuti perayaan Ekaristi dan menerima komuni kudus, mengadakan kunjungan berkala kepada Sakramen Mahakudus dan mengakui dosa-dosa melalui sakramen tobat. Ketiga, menghindarkan diri dari cinta duniawi. Prinsip yang perlu dimiliki oleh setiap orang adalah merasa bahwa setiap hari adalah hari yang terakhir baginya. Dengan demikian orang dapat berdoa, melakukan tugas dengan kasih dan menerima komuni kudus. Ini ketiga kiat yang dapat membantu kita untuk menyiapkan diri sehingga meninggal dunia dalam suasana bahagia dan terberkati. St. Fransiskus dari Asisi mengatakan bahwa kematian itu adalah saudara. Pertanyaan bagi kita adalah mengapa harus takut dengan kematian?

Pada hari ini St. Paulus mengajak jemaat di Tesalonika untuk merenungkan tentang kematian. Kematian adalah bagian dari kehidupan kita. Artinya hidup ini memiliki sebuah awal sejak dalam kandungan ibu, lahir ke dunia, bertumbuh dan berkembang dan akan memiliki sebuah akhir di dunia ini. Untuk itu ia menghimbau mereka untuk tidak berduka cita ketika memikirkan tentang kematian. Orang yang berduka cita karena kematian adalah orang yang tidak memiliki pengharapan. Untuk itu menurut Paulus, apabila kita percaya bahwa Yesus sudah wafat dan bangkit maka, maka kita juga percaya bahwa semua orang yang telah meninggal dunia dalam Yesus, akan dikumpulkan oleh Allah bersama dengan Yesus. Perkataan Paulus serupa dengan perkatakan Yesus sendiri dalam amanat perpisahanNya: “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila Aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamupun berada. Dan ke mana Aku pergi, kamu tahu jalan ke situ.” (Yoh 14:1-4).

Paulus dalam suratnya juga mengatakan bahwa kita yang masih hidup dan masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang sudah meninggal. Dengan seruan dari penghulu malaikat dan bunyi sangkakala Allah maka Tuhan sendiri akan turun dari surga. Mereka yang meninggal dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit. Kita semua yang masih hidup akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan untuk menyongsong Kristus di angkasa. Ini adalah sebuah gambaran eskatologis yang sangat menarik karena menggambarkan bahwa kita semua akan meninggal dunia, satu kali untuk selamanya. Kita juga akan bersatu dengan Kristus selamanya sebagaimana Ia sendiri sudah berjanji sebelum mengalami PaskahNya. Kematian dan kebangkitanNya menjadi kematian kita akibat dosa dan kebangkitan badan atas jasa Yesus Kristus Tuhan kita.

Siapakah Yesus Kristus bagi kita? Penginjil Lukas melaporkan bagaimana Yesus Kristus dari Nazaret kembali ke kampung halamanNya dan di sana Ia ditolak.  Lukas dari awal Injilnya sudah mengisahkan episode pusat dan paradigmatis tentang seluruh aktivitas umum Yesus dan juga melukiskan bagaimana penolakan Israel terhadap Yesus dan tujuan puncak dari Yesus di dunia ini yaitu menderita, wafat dan bangkit dari alam maut. ia datang ke Nazareth dan pada hari Sabat ikut masuk ke dalam Sinagoga untuk beribadat. Sebagai seorang lelaki dewasa, ia diberikan gulungan Kitab nabi Yesaya khususnya bab 61:1-2a dan Yes 58:6. Bunyi kutipannya adalah: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Luk 4:18-19). Setelah membaca perikop ini, mata semua orang tertuju kepadaNya. 

Reaksi lain adalah pengajaran dari Yesus bahwa pada hari ini genaplah seluruh nas sewaktu mereka mendengarnya. Semua orang membenarkanNya, tetapi juga terheran-heran dengan kebijaksanaan yang Ia miliki. Dari situ mereka mempertanyakan identitas Yesus: “Bukankah Ia ini anak Yusuf?” Mereka semakin kecewa dan menolak kehadiran  Yesus di Nazareth. Orang-orang Nazareth memandang Yesus sebagai Anak Yusuf, si Tukang Kayu. Pandangan orang Nazaret sangat manusiawi. Mereka hanya menandang Yesus sebagai manusia dan lupa bahwa Yesus juga  Putra Allah. Banyak kali kita juga mungkin lupa bahwa Tuhan Yesus menyertai kita sehingga di antara kita juga melupakan Tuhan. Orang dapat menjadi agnostik terhadap Yesus. 

Sabda Tuhan pada hari ini mengantar kita untuk menerima kematian sebagai bagian akhir hidup kita. Kita menerima kematian karena Yesus Tuhan juga menderita, wafat dan bangkit. Apakah kita percaya kepadaNya? 

Doa: Tuhan, tambahlah iman kami kepadaMu. Amen

PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply