Homili 26 Februari 2016

Hari Jumat, Pekan Prapaskah II
Kej. 37:3-4,12-13a,17b-28
Mzm. 105:16-17,18-19,20-21
Mat. 21:33-43,45-46

Jangan suka iri hati!

imageAda seorang ayah yang menasihati kedua anaknya supaya jangan belajar iri hati satu sama lain. Baginya, iri hati hanya akan menghancurkan relasi persaudaraan di dalam keluarga. Kedua anak hanya sekedar mendengar nasihat ini karena mereka masih kecil. Ketika mereka bertumbuh menjadi dewasa, mereka merasa bahwa segala nasihat yang selalu diulangi ayahnya itu tetap berguna. Iri hati itu hanya menjauhkan pribadi-pribadi dan keluarga-keluarga. Saudara berubah menjadi musuh karena iri hati.

Apa makna iri hati dalam ajaran Gereja Katolik? Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa iri hati merupakan salah satu dari tujuh dosa pokok. Misalnya seseorang terbiasa iri hati karena ada rasa kecewa, cemburu atas keberhasilan hidup seseorang dan ia menginginkannya secara tidak wajar untuk dirinya sendiri, dengan cara-cara tertentu yang tidak adil. Orang bisa melakukan dosa berat karena menginginkan yang jahat bagi sesamanya. Santo Gregorius Agung mengatakan bahwa iri hati menimbulkan kedengkian, fitnah, hujat, kegirangan akan kesengsaraan orang lain, dan menyesalkan keberuntungannya. Santo Agustinus memandangnya sebagai “dosa setani”. (KGK #2539).

St. Yohanes dari Damaskus, sebagaimana dikutip oleh St Thomas Aquinas dalam Summa Theologia, mengatakan bahwa iri hati adalah satu jenis penderitaan, dan iri hati adalah penderitaan atas kebaikan orang lain. Sehingga kebajikan yang adalah lawannya yaitu kebaikan hati; namun karena iri hati seringkali timbul akibat kesombongan, karena seseorang yang iri merasa dirinya layak untuk memiliki apa yang tidak dimilikinya, maka setiap orang yang telah dibaptis harus melatih diri untuk hidup dalam kerendahan hati. (KGK #2540

Dengan pemahaman tentang makna iri hati, kita hendaknya merasa malu kalau masih melakukan iri hati terhadap sesama yang lain. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari ini mengambil tema iri hati sebagai sebuah dosa yang harus kita hindari selama masa prapaskah ini. Kita mengganti iri hati dengan kerelaan untuk selalu berbuat baik kepada sesama yang lain. Kita mulai dari dalam keluarga masing-masing, para orang tua mendidik anak-anaknya untuk tidak iri hati satu sama lain.

Dari bacaan pertama, kita berjumpa dengan anak-anak Yakub yang merasa iri hati terhadap saudara mereka Yosef. Nama Yosef adalah bentuk perintah dari kata kerja yasaf artinya ‘menambahi’ atau ‘menambah-kan’. Maka arti nama Yosef ialah ‘kiranya ditambahkan-Nya lagi seorang anak lelaki’. Mungkin ini adalah doa Yakub kepada Tuhan sehingga lahirlah Yosef sebagai putra pertama dari salah seorang istri Yakub bernama Rahel (Kej 30:24; 35:24). Dia menjadi anak yang paling disayangi Yakub (Kej. 37-47). Ia bermimpi mengenai kekuasaannya di masa depan. Karena menjadi anak kesayanagna ayah dan suka menafsir mimpi maka ia juga menjadi korban keirihatian kakak-kakaknya. Ia lalu dijual kepada para saudagar yang sedang dalam perjalanan ke Mesir.

Apa yang terjadi dengan Yusuf di Mesir? Ketika tiba di Mesir ia menunjukkan kemapuan administratifnya. Ia laksana batu yang dibuang oleh tukang bangunan kini menjadi batu induk. Ketika saudara-saudaranya datang untuk membeli gandum pada masa bahaya kelaparan, terjadilah rekonsiliasi dramatis. Sejak saat itu seluruh keluarganya hijrah ke Mesir. Kisah hidup Yusuf mungkin melambangkan konflik internal yang selalu terjadi di antara keduabelas suku, namun juga pengharapan akan terjadinya rekonsiliasi akhir. Mungkin ada pula kenangan suram mengenai fakta historis bahwa kelompok-kelompok orang Ibrani, dari suku yang berbeda-beda, tinggal di Mesir untuk sementara, dan pada waktu yang berlain-lainan.

Iri hati telah menghancurkan relasi keluarga Yakub. Akibat iri hati ada kebencian dan rencana-rencana jahat dari saudara-saudara Yusuf. Mereka ingin membunuhnya tetapi mereka masih segan dengan Yakub ayah mereka. Mereka memasukannya ke dalam sumur tua, mengeluarkannya lalu menjualnya ke Mesir. Sekarang coba pikirkan keluarga Yakub. Anak-anaknya merasa iri hati, menyengsarakannya lalu menjualnya ke tempat asing yaitu Mesir. Hati nurani mereka telah tumpul sehingga melakukan kejahatan terhadap saudara kandungnya sendiri. Yusuf menjadi prototipe Yesus di dalam Injil.

Dalam bacaan Injil kita mendengar Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang seorang tuan yang membuka kebun anggur. Ia menyiapkan segala fasililitas seperti pagar keliling kebun, tempat untuk memeras anggur dan menara jaga. Ia menyewakan kebun anggur kepada para penggarap lalu pergi ke negeri yang jauh. Ketika musim petik tiba, ia menyuruh hamba-hambanya untuk pergi kepada para penggarap untuk meminta bagiannya. Namun para hamba itu diperlakukan kasar. Mereka dipukul, dilempari batu dan dibunuh. Anak kandungnya sendiri ditangap lalu dibawa ke luar kebun anggur untuk dibunuh. Tindakan para penggarap ini sangat jahat maka tuan kebun anggur itu akan membinasakan mereka semua dan menyewakan kebun anggur itu kepada penggarap-penggarap lain yang akan menyerahkan hasil tepat pada waktunya.

Dalam kisah ini kita mendengar ungkapan rasa iri dari pihak para penggarap kepada tuan dan para hambanya. Mereka berpikir bahwa tuan dan para hambanya itu hanya datang untuk menerima hasilnya maka lebih baik mereka dibunuh sehingga kebun anggur itu menjadi milik mereka. Niat jahat selalu ada dalam diri manusia karena rasa iri hati.

Masa Prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk membuang sikap iri hati.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply