Homili Hari Rabu Abu – 2016

Hari Rabu Abu
Yl. 2:12-18
Mzm. 51:3-4,5-6a,12-13,14,17
2Kor. 5:20-6:2
Mat. 6:1-6,16-18

Berbaliklah kepada Tuhan!

PejeSDBPada hari Rabu ini seluruh Gereja Katolik memasuki masa prapaskah dalam tahun liturgi Gereja. Maka selama empat puluh hari ke depan (kecuali enam hari Minggunya), kita semua diajak untuk berpuasa dan berpantang. Tentu saja Gereja menyiapkan waktu khusus ini dengan harapan bahwa nantinya setiap pengikut Kristus bisa layak merayakan hari Paskah dengan sukacita. Ada banyak orang yang mengatakan bahwa selama masa prapaskah ini Gereja melakukan Retret Agung selama empat puluh hari (dalam hal ini empat hari setelah hari Rabu Abu di tambah enam hari yakni senin sampai sabtu selama enam pekan).

Seorang sahabat bertanya kepadaku, mengapa harus empat puluh hari dan empat puluh malam kita berpuasa dan berpantang. Angka empat puluh ini merupakan angka simbolis di dalam Kitab Suci yang bisa membantu pertumbuhan rohani kita.  Misalnya, umat Israel mengembara di padang gurun selama empat puluh tahun, ini adalah waktu yang berguna untuk memurnikan diri di hadapan Tuhan. Nabi Musa pernah berpuasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam sebelum ia menerima sepuluh perintah Allah (Kel 34:28). Nabi Elia juga melakukan puasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam (1Raj 19:8). Tuhan Yesus sendiri melakukan puasa selama empat puluh hari dan empat puluh malam sebelum mewartakan Kerajaan Allah (Mat 4:2). Gereja juga melakukan retret agung selama empat puluh hari dan empat puluh malam supaya layak merayakan kebangkitan Kristus.

Gereja menyebut hari ini sebagai hari Rabu Abu. Artinya pada hari Rabu ini kita memulai masa prapaskah dengan menerima abu, yang ditandai di dahi dalam bentuk tanda salib atau ditaburkan di kepala kita. Abu adalah satu tanda bahwa manusia harus merendahkan dirinya di hadirat Allah. Satu tanda bahwa manusia bisa merendahkan dirinya di hadirat Tuhan adalah dengan bertobat dan memohon pengampunan dari Tuhan. Kita mengingat pewartaan nabi Yunus bagi segenap penghuni kota Ninive untuk bertobat (Yun 3:6). Tuhan sendiri menyesal karena telah merancang malapetaka bagi kota ini ketika melihat mereka bertobat. Abu juga menjadi tanda kerendahan hati kita sebagai manusia karena kita juga berasal dari debu. Tuhan menciptakan kita dari debu dan akan kembali menjadi debu. Tuhan juga berkata: “Engkau debu dan akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19). Maka ketika umat menerima abu, pelayan Tuhan berkata: “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil” (Mrk 1:15) atau “Ingat bahwa engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu”. (Kej 3:19).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Rabu Abu ini mengingatkan kita untuk merasakan belas kasih dan kerahiman Tuhan Allah. Tuhan Allah digambarkan sebagai Bapa yang maharahim yang selalu siap, membuka tangan-Nya untuk menerima kembali anak-anak-Nya yang mau bertobat atau berbalik kepada-Nya. Tuhan Allah sendiri berkata: “Tetapi sekarang juga, berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis dan dengan mengaduh.” (Yl 2:13). Perkataan Tuhan melalui nabi Yoel ini menandakan bahwa pertobatan merupakan hal yang urgent bagi manusia. Artinya, manusia membutuhkan Tuhan dalam hidupnya dan harus berusaha untuk bersatu dengan-Nya melalui jalan pertobatan.

Untuk menjawabi ajakan pertobatan dari Tuhan ini, apa yang harus manusia lakukan di hadapan Tuhan? Manusia harus bertobat karena Allah sangat mengasihinya. Nabi Yoel bernubuat: “Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada Tuhan, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.” (Yl 2:13). Pertobatan yang benar bukanlah menyangkut hal-hal lahiria belaka tetapi pertobatan hati. Hati adalah totalitas hidup manusia. Pertobatan hati memungkinkan kita untuk berbalik kepada Tuhan karena Dia adalah kasih.

Bapa Suci Paus Fransiskus dalam pesan Prapaskah tahun 2016 mengatakan bahwa kerahiman Allah mengubah hati manusia dan dengan demikian manusia juga pada gilirannya berubah untuk hidup penuh kerahiman kepada sesama. Kerahiman Allah bisa mengubah hati manusia yang keras untuk memiliki damai dalam hidupnya. Dalam masa prapaskah ini kita diingatkan untuk semakin menyadari kerahiman Tuhan yang mengampuni dan mengasihi kita semua apa adanya. Kita perlu membuka ruang bagi Tuhan untuk berbicara dengan kita dari dalam. Bapa Suci Fransiskus mengatakan bahwa masa prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk mendengarkan Sabda Tuhan dan mengamalkan karya-karya kerahiman Allah di dalam hidup kita.

St. Paulus dalam nama Yesus Kristus mengajak kita untuk memberi diri kita didamaikan dengan Allah. Baginya, Yesus Kristus tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya di dalam Dia kita bisa dibenarkan oleh Allah. Untuk itu ia mengharapkan agar kita jangan menyia-nyiakan kasih karunia Allah yang sudah kita terima. Apakah kita menyadari kasih dan kerahiman Tuhan? Banyak kali kita menyia-nyiakan kasih karunia Tuhan. Pada hari Rabu Abu ini, kita diingatkan bahwa, “Sesungguhnya, waktu ini adalah waktu perkenanan itu; sesungguhnya, hari ini adalah hari penyelamatan itu.” (2Kor 6:2).

Apa yang bisa kita lakukan untuk melakukan pertobatan yang benar? Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengajak kita untuk melakukan hal-hal praktis supaya bisa berbalik kepada Tuhan. Pertama, melakukan perbuatan amal kasih kepada sesama yang miskin. Kedua, tekun berdoa. Ketiga, dengan berpuasa. Ketiga hal ini adalah petunjuk praktis dari Tuhan Yesus bagi kita dan merupakan satu kesatuan. Kita melakukannya dengan setia sebagai tanda kita berbagi kerahiman Allah dengan sesama.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply