Homili 12 Februari 2016

Hari Jumat sesudah Rabu Abu
Yes. 58:1-9a
Mzm. 51:3-4,5-6a,18-19
Mat. 9:14-15

Mari kita berpuasa dan berpantang

imageBeberapa hari yang lalu saya berjalan melewati halaman sebuah gereja Katolik. Ketika itu saya melihat sebuah spanduk dengan tulisan berupa ajakan kepada semua umat katolik untuk berpuasa dan berpantang. Bunyi tulisan pada spanduk adalah: “Mari berpuasa dan berpantang”. Bagi saya, ini adalah sebuah spanduk pertama yang saya lihat di depan sebuah Gereja, berupa ajakan untuk berpuasa dan berpantang yang mungkin dibuat oleh panitia paskah di paroki itu. Saya merasa bahwa ajakan seperti ini memang masih perlu dan harus bagi kita semua, mengingat kesadaran umat untuk beriman dan takwa sedang menurun. Banyak orang menjadi apatis dengan hidupnya sebagai umat beriman. Perilaku hedonisme juga sedang menguasai kehidupan pribadi banyak orang. Ajakan ini bisa bermakna bagi setiap pribadi untuk kembali atau berbalik kepada Tuhan.

Di dalam gereja Katolik, berpuasa dan pantang adalah sebuah tanda pertobatan. Kita belajar untuk menyangkal diri, menyalibkan segala keinginan yang tidak teratur di dalam diri kita masing-masing. Dengan berpuasa dan pantang kita mau mempersatukan pengorbanan diri kita dengan pengorbanan Yesus Kristus yang jauh lebih besar di atas kayu salib, sebagai tanda bahwa kita mau bertobat dan supaya dunia bisa insyaf akan keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan Yesus sendiri. Puasa dan pantang menjadi sebuah latihan rohani sekaligus komitmen supaya kita lebih mendekatkan diri kepada Tuhan Yesus yang menderita bagi kita dan sesama yang sama-sama membutuhkan keselamatan dari Tuhan Yesus Kristus. Maka berpuasa dan pantang itu mengandaikan pengorbanan diri (self sacrifice) di dalam diri kita masing-masing.

Kita bisa melakukan tindakan-tindakan konkret dalam berpuasa dan berpantang dengan mengontrol diri terhadap makanan dan minuman kesukaan kita, misalnya tidak mengkonsumsi atau menguranginya. Dengan berpuasa dan berpantang bisa melatih jiwa dan raga kita untuk mencapai tingkat kemurnian tertentu, supaya kita lebih tekun dan berkonsentrasi dalam doa secara pribadi dan komunitas. Berpuasa berarti berubah menjadi lebih baik, misalnya lebih tekun lagi dalam berdoa, menaruh seluruh harapan hanya kepada Tuhan dan membebaskan diri kita dari keinginan-keinginan duniawi. Berpuasa dan berpantang merupakan cara kita melengkapi penderitaan Kristus yang masih kurang di dalam Tubuh-Nya yaitu Gereja (Kol 1:24).

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengingatkan kita untuk melakukan puasa dan pantang dengan benar di hadapan Tuhan dan sesama. Puasa secara khusus menjadi sebuah pertanyaan sepanjang zaman. Penginjil Matius melaporkan bahwa para murid Yohanes Pembaptis sendiri mendatangi Yesus dan bertanya seperti ini: “Mengapa kami dan orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” (Mat 9:14). Bagi mereka berpuasa itu adalah peraturan yang harus mereka ikuti dengan sempurna. Maka sangat mengherankan bagi mereka jika murid-murid Yesus tidak berpuasa. Apakah mereka adalah kekecualian dari kalangan Yahudi? Padahal, orang bisa menjadi Yahudi tulen kalau aturan keagamaan ini diikuti dengan baik.

Reaksi Tuhan Yesus ketika mendengar pertanyaan itu adalah membuka wawasan mereka semua dan mengakui diri-Nya sebagai mempelai yang masih berada bersama dengan para murid-Nya sebagai sahabat mempelai. Ketika mempelai masih tinggal bersama dengan para sahabatnya maka yang ada pada mereka bukanlah dukacita melainkan sukacita. Puasa belum berlaku bagi mereka. Namun Yesus juga mengatakan bahwa pada saatnya nanti sang mempelai akan diambil dari para sahabatnya, dan pada saat itulah mereka akan berpuasa (Mat 9:15). Hidup bersama Yesus itu penuh dengan sukacita. Setiap orang mengalami hidup baru, laksana sebuah pesta pernikahan yang penuh kebahagiaan di dalam hidup pasangan suami dan istri. Namun peristiwa Paskah Yesus nantinya akan menjadi duka bagi para murid-Nya sebelum mengalami kebahagiaan kekal karena kebangkitan-Nya yang mulia.

Mengapa Yesus mengambil contoh dari hidup perkawinan? Adalah sebuah kebiasaan bagi orang-orang yang menikah pada zaman Yesus, di mana selama beberapa hari mereka mengadakan pesta untuk merasakan sukacita bersama pengantin dan mempelai yang berbahagia dalam sebuah keluarga baru. Suasana kebersamaan itu digambarkan penuh kebahagiaan, meskipun mereka mungkin saja memiliki penderitaan tertentu. Yesus juga membuka wawasan mereka bahwa barangsiapa tinggal bersama-Nya akan merasakan sukacita kekal meskipun disertai penderitaan dan kemalangan.

Bagaimana kita bisa mengerti lebih jauh tentang puasa yang benar menurut kehendak Tuhan? Nabi Yesaya dalam bacaan pertama menyadari tugas perutusannya dari Tuhan mengatakan dengan jelas segala pelanggaran, dosa dan salah yang sudah kaum keturunan Yakub perbuat di hadirat Tuhan. Kaum keturunan Yakub memang selalu mencari Tuhan, suka mengenal jalan-jalan-Nya. Namun satu pertanyaan yang selalu muncul dalam diri mereka kepada Tuhan adalah: “Mangapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya? Mengapa kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” (Yes 58:3). Tuhan juga melihat kaum keturunan Yakub masih lalai dalam hidupnya dengan tetap mengurus urusan pribadinya dan mendesak kaum buruhnya. Mereka masih berpuasa sambil berbantah-bantah, berkelahi, memukul dengan tinju dengan tidak semena-mena. Berpuasa semacam ini tidak layak bagi Tuhan.

Lalu apa yang Tuhan maksudkan dengan puasa yang benar? Inilah perkataan Tuhan, “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes 58: 6-7).

Sabda Tuhan melalui nabi Yesaya ini membantu kita untuk mengerti bahwa berpuasa berarti mengasihi Tuhan dan sesama. Kasih itu laksana terang yang merekah seperti fajar dalam sebuah kegelapan dan kegelapan itu akan serupa dengan bintang rembang tengah hari. Mari kita juga mengingat perkataan Tuhan Yesus, “Apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu supaya jangan dilihat orang bahwa engkau sedang berpuasa melainkan hanya Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Dia juga akan membalasnya kepadamu.” (Mat 6:16-18).

Mari kita berpuasa dan berpantang selaman retret agung ini.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply