Homili 22 Juni 2016

Hari Rabu, Pekan Biasa XII
2Raj 22:8-13; 23:1-3
Mzm 119: 33.34.35.37.40
Mat 7: 15-20

Keteladanan itu perlu dan harus

imageAda seorang remaja yang pernah berbicara denganku. Ia merasa kecewa dengan kedua orang tuanya karena mereka banyak berbicara tetapi tidak menunjukkan teladan yang baik. Ia memberi contoh, setiap sore ia ingin melepas lelah dengan bermain game sebentar dengan menggunakan layar TV, namun ibunya melarang, dengan alasan jam belajar baginya. Ia mengikuti perintah ibunya. Ia berusaha menyelesaikan pekerjaan rumahnya dengan baik. Tetapi pada saat yang sama ia merasa terganggu karena di ruang keluarga, ibunya tertawa terbahak-bahak mengikuti acara televisi kesayangannya. Ayahnya selalu mengingatkan seluruh anggota keluarganya untuk mengontrol diri dalam menggunakan handphone. Maka setiap kali makan bersama semua orang di rumah harus sign out. Tetapi anak itu juga merasa kesal dengan ayahnya karena ayahnya berkali-kali berbicara dengannya, ayah itu lebih banyak melihat hp dari pada memandang wajahnya sebagai anak. Ia merasa tidak adil karena ayahnya lebih perhatian pada handphone daripada dirinya.

Pengalaman sederhana ini selalu saya ingat. Memang keteladanan itu sesuatu sangat penting. Waktu sudah berubah. Dahulu mungkin orang tua yang banyak berbicara selalu puas karena anaknya masih mau menengarnya. Namun pada masa ini orang tua seharusnya berbicara sedikit dan menunjuk teladan yang banyak. Keteladanan itu jauh lebih luhur dari pada seribu kata yang keluar dari mulut. Seorang sahabat pernah mengatakan bahwa keteladanan yang baik itu jauh lebih berharga dari pada segudang kata-kata yang keluar dari mulut. Saya kira ada benarnya juga.

Tuhan Yesus hendak mengakhiri kotbah di bukit dengan memberi nasihat-nasihat praktis bagi para murid-Nya. Kali ini Ia mengingatkan mereka untuk mawas diri dan berwaspada terhadap kehadiran para nabi palsu yang menyamar seperti serigala berbulu domba. Mungkin rujukan Matius adalah kepada para pewarta palsu yang saat itu berjalan dari rumah ke rumah, mengajarkan ajaran-ajaran yang menyesatkan mereka. Ajaran-ajaran para nabi palsu lebih membuka jalan ke pintu lebar bukan pintu sempit. Pintu yang lebar membawa kebinasaan, pintu yang sempit membawa keselamatan. Mereka ini kelihatan seperti domba jinak padahal sebenarnya adalah serigala yang buas. Tuhan Yesus mengatakan bahwa dari buah-buah ajarannya maka kita akan mengenal mereka lebih dalam lagi.

Tuhan Yesus mengambil contoh yang sederhana: “Dapatkah orang memetik buah anggur dari semak duri atau buah ara dari rumput duri?” (Mat 7:16). Kita semua pasti sepakat untuk mengatakan tidak dapat. Buah anggur tentu saja dari pohon anggur, demikian buah ara pasti dari pohon ara. Nah tidak mungkin buah diklaim sebagai bunda itu berasal dari pohon yang berbeda. Setiap pohon akan menghasilkan buahnya sendiri bukan dari pohon lain. Maka Yesus mengatakan bahwa setiap pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik, pohon yang tidak baik dapat menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak mungkin pohon yang baik itu menghasilkan buah yang tidak baik.

Para nabi palsu mengajarkan hal-hal yang tidak benar karena berlawanan dengan ajaran-ajaran Tuhan Yesus Kristus. Mereka itu ibarat pohon yang tidak baik yang nenghasilkan buah yang tidak baik. Dari buahnya kita dapat mengenal siapakah mereka itu. Tugas dan pekerjaan para nabi palsu adalah menyesatkan orang bukan menyelamatkan. Para nabi palsu berbeda dengan para utusan Tuhan yang benar. Para nabi sebagai utusan Tuhan melakukan semua pekerjaan Tuhan dengan baik. Mereka melakukan semuanya dengan kasih yang tidak terbagi untuk Tuhan.

Mari kita menyelidiki batin kita masing-masing. Banyak kali mungkin kita tidak lebih dari para nabi palsu yang hanya dapat berbicara tetapi tidak melakukannya dalam praktik hidup yang nyata. Kita menghalangai kerahiman Allah kepada sesama manusia. Pada hari ini kita bertekad untuk menjadi manusia baru. Kita membawa kerahiman Allah untuk dialami oleh orang lain. Tentu saja melalui keteladanan yang baik.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply