Homili 9 Juni 2016

Hari Kamis, Pekan Biasa X
1Raj 18:41-46
Mzm 65: 10abcd.10e-11.12-13
Mat 5:20-26

Tuhan, Tunjukanlah Kerahiman-Mu Kepadaku!

imageSaya pernah merayakan misa syukur sebuah keluarga. Mereka memberi kepadaku buku Puji Syukur dan daftar lagu-lagu yang akan dinyanyikan bersama-sama. Ketika membuka buku Puji Syukur, saya menemukan sebuah tulisan tangan pada salah satu halaman, bunyinya: “Tuhan, Tunjukanlah Kerahiman-Mu kepadaku!” Saya menduga ini merupakan sebuah doa singkat yang diucapkan sebelum atau sesudah menerima sakramen Tobat. Saya melanjutkan perayaan misa syukur dengan hati yang penuh sukacita karena salah seorang umat sedang mengajar saya untuk bersyukur atas kerahiman Tuhan Allah. Banyak kali kita mungkin lupa untuk menyatakan rasa syukur atas kerahiman Tuhan dalam sakramen Tobat. Apakah anda juga sudah bersyukur kepada Tuhan karena kerahiman-Nya?

Kita mendengar Bacaan Injil Matius, kelanjutan tentang Sabda Bahagia. Tuhan Yesus datang untuk menggenapi Taurat. Ia memberi makna baru, makna terdalam hukum Taurat dengan sebuah perintah baru yaitu Kasih. Maka inti Sabda Bahagia adalah perintah kasih yang harus kita lakukan sepanjang hidup. Tuhan Yesus juga membantu kita semua untuk berefleksi lebih lanjut tentang Sabda Bahagia yang diajarkan-Nya. Maka perikop yang diajarkan Yesus kepada kita hari ini merupakan salah satu antithesis dari enam antithesis yang diajarkan Yesus di atas bukit Sabda Bahagia (Mat 5:21-48). Keenam antithesis yang dikemukakan Yesus merupakan contoh-contoh konkret bagaimana Yesus “menggenapi hukum Taurat dan Kitab para nabi” melebihi “kebenaran” yang menjadi slogan resmi kaum Farisi dan para ahli Taurat (Mat 5:20). Boleh dikatakan bahwa Yesus adalah Musa baru yang menginterpretasikan hukum Taurat secara baru. Ia menunjukkan kuasa melebihi Musa karena Ia menghadirkan Kerajaan Allah.

Yesus mengemukakan antithesis yang pertama: “Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.” (Mat 5:21-22). Yesus tidak hanya mengingatkan apa yang dikatakan oleh nenek moyang mereka tentang hukuman atas dosa membunuh (Kel 20:13; Ul 5:17) tetapi menambahkan hukuman tentang marah. Membunuh adalah menghilangkan nyawa seorang manusia yang berawal dari rasa benci. Nah, Tuhan Yesus melihat hal yang lebih dalam dari sebuah kejahatan, yang sering menguasai kehidupan setiap orang.

Katekismus Gereja katolik mengajarkan bahwa kemarahan adalah salah satu dosa pokok. Kemarahan adalah hasrat yang berlebihan untuk membalas dendam. St. Thomas Aquinas mengajukan enam dampak dari kemarahan yakni kejengkelan, kekacauan mental, suara bicara yang memekakan telinga, kutuk, makian dan pertikaian. Agar mawas diri terhadap kemarahan maka orang harus setia pada keutamaan keadilan dalam pikiran, perkataan, perbuatan, menguasai diri dalam mengatasi suatu masalah dan mengikuti teladan Kristus. St. Katarina dari Siena pernah berkata: “Tak ada dosa ataupun kesalahan yang dapat membuat orang mencicipi neraka sedemikian rupa dalam hidup ini seperti kemarahan dan ketidaksabaran.”

Yesus dengan tegas mengatakan sangsi tertentu misalnya, orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum dalam pengadilan lokal. Siapa yang mengatakan kepada saudaranya Kafir harus dihadapkan kepada Mahkamah Agama (Sinedrin) dan siapa yang berkata jahil mendapat sangsi yaitu neraka yang menyala-nyala. Nah orang benar di hadapan Tuhan akan menghindari diri dari kecenderungan untuk marah, pertentangan, kutukan yang bisa menghancurkan persekutuan sebagai saudara.

Pada bagian terakhir dari perikop Injil hari ini, Tuhan Yesus menambahkan dua contoh perumpamaan tentang berdamai (Mat 5: 23-24) dan berekonsiliasi (mat 5:25-26). Kedua kata yakni berdamai dan berekonsiliasi ini merupakan obat mujarab bagi dosa pembunuhan. Persekutuan persaudaraan akan tetap sempurna ketika ada semangat untuk mewujudkan kerahiman Allah dalam suasana damai dan rekonsiliasi.

Sekarang, marilah kita mengevaluasi diri kita di hadirat Tuhan. Banyak kali kita sulit sekali merasakan kerahiman Tuhan Allah karena rasa marah menguasai hidup kita. Kita juga menutup diri untuk berdamai dan berekonsiliasi dengan sesama kita. Kita lebih mudah membulying saudara-saudara kita dengan kekerasan verbal seperti “kafir” dan “jahil”. Kita harus berubah untuk bisa merasakan kerahiman Allah.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply