Uskup Belo, SDB Tentang Manusia Hipermodern

Manusia Hipermodern

imagePada tanggal 27 Agustus 2016 yang lalu, Salesian Don Bosco (SDB) di Timor Leste dan keluarga besar Salesian Don Bosco mendapat kunjungan istimewa dari Uskup Emeritus Keuskupan Dili, Mgr. Carlos Filipe Ximenes Belo, SDB. Kedatangannya ke Timor Leste seminggu sebelumnya adalah untuk mengunjungi saudaranya yang sedang sakit dan sudah meninggal dunia. Kehadirannya tentu sangat meneguhkan keluarganya.

Beliau selama ini berada di Portugal, bekerja sebagai misionaris untuk melayani umat di sana, menulis buku-buku yang berkaitan dengan sejarah Gereja Katolik di Timor Leste dan menjalani proses pemulihan kesehatannya. Ia juga seringkali menjadi pembicara dengan topik tertentu berhubungan dengan hak-hak asasi manusia karena beliau adalah salah seorang pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 1996.

Dalam pertemuan singkat dengan keluarga besar Salesian Don Bosco di Comoro, Dili, beliau memberikan observasinya tentang situasi terakhir masyarakat dan bangsa Timor Leste. Fokus observasinya adalah situasi sosial kemasyarakatan, gereja dan negara serta relasi di antara mereka. Saya menyebutnya sebagai kata-kata yang tercecer dari Mgr. Belo. Kata-kata yang tercecer ini sangat inspiratif untuk banyak orang yang berkehendak baik dan mencintai bangsa dan negara Timor Leste. Kata-kata tercecer ini juga bersifat mengontrol dan mengubah perilaku manusia Timor Leste akibat loncatan budaya yang cukup ekstrim.

Kata-kata yang tercecer pertama adalah fenomena manusia Timor Leste yang sudah sedang mengalami transformasi sebagai manusia hipermodern dan sedang mengikuti aliran hipermodernisme. Fenomena manusia Timor Leste yang hipermodern di tengah belenggu kemiskinan masyarakat, masih memiliki sumber daya manusia yang masih rendah, dan suasana sosial politik yang belum sepenuhnya stabil. Saya memulai dengan kata-kata yang tercecer pertema tentang manusia Timor Leste Hipermodern

Hipermodern(isme) sebuah istilah Filsafat

Kata hipermodernisme erat terkait dengan kata dasarnya modern. Kata modern berarti yang terbaru, mutakhir. Modern menjadi sebuah sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai dengan tuntutan zaman. Dalam paham modernisme, manusia adalah subjek bagi segalanya. Paham modernisme ini lebih dikenal dalam dunia Filsafat. Dalam Filsafat kita mengenal seorang tokoh rasionalis yakni Rene Descartes yang berprinsip “cogito ergo sum” artinya saya berpikir maka saya ada. Pernyataan ini mau menekankan bahwa manusia terorientasi oleh rasionya sebagai subjek bagi dirinya sendiri. Sebab itu manusia modern dapat menggunakan rasionya untuk mengendalikan tingkah lakunya sendiri. Contoh para filsuf modern selain Descartes adalah Kant dengan ide-ide absolut (kategori) dan Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut).

Dari kata modern ini, kita mengenal kata post-modern(isme). Post-modernisme merupakan faham yang berkembang setelah era modern dengan modernismenya. Post-modernisme sebagai bagian dari Filsafat lebih memfokuskan perhatiannya pada teori kritis berdasar pada kemajuan dan emansipasi. Tokoh-tokohnya adalah F.W. Nietzsche, Jean Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Faucault, Pauline Rosenau, Jean Baudrillard, Richard Rorty. Mereka adalah para filsuf post modern Prancis yang lebih mendukung post modern dekonstruktif. Di samping itu terdapat Filsuf postmodern rekonstruktif terutama dari sekolah Frankfurt seperti Max Horkheimer, Theodor W. Adorno dan menjadi sempurna dalam pemikiran Jurgen Habermas.

Pada saat ini kita mengenal hipermodernisme. Penekanan penting dari hipermodernisme adalah pada eksesnya, dan pada kata depan hiper yang berarti berlebihan atau sangat berlebihan. Orang-orang yang masuk dalam kategori hipermodern umumnya bersifat individualistik, hanyut dalam arus globalisasi ekonomi, banyak didominasi oleh hukum pasar dan dikondisikan oleh waktu. Kecenderungan besar kaum hipermodernisme adalah mencari kepuasan langsung dan menyingkirkan pembatas-pembatas, entah norma kolektif atau tujuan bersama. Arus perubahan teknologi informasi dan soal modernisme dengan segala janjinya yang muluk turut mendehumanisasi manusia. Orang-orang tertentu sudah tersihir dan terkontaminasi dengan realitas virtual. Ia mau menjadi bagian dari realitas virtual tetapi tidak mampu. Terkadang orang itu dapat menipu dirinya sendiri.

Apa yang terjadi di Timor Leste?

Uskup Belo, SDB melihat ada sebuah loncatan yang dahsyat dalam diri manusia Timor Leste dari masyarakat primitif, miskin, sederhana ke budaya hipermodernisme. Mereka melewati budaya modern dan post modernisme. Bagi Uskup Belo, hal ini baik tetapi berbahaya bagi tatanan hidup masyarakat terutama dalam keluarga-keluarga masa kini.

Apa yang sebetulnya terjadi saat ini? Uskup Belo memberi contoh-contoh pola hidup kebanyakan orang Timor Leste saat ini. Misalnya dalam hal pola makan. Banyak orang sudah tidak tertarik dengan makanan asli Timor Leste. Orang cenderung menjadi konsumeris dengan mengkonsumsi makanan siap saji, makanan kaleng, minuman beralkohol. Dalam hal berpakaian, orang perlahan lupa kain tenun (tais) yang merupakan produk lokal, yang seenarnya merupakan bagian yang menyatu dengan budaya Timor Leste.

Di samping sifat konsumeris, banyak orang sudah menjadi hedonis. Orang semacam ini mencari kepuasan manusiawi, segala sesuatu yang memuaskan keinginannya sebagai manusia serta apa yang dapat meningkatkan  kuantitas kesenangannya. Orang merasa bahwa hidup itu bermakna apabila orang menikmati apa yang menyenangkan dirinya. Kesakitan dan penderitaan harus lenyap. Sikap hedonis mem-booming di masa kemerdekaan ini.

Uskup juga mengamati loncatan lain dalam hal komunikasi. Dulu orang Timor Leste masih memiliki waktu untuk bertatap muka untuk berbicara satu sama lain. Sekarang suasana berubah total. Orang sudah memilih jalannya sendiri-sendiri, misalnya lebih akrab di dunia maya: facebook dari pada face to face. Lebih akrab orang berbicara melalui telefon, skype, face time, imo, viber dan lain-lain. Akibatnya orang lebih memperhatikan gadget dari pada manusia sebagai manusia. Relasi antar pribadi menjadi sangat virtual.

Satu hal yang menjadi keprihatinan Uskup adalah ketika melihat umat katolik dari Timor Leste yang bermain Handphone saat perayaan Ekaristi berlangsung. Baginya ini sebuah loncatan kultural yang luar biasa karena bukan melibatkan orang muda saja tetapi para orang tua juga demikian. Mereka lebih asyik bermain handphone dan lupa Tuhan dan sabda-Nya, lupa Ekaristinya. Tetapi sangat mengherankan, ketika komuni kudus mereka maju untuk menerima komuni. Uskup bertambah sedih karena banyak umat menjadi tidak mengerti soal katekese dan katekismus. Maka mereka tidak ada rasa malu dan bersalah untuk menerima komuni padahal mereka tidak memiliki perhatian saat misa sedang berlangsung.

Masih ada harapan

Semua ini adalah kata-kata yang tercecer dari mulut Bapa Uskup Emeritus ketika mengamati masyarakat dan bangsa Timor Leste ini. Observasinya cukup tajam dan membuat kita berefleksi. Tentu saja Bapa Uskup Emeritus, bukan bermaksud meminta semua orang untuk kembali menjadi manusia primitif tetapi sekurang-kurangnya masyarakat dan bangsa Timor Leste menyadari identitas budayanya. Setiap pribadi perlu berbenah diri supaya yang jangan menjadi pribadi yang konsumeris, hedonis dan hipermodernis dalam segala hal. Kita perlu membangun solidaritas sebagai saudara karena masih banyak orang yang miskin di negeri ini.

Uskup Belo meminta keluarga-keluarga untuk memperhatikan pendidikan anak-anak. Sikap konsumtif, hedonis dan hipermodern ini bisa diatasi sedini mungkin di dalam keluarga. Apakah orang tua memiliki waktu untuk membina anak-anaknya? Di samping keluarga-keluarga, lembaga-lembaga pendidikan juga harus memiliki andil untuk memanusiakan manusia Timor Leste. Kualitas sumber daya manusia Timor Leste masih merupakan sebuah kendala yang besar. Banyak lembaga pendidikan kita tidak bermutu. Padahal usia sekolah anak-anak di Timor Leste cukup besar. Kesulitan nyata dalam lembaga-lembaga pendidikan kita adalah belum ada kurikulum yang standard, bahasa yang dipakai juga belum menjawabi kebutuhan para siswa di sekolah-sekolah.

Ujung dari kata-kata yang tercecer dari hipermodernisme adalah masih ada harapan! Harapan untuk berubah, harapan untuk bertumbuh, harapan untuk berkembang dan harapan untuk menjadi lebih baik lagi. Terima kasih Uskup Belo untuk kata-kata yang tercecer bagian pertama ini.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply