Homili Hari Minggu Biasa XXIII/C

Hari Minggu Biasa XXIIIC

Keb 9:13-18
Mzm 90: 3-4.5-6.12-13.14.17
Flm 9b-10.12-17
Luk 14:25-33
Mengikuti Yesus Selamanya
Krisis Siria mengancam semua manusia yang menghuni negeri ini di Timur Tengah. Para suster Trapis yang melayani di Siria pernah diwawancarai dan juga menulis sebuah surat terbuka yang diterbitkan oleh beberapa koran di Italia bahwa setiap hari mereka melihat darah orang-orang Siria mengalir di jalanan, mengalir di depan mata mereka, mengalir di hati mereka. Kebanyakan di antara mereka yang tewas adalah orang-orang tanpa salah. Para pekerja yang datang bekerja di dalam biara para suster juga merasakan ancaman kematian dari senjata kimia. Orang-orang muda Siria sudah merasakan kekerasan dan ancaman kematian, sudah belajar kekerasan senjata dan akhirnya terbiasa dengan sebuah budaya baru yakni budaya bersenjata yang mematikan manusia lain. Tidak ada lagi saudara, yang ada adalah musuh! 

Selama beberapa hari terakhir ini nama Paus Fransiskus menempati peringkat yang istimewa. Pada tanggal 1 September 2013, beliau meminta kepada seluruh umat manusia yang menghuni dunia ini untuk melakukan puasa dan pantang serta berdoa bagi perdamaian di Siria. Dari Vatikan dilaporkan bahwa ada sekitar 100.000 orang berkumpul bersama sri Paus di pelataran St. Petrus untuk berdoa bagi perdamaian di Siria. Inisiatif Sri Paus disambut dengan baik oleh para pemimpin dunia, pemimpin agama seperti  pemimpin  spiritual Sunni di Siria Ahmed Badreddin Hassou. Selama 4 jam doa, Sri Paus bersama umat yang hadir berdoa rosario, adorasi Sakramen Mahakudus dan refleksi tentang perdamaian oleh Sri Paus. Dengan mengambil kisah Kain dan Abel, Paus bertanya kepada semua orang yang berdoa: “Apakah saya sungguh-sungguh menjaga saudara saya?” “Ya”, lanjut Sri Paus, “Anda adalah penjaga saudaramu! Menjadi manusia berarti menjaga saudara-saudaramu”. 

Paus juga menganggap situasi di Siria seperti kelahiran baru Kain dan Abel di dalam dunia modern ini. Kekerasan meledak bukan dengan manusia lain tetapi dengan saudara sendiri. Sebagai pengikut Kristus, sebaiknya kita memandang salib. Dari salib yang kita pandang akan muncul jawaban Tuhan bahwa kekerasan tidaklah dibalas dengan kekerasan, kematian tidaklah dijawab dengan bahasa kematian. Dari salib orang seharusnya meletakkan senjatanya, membangun perdamaian, pengampunan dan dialog. Bagi Sri Paus, kekerasan dan perang bukanlah jalan menuju perdamaian. Suasana doa untuk perdamaian di Siria ini sangat menyentuh hati banyak orang yang masih memiliki hati nurani. Semoga Tuhan menganugerahkan damaiNya kepada banyak orang. Dari refleksi Sri Paus, ia mengajak kita untuk memandang Salib Kristus, biar hanya sejenak saja memandangnya. Menurutnya, sambil memandang salib Kristus, kita akan menemukan jalan penuh kasih. Dari Salib terpancar perdamaian, pengampunan dan dialog. Tiga hal yang kelihatan sederhana tetapi sangat sulit untuk dilakukan di dalam hidup. Apakah orang sungguh-sungguh membawa damai? Apakah orang sungguh-sungguh mengampuni musuhnya? Apakah orang sungguh-sungguh mau berdialog dan mencari penyelesaian atas masalah-masalah yang sedang terjadi? Semuanya ini kembali kepada manusianya. Kalau masih beriman, kalau masih memiliki hati nurani maka ia akan berubah menjadi sungguh-sungguh manusia.

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil hari ini mengarahkan kita untuk memandang Dia dan mengikutiNya. Ia memberikan kita syarat-syarat untuk mengikutiNya yakni “membenci” keluarganya, memikul salibnya dan melepaskan segala miliknya. Apa makna dari syarat-syarat yang diberikan Yesus pada hari Minggu ini? 

Pertama, Yesus berkata, “Jika seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawaNya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Perkataan Yesus ini mengagetkan kita semua karena ia mengatakan “membenci” bapa dan ibu. Bagi orang Yahudi “membenci” itu menjadi sebuah perbandingan dengan “mengasihi lebih dari pada” (Mat 10:37). Membenci juga berarti melepaskan atau meninggalkan. Jadi Yesuslah yang harus diutamakan. Maka menjadi murid Kristus berarti meletakkan Kristus di atas segalanya, mengasihiNya lebih dari kaum kerabat. 

Kedua, Yesus berkata, “Siapa saja yang tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi muridKu”. Yesus mau supaya seorang yang mau menjadi murid harus mengasihiNya lebih dari dia mengasihi dirinya sendiri. Apa artinya? Artinya orang yang mau mengasihi Kristus harus memiliki sikap, perilaku rela berkorban, berani menderita, dihina dan dicaci karena Kristus. 
Ketiga, Yesus berkata, “Setiap orang di antara kamu yang tidak melepaskan diri dari segala miliknya, tidak dapat menjadi muridKu”. Orang yang mau mengikuti Kristus harus memiliki sikap lepas bebas. Ia berani melepaskan dirinya dari harta, menggunakan harta miliknya untuk kebaikan dan kesejahteraan banyak orang (Kis 2:44, 4:32). Di samping itu ada kerelaan untuk berbagi dengan sesama yang paling membutuhkan (Luk 18:22; 19:8; Kis 2:45; 4:34).

Ketiga syarat pemuridan ini membawa setiap orang untuk menjadi pengikuti Kristus yang radikal. Namun demikian, para murid Kristus juga dituntut untuk menjadi orang yang bijaksana sehingga dapat menghindar dari batu sandungan. Orang boleh meninggalkan kerabatnya, memikul salib, meninggalkan hartanya tetapi ia harus bijaksana membuat perhitungan yang matang supaya dapat mengikuti Kristus dengan menanggung semua konsekuensinya. Semua itu karena cinta kasih yang dialami dari Kristus dan membalasnya dengan mengasihi Kristus secara radikal.

Bagaimana menjadi orang yang bijaksana? Bacaan pertama dari Kitab Kebijaksanaan membantu kita untuk menyadari bahwa kebijaksanaan sejati itu berasal dari Tuhan Allah sendiri. Untuk itu orang harus berdoa, memohonkannya kepada Tuhan supaya Tuhan sendirilah yang menganugerahkan kepada pribadi tersebut. Tuhan juga menganugerahkan RohNya yang Kudus supaya membuat orang berkenan kepada Tuhan dan memperoleh keselamatan. Dengan demikian setiap orang dapat memandang orang lain sebagai saudara yang patut di kasihi. Apakah anda dan saya dapat menjadi orang bijak dan juga menjadi sesama bagi orang lain?

Santu Paulus dalam bacaan kedua mengkonkretkan sikap bijaksana yang ditekankan dalam bacaan pertama ini. Paulus mengambil contoh Onesimus. Onesimus berarti dibutuhkan. Dia adalah seorang budak pada seorang tuan bernama Filemon. Konon ia mencuri barang-barang milik Filemon. Filemon tidak mencarinya tetapi Onesimus ditangkap dan dipenjarakan. Di dalam penjara ia berjumpa dengan Paulus, melayani Paulus dan bertobat di bawah bimbingan Paulus. Paulus sendiri menyebutnya sebagai anak kesayangan hatinya. Ungkapan-ungkapan Paulus tentang Onesimus dapat kita baca dalam Kol 4:9 dan Filemon 10. Paulus meminta kepada Filemon dalam suratnya suaya menganggap Onesimus bukan sebagai budak tetapi layaklah sebagai saudara. Hitunglah dalam hari-hari hidup ini, berapa kali kita tidak dapat menjadi saudara bagi orang lain dan bagaimana mereka juga tidak menjadi saudara bagi kita. Mengikuti Yesus secara radikal dan bijaksana tercermin dalam kemampuan kita untuk menjadikan manusia sebagai saudara dan saudari kita.
Doa: Tuhan Yesus, hari ini Engkau memberi syarat-syarat untuk mengikutiMu. Bantulah kami untuk berusaha hari demi hari menjadi murid-muridMu yang setia. Amen
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply