Homili 8 Juni 2016

Hari Rabu, Pekan Biasa X
1Raj 18: 20-39
Mzm 16:1-2a.4.5.8.11
Mat 5:17-19

Yesus Menyempurnakan Kerahiman Allah

imagePada pagi hari ini, salah seorang sahabat saya mengirim sebuah kutipan yang bagus dari Paus Fransiskus tentang indahnya kerahiman Allah. Inilah bunyi kutipannya: “Kerahiman Allah itu laksana sebuah jembatan yang menghubungkan Allah sendiri dan manusia. Kerahiman Allah mampu membuka hati kita dan memberi harapan akan keabadian kasih-Nya, meskipun kita adalah orang berdosa”. Saya merenungkan perkataan Paus dan berkata dalam hati bahwa memang benar bahwa Allah menunjukkan kerahiman-Nya kepada manusia supaya manusia dapat menjadi anak dan ahli waris dalam kerajaan-Nya. Kerahiman Allah menjadi sebuah jembatan penghubung antara Allah yang mahakudus dan manusia yang berdosa. Manusia diberi harapan untuk menikmati keabadian kasih Allah. Kasih yang abadi hanya ada di dalam Yesus Kristus, Anak Allah. Dialah yang menunjukkan wajah Kerahiman Allah itu sendiri.

Saya mengingat Aiden Wilson Tozer, seorang Pendeta dari Amerika Serikat, yang meninggal ada tanggal 12 Mei 1963, pernah berkata, “Kerahiman itu bukanlah sesuatu yang dimiliki Allah melainkan hakikat Allah sendiri sebagai kerahiman”. Kerahiman melekat dalam diri Allah karena Allah adalah kasih. Hal ini kiraya sejalan dengan Max Lucado yang mengatakan: “Kerahiman Allah mampu mengampuni si penjahat yang disalibkan bersama dengan Yesus, dan kasih karunia telah mengantarnya ke dalam firdaus.” Perjalanan hidup kita kiranya mirip dengan semua yang digambarkan di sini. Kita semua adalah orang berdosa yang membutuhkan Tuhan dan kerahiman-Nya.

Pada hari ini kita mendengar perikop Injil Matius yang merupakan salah satu bagian inti dari kotbah Yesus di bukit. Perikop Injil yang kita dengar ini juga merupakan bagian penting, yang sering diperdebatkan dalam komunitas Gereja perdana tentang keharusan jemaat perdana untuk mentaati hukum Taurat atau hukum Musa. Titik krusialnya adalah pada pendangan tentang hubungan antara Kitab Suci dan kebaruan dalam Injil yang diajarkan Yesus yakni perintah kasih, antara Yudaisme dan Kristianisme. Penginjil Matius merujuk pada validitas Taurat karena ia menginterpretasikannya sesuai dengan kehendak Tuhan Allah Bapa dalam Yesus Kristus. Penginjil Matius juga kelihatan tetap menunjukkan iman komunitasnya yang melekat pada tradisi kental Yudaisme dan Sinagoga.

Dalam Kotbah dibukit, Tuhan Yesus mengatakan kepada para murid-Nya supaya mereka jangan menyangka bahwa Ia datang untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab para nabi. Ia datang ke dunia sebagai Sabda Hidup untuk menggenapinya. Ekspresi hukum Taurat dan Kitab para nabi menunjuk pada seluruh Kitab Suci Perjanjian Lama. Tuhan Yesus tidak “meniadakan” melainkan “menggenapi”. Kata kerja “menggenapi” bukan hanya berarti menyempurnakan melainkan untuk memberi makna yang lebih mendalam, lebih istimewa karena Yesus mengajarkan perintah baru yaitu kasih. Kasih adalah pusat pewartaan Yesus di atas bukit Sabda bahagia ini.

Dengan menghadirkan Kerajaan Allah melalui pengajaran-Nya ini, Yesus juga menunjukkan wajah kerahiman Allah Bapa. Ia menunjukkan dengan jelas kehendak Allah Bapa yang maharahim dan menggenapi proyek keselamatan Bapa bagi manusia sebagaimana sudah disebutkan dalam Kitab Suci Perjanjian Lama. Kerahiman Allah juga menjadi nyata dalam diri setiap pribadi yang melakukan pertobatan hati.

Tuhan Yesus mengakui validitas Taurat Musa. Sebab itu Ia berkata: “Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi”. (Mat 5:18). Hukum Taurat memiliki makna yang indah karena disempurnakan oleh kasih. Di dalam kasih itu, kehendak Allah yang maharahim menjadi nyata. Validitas hukum Taurat juga berlangsung hingga akhir zaman, di mana Yesus sendiri akan datang untuk mengadili orang yang hidup dan mati. Sebab itu Ia menghendaki agar para pengikut-Nya juga setia melakukan seluruh hukum Taurat dalam suasana kasih dan kerahiman. Orang akan mendapat tempat paling rendah kalau meniadakan salah satu perintah meskipun hanya perintah kecil saja, sebaliknya kalau melakukannya dengan sempurna akan mendapat tempat yang tinggi di dalam kerajaan Sorga.

Kerahiman Allah menjadi nyata dalam pertobatan hati kita. Ini adalah kehendak Yesus bagi setiap pribadi. Jauh sebelumnya, nabi Elia sudah bernubuat tentang pertobatan hati untuk dapat menikmati kerahiman Allah. Pada zamannya nabi Elia banyak orang jatuh dalam dosa menyembah berhala. Ia mengatakan bahwa orang-orang saat itu berlaku timpang dan mendua hati. Maka kalau memang mereka mengikuti Tuhan Allah maka mereka mengikuti-Nya kalau mereka mengikuti Baal maka mereka mengikutinya. Jadi Elia menghendaki agar orang-orang saat itu harus memiliki pilihan yang tepat: atau Allah atau Baal. Pada waktu itu ada sekitar 450 orang nabi Baal, sedangkan Elia sendiri hanya satu-satunya nabi dari Allah yang benar di Israel.

Elia berhasil menghadirkan wajah Allah yang maharahim kepada orang-orang yang sudah jatuh dalam dosa menyembah berhala. Ia berdoa: “Ya Tuhan, Allah Abraham, Ishak dan Israel, pada hari ini biarlah diketahui orang, bahwa Engkaulah Allah di tengah-tengah Israel dan bahwa aku ini hamba-Mu dan bahwa atas firman-Mulah aku melakukan segala perkara ini. Jawablah aku, ya Tuhan, jawablah aku, supaya bangsa ini mengetahui, bahwa Engkaulah Allah, ya Tuhan, dan Engkaulah yang membuat hati mereka tobat kembali.” (1Raj 18:36-37). Pada saat itu juga semua orang merasakan kerahiman Allah dan mengakui Tuhan sebagai Allah mereka.

Sabda Tuhan pada hari ini membuka wawasan kita untuk percaya kepada Tuhan Bapa yang Maharahim. Kita semua diingatkan untuk melakukan perintah baru yaitu kasih. Kasih merupakan pusat pewartaan Yesus di atas bukit. Kasih adalah wujud kerahiman Allah yang sempurna bagi anda dan saya. Tuhan Yesus adalah satu-satunya yang menyempurnakan kerahiman Allah di dalam hidup kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply