Homili 6 Januari 2016 (Dari Bacaan Pertama)

Hari Rabu, Setelah Epifania
1Yoh. 4:11-18
Mzm. 72:1-2,10-11,12-13
Mrk. 6:45-52

Kasih-Nya sempurna di dalam kita

imageMengawali permenungan pada hari ini, saya teringat pada seorang novelis dan penulis kaliber dunia kelahiran Rio de Janeiro, Brazil 24 Agustus 1947 bernama Paulo Coelho. Dalam bukunya, “The Magical Moment”, ia menulis: “Cinta sejati itu menghendaki supaya orang yang dicintai itu bahagia sedangkan cinta yang palsu ingin diri sendiri bahagia.” Kata-kata ini kelihatan sederhana tetapi memiliki makna yang mendalam. Setelah mengingat ungkapan tertulis Coelho tentang cinta sejati dan palsu, saya merenungkan tiga hal yang masuk dalam pikiranku, yang membuatku bersyukur dan berdoa tanpa henti yakni:

Pertama, saya bersyukur kepada Tuhan karena Dia adalah kasih. Saya percaya sebagaimana diakui Yohanes bahwa Allah adalah kasih (1Yoh 4:8.16). Dia adalah cinta sejati karena senantiasa menghendaki supaya kita semua berbahagia selama-lamanya. Ia tidak pernah menjajikan cinta palsu di mana kebahagiaan menjadi milik-Nya.

Kedua, saya bersyukur sambil mengingat kedua orang tuaku dan para pasangan suami istri yang berjuang untuk memiliki cinta sejati sampai selama-lamanya. Mereka saling membahagiakan hingga saudara kematian datang dan menjemput mereka satu persatu. Sebagai manusia, cinta palsu memang pernah menguasai mereka tetapi mereka sadar diri dan kembali ke jalan yang benar yakni memiliki cinta sejati.

Ketiga, saya mendoakan banyak pasangan suami istri yang memiliki cinta yang palsu karena hanya ingin diri sendiri bahagia. Mereka begitu egois dan hanya mencari kepuasaan diri sendiri sehingga dengan sadar mengkhianati pasangannya. Bisa terjadi hanya satu yang memiliki cinta yang palsu dan yang lainnya sejati tetapi kekuatan jahat lebih menguasai mereka. Ketiga hal yang menjadi permenungan saya pada hari ini sedang ada dan menguasai dunia kita.

Banyak kali kita semua lupa akan kasih sejati dari Tuhan, sang sumber kasih. Kita percaya kepada Tuhan yang adalah kasih, tetapi belum mengenal kasih dan melakukannya dalam hidup pribadi kita masing-masing. Itulah sebabnya, Yohanes dalam suratnya menulis tentang kasih sejati: “Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi. Tidak ada seorangpun yang pernah melihat Allah. Jika kita saling mengasihi, Allah tetap di dalam kita, dan kasih-Nya sempurna di dalam kita.” (1Yoh 4:11-12). Maka kita harus berbahagia karena apapun hidup kita, Tuhan mengasihi kita apa adanya. Konsekuensinya, kita juga harus saling mengasihi satu sama lain. Ikatan kasih antara kita dan sesama membuat kasih Allah begitu sempurna baik di dalam diri kita maupun di dalam diri sesama. Para suami dan istri perlu menyadari bahwa dengan menjadi satu daging (Kej 2:24; Ef 5:31) mereka menghadirkan secara nyata kesempurnaan kasih Allah di dalam keluarganya.

Untuk lebih meyakinkan kita semua, Yohanes mengingatkan kita akan relasi kasih yang sempurna di dalam diri Allah sendiri. Kita semua percaya kepada satu Allah dengan tiga Pribadi ilahi yakni Bapa, Putera dan Roh Kudus. Ketiga Pribadi Ilahi ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, namun memiliki peran yang berbeda bagi kehidupan manusia. Berkaitan dengan ini, Yohanes mengatakan bahwa kita berada di dalam Allah dan Allah di dalam kita. Allah Bapa sendiri menganugerahkan Roh-Nya yang kudus dan mengutus Yesus Kristus Putra-Nya sebagai satu-satunya Juruselamat dunia. Tinggal di dalam Tuhan selamanya mengandaikan sebuah pengakuan iman bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah.

Yohanes juga membuka mata iman kita untuk mengalami kasih Allah yang sempurna. Bagi Yohanes, Allah adalah kasih. Hidup di dalam Allah berarti hidup di dalam kasih. Percaya kepada Allah berarti percaya kepada kasih. Orang-orang yang dibaptis dan mengakui Allah berarti mengakui kasih. Pasangan suami istri mengatakan sepadan, cocok dan saling mengasihi berarti mereka tinggal di dalam Allah yang adalah kasih. Hidup bersama sebagai sesama manusia dalam komunitas, keluarga atau sebagai pasangan suami dan istri bisa mewujudkan kasih sejati dan sempurna karena Allah selalu hadir. Yohanes dengan tegas mengatakan: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih.” (1Yoh 4:18).

Yohanes dalam suratnya ini membantu kita untuk senantias memandang kepada Yesus, yang berdoa setelah berkarya, yang berjalan dalam lorong kehidupan kita untuk meneduhkan angin sakal dalam hidup pribadi, komunitas dan keluarga masing-masing. Ia menunjukkan kasih-Nya dengan berkata: “Tenanglah, Aku ini, jangan takut.” (Mrk 6:51). Hati kita menjadi tenang karena mengalami cinta kasih sejati dari Tuhan Yesus. Masa Natal menjadi kesempatan bagi kita untuk merasakan kasih sejati, melakukan kasih sejati dan membuang kasih palsu.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply