Uomo di Dio: Hidup Berkualitas

Hidup Berkualitas
 

Kalau kita mengunjungi sebuah toko yang menjual perabot rumah tangga biasanya kita memiliki kriteria tertentu. Misalnya kalau kita mau membeli sebuah meja. Pikiran kita adalah ukuran ruangan di rumah untuk memuat meja tersebut, kita akan meraba meja tersebut dan merasakan kasar tidaknya, kayu dan hasil pekerjaannya bagus atau tidak, apakah modelnya sesuai selera atau tidak, apakah harganya terjangkau sesuai isi dompet. Kita berhadapan pada pilihan-pilihan dan akhirnya memilih yang bagus dan berkualitas. Tentu saja harganya terjangkau dan kualitasnya baik. Tetapi apakah anda pernah membayangkan sang tukang kayunya? Dia pasti memiliki rencana yang bagus dan ketika mengerjakannya ia  pasti memperhatikan mutu atau kualitas hasil pekerjaannya.

 
Ada seorang bapa yang bekerja sebagai tukang kayu.Ia didik oleh para misionaris dengan disiplin yang tinggi dan motivasi untuk menghasilkan pekerjaan yang baik dan berkualitas. Ia dikenal di kampungnya sebagai tukang kayu yang teliti dan hasil kerjanya selalu yang terbaik. Karena disiplin kerja yang bagus itu maka anaknya yang sulung juga tertarik untuk menjadi tukang kayu. Ia belajar di SMK pertukangan dan setelah selesai ia membantu ayahnya di bengkel. Setiap hari ia melihat dan mempelajari semangat kerja ayahnya. Ia berusaha untuk mendekati semangat ayahnya itu. Tentu saja ayahnya sangat senang, bukan hanya karena penghasilan semakin besar tetapi mutu kerjanya makin bagus. Masalahnya adalah motivasi yang berasal dari hati untuk bekerja dan menghasilkan perabot atau meubel yang berkualitas seperti yang dikehendaki sang ayah. Anaknya masih muda dan sering lalai!
 
Pada suatu hari mereka membuat sebuah meja. Setelah memasang papan untuk bagian atasnya, maka perlu kayu-kayu kecil untuk membentuk bingkai di pinggir supaya kelihatan rapi. Ada persambungan kayu yang dipaku tetapi kelihatan tidak rapi, kayunya tidak tersembung dengan baik. Ayahnya menegur anak itu untuk membongkarnya dan mengulangi pekerjaan itu. Tetapi anaknya mengatakan bahwa persambungan ini bisa dibuat lebih bagus dengan menambah potongan kayu lain dan dilem sehingga kuat dan tidak terlepas. Lagi pula orang pasti tidak tahu bahwa persambungan itu ada tambahan kayu lain. Ayahnya mengatakan kepadanya bahwa memang orang yang akan membeli meubel ini tidak tahu bahwa ada persambungan tetapi kamu akan tetap ingat bahwa ada persambungan. Anak itu pun membongkar dan mengulangi pekerjaannya sampai berhasil. Ia memeluk ayahnya dan berkata, “Daddy, you are the best!”
 
Kisah sederhana yang menakjubkan dan memunculkan sebuah ide tentang spiritualitas pria katolik. Pria katolik hendaknya memiliki sebuah spiritualitas kerja yang memperhatikan kualitas kerja. Meskipun pekerjaan itu sederhana tetapi ketika melakukannya dengan baik akan menjamin kualitas hasil kerja. Tetapi lebih dari itu, seorang pria katolik akan membentuk mereka yang lebih muda untuk belajar bekerja dengan jujur, tekun dan mementingkan  kualitas kerja. Seperti sang ayah dalam kisah di atas. Anaknya langsung belajar dari ayahnya bagaimana bekerja secara professional, jujur dan tekun sehingga menghasilkan sesuatu yang berkualitas. Apakah anda sebagai pria katolik berlaku jujur dalam kerja dengan selalu memperhitungkan kualitas kerja atau anda hanya bekerja hanya asal bekerja saja?
 
Mari kita perhatikan sang Maestro kita yakni Yesus Kristus. Dalam malam perjamuan terakhir, Ia berekaristi bersama para muridNya. Ia mengambil roti, mengucap syukur kepada Bapa, memecah-mecahkan roti dan memberikan kepada para muridNya seraya berkata: “Terimalah dan makanlah: Inilah TubuhKu yang diserahkan bagimu”. Ia juga mengambil piala yang berisi anggur, mengucap syukur dan mengedarkan piala sambil berkata: “Terimalah dan minumlah, inilah pialah darahKu … yang ditumpahkan bagimu. Lakukanlah ini sebagai kenangan akan daku”
 
Apa yang dikehendaki oleh Yesus dengan peristiwa Ekaristi ini? Ia sedang mengajar para muridNya sebuah waktu yang berkualitas yakni berkumpul bersama sebagai saudara. Ia memberi teladan kepada mereka untuk tahu bersyukur dan berbagi. Ia memberi dirinya secara total kepada manusia. Ia meminta supaya tetap mengenang semua yang Ia lakukan terutama pemberian diriNya secara total sebagai wujud kasih. Dengan Roti dan Anggur, kita belajar bagaimana Yesus menunjukkan hidup dan waktu yang berkualitas.
 
Saya mengakhir refleksi ini dengan mengutip Martin Luther King Jr: “Jika orang dipanggil menjadi penyapu jalan, ia harus menyapu jalan tidak ubahnya dengan Michelangelo melukis atau Bethoven yang menggubah music, atau Shakespeare menulis puisi. Ia harus menyapu jalan dengan demikian baiknya sehingga segenap penghuni surge dan bumi akan berhenti sejenak dan berkata, “Hiduplah seorang penyapu jalan yang besar yang melaksanakan pekerjaannya dengan baik”. Mari kita meningkatkan mutu kerja.
PJSDB
Leave a Reply

Leave a Reply