Homili 31 Oktober 2015

Hari Sabtu, Pekan Biasa XXX
Rm. 11:1-2a,11-12,25-29
Mzm. 93:12-13a,14-15
Luk. 14:1.7-11

Humilitas occidit superbiam

imageKalimat Humilitas occidit superbiam saya temukan pertama kali dalam sebuah lukisan tentang Daud muda yang sedang memegang kepala Goliat setelah dipenggalnya. Ini adalah sebuah lukisan penting dari Michaelangelo sekitar tahun 1609-1610. Nah, humilitas occidit superbiam berarti kerendahan hati itu bisa membunuh kesombongan. Kata-kata ini memang sederhana tetapi memiliki makna yang sangat mendalam di dalam hidup Kristiani. Orang-orang sombong bukanlah orang yang bahagia. Mereka hanya sekedar berada di zona nyaman sementara saja, tidak selamanya berada di sana. Orang-orang yang rendah hati paling bahagia di dunia. Mereka bisa mengalahkan orang yang sombong. Artinya, kesombongan bisa dihancurkan oleh kebajikan kerendahan hati. Kerendahan hati adalah pembunuh kesombongan diri.

Tuhan Yesus mengetahui kelemahan para murid-Nya. Ada saja kesombongan dan ambisi-ambisi tertentu di dalam hati mereka. Meskipun Yesus mengetahui banyak kelemahan para murid-Nya, namun Ia masih memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus juga mengenal anda dan saya, dengan segala kelebihan dan kekurangan. Ia juga mengerti dan peduli dengan segala bentuk kesombongan di dalam hidup kita. Ada kecenderungan di dalam hati manusia untuk mempromosikan dirinya, hasrat untuk mempopulerkan diri sangat tinggi.

Saya pernah memperhatikan perilaku orang tertentu dalam acara persekutuan doa. Mereka mendoakan orang tertentu dengan suara yang keras seperti Tuhan kita sudah tuli. Bukankah sebelum kita membuka mulut, Tuhan sudah mengetahui isi hati kita? Mengapa harus berteriak-teriak seperti orang-orang munafik? Apakah sikap seperti ini juga mengejawantah dalam kehidupan pribadi setiap hari? Ini merupakan bentuk kesombongan rohani dalam persekutuan doa atau dalam hidup menggereja pada umumnya. Orang yang rendah hati akan berkata: “Ujilah aku, ya Tuhan, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku. Ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku. Lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm 26:2; 139:23).

Penginjil Lukas hari mengisahkan sisi lain dari kehidupan Tuhan Yesus. Pada waktu dijamu di rumah seorang pemimpin Farisi, Ia melihat perubahan perilaku dari orang-orang yang ikut makan bersama-Nya. Ada orang yang hanya mengamat-amati semua hal yang dilakukan Yesus. Tatapan mereka penuh kecurigaan. Ada juga yang memilih tempat duduk istimewa yakni tempat-tempat kehormatan. Ia menasihati mereka untuk membangun sikap rendah hati. Ia berkata: “Kalau seorang mengundang engkau ke pesta perkawinan, janganlah duduk di tempat kehormatan, sebab mungkin orang itu telah mengundang seorang yang lebih terhormat dari padamu, supaya orang itu, yang mengundang engkau dan dia, jangan datang dan berkata kepadamu: Berilah tempat ini kepada orang itu. Lalu engkau dengan malu harus pergi duduk di tempat yang paling rendah.” (Luk 14:8-9).

Tentu saja observasi Yesus ini berdasarkan kebiasaan orang-orang setempat. Mereka suka memamerkan dirinya, suka memilih tempat-tempat terdepan dalam perjamuan dan lupa bahwa mungkin ada orang lain yang melebihi mereka. Tentu saja sikap seperti ini bukan hanya berlaku untuk sesama manusia saja. Kadang-kadang sikap ini bisa menjalar kepada kehidupan pribadi yang mudah sekali mengabaikan Tuhan. Sikap hidup dalam kebersamaan dengan sesama manusia yang kelihatan saja begini, apalagi dengan Tuhan yang tidak kelihatan, akan lebih sulit. Kesombongan diri itu membutakan kebersamaan.

Untuk mengatasi sikap sombong maka dibutuhkan kebajikan kerendahan hati. Tuhan Yesus berkata: “Tetapi, apabila engkau diundang, pergilah duduk di tempat yang paling rendah. Mungkin tuan rumah akan datang dan berkata kepadamu: Sahabat, silakan duduk di depan. Dan dengan demikian engkau akan menerima hormat di depan mata semua tamu yang lain. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” (Luk 14:10-11). Kerendahan hati adalah pintu masuk kepada kebahagiaan batin. Dari Kitab Amsal kita membaca: “Jangan berlaga di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar. Karena lebih baik orang berkata kepadamu: “Naiklah ke mari,” dari pada engkau direndahkan di hadapan orang mulia.” (Ams 25:6-7).

Kerendahan hati adalah sebuah kebajikan yang luhur. Kebajikan kerendahan hati yang benar bukanlah berarti menjelekkan diri sendiri atau membuat kita memiliki rasa rendah diri. Kerendahan hati justru membebaskan kita dari perasaan-perasaan seperti itu dan membuat kita semakin memahami diri kita di hadapan Tuhan dan sesama. Kerendahan hati bisa membantu kita untuk menilai diri kita secara tepat. Kita belajar dari Yesus yang tidak memandang ke-Allahan-Nya sebagai milik yang dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (Flp 2:7-8).

St. Paulus adalah inspirator kita untuk menjadi pribadi yang rendah hati. Ia meyakinkan jemaat di Roma bahwa Tuhan Allah tidak menolak umat-Nya. Umat Israel yang keras hati, bisa mendapatkan belas kasih dari Tuhan semesta alam. Ia juga menasihati jemaat untuk rendah hati. Ia berkata: “Sebab, saudara-saudara, supaya kamu jangan menganggap dirimu pandai, aku mau agar kamu mengetahui rahasia ini: Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk. Dengan jalan demikian seluruh Israel akan diselamatkan, seperti ada tertulis: “Dari Sion akan datang Penebus, Ia akan menyingkirkan segala kefasikan dari pada Yakub. Dan inilah perjanjian-Ku dengan mereka, apabila Aku menghapuskan dosa mereka.” (Rm 11:25-27).

Hidup Kristiani akan bermakna bila kita memiliki hidup yang serupa dengan Yesus yang lemah lembut dan rendah hati. Kerendahan hati-Nya mengubah seluruh hidup kita. Kerendahan hati membunuh setiap kesombongan diri. Di hari terakhir bulan Rosario ini kita belajar dari Bunda Maria untuk menjadi rendah hati. Ia berkata: “Sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, mulai dari sekarang segala keturunan akan menyebut aku berbahagia,” (Lukas 1:48).

Saya mengakhiri homili ini dengan mengutip St. Ignasius Loyola yang berbicara tentang kerendahan hati. Menurutnya, ada tiga tingkatan kerendahan hati, yaitu Pertama, ‘necessary humility‘: penyerahan diri kepada hukum Tuhan untuk menghindari dosa berat. Kedua, ‘perfect humility’: ketidak-terikatan pada kekayaan ataupun kemiskinan, kesehatan ataupun sakit, yang terpenting adalah menghindari dosa dan kecenderungan berbuat dosa. Ketiga, ‘most perfect humility’‘: sikap meniru Kristus, termasuk menerima dengan rela penderitaan (salib) dan penghinaan, dalam persatuan dengan Kristus, demi kasih kita kepada-Nya. Di manakah posisi anda?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply