Homili 31 Agustus 2016

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XXII
1Kor 3:1-9
Mzm 33: 12-15.20-21
Luk 4:38-44

Membiasakan diri untuk mendoakan sesama

imageDalam setiap kesempatan rekoleksi bersama, saya sering mendengar sharing-sharing tertentu tentang kehidupan doa pribadi dari para peserta rekoleksi. Ada di antara mereka yang mengaku rajin berdoa secara pribadi dan komunitas sehingga selalu merasa bersatu dengan Tuhan. Ada yang selalu mendoakan doa permohonan dan lupa mendoakan doa syukur. Ada yang hanya mendoakan dirinya dan lalai mendoakan sesamanya. Pokoknya setiap peserta rekoleksi memiliki pengalaman yang berbeda satu sama lain dalam hubungan dengan kehidupan doanya.

Semua orang memiliki kebiasaan untuk berdoa, ada kelebihan dan kekurangan dalam hidup doanya. Mungkin saja ada orang yang suka mendoakan dirinya dan lupa mendoakan sesamanya. Itulah realita hidup doa kita di hadirat Allah. Doa dipahami sebagai kesempatan untuk mengarahkan hati dan pikiran hanya kepada Tuhan.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang bagus dan menarik perhatian kita semua. Yesus hendak mengajar kita untuk bersifat sosial saat berdoa. Artinya kita jangan terbiasa mendoakan diri sendiri dan lupa mendoakan sesama lain. Sesama membutuhkan doa dan peneguhan dari kita semua. Banyak kisah di dalam Injil yang menjelaskan kepada kita bahwa doa yang bersifat sosial itu sangat mujarab. Orang-orang yang mengalami sakit penyakit tertentu bisa memperoleh kesembuhan karena doa-doa dari sesama. Para murid Yesus sudah membuktikannya sendiri. Ketika mereka berani meminta kepada Yesus maka permintaan mereka itu dikabulkan-Nya dan orang lain mendapat kesembuhan.

Penginjil Lukas mengisahkan dalam Injil bahwa setelah Yesus menyembuhkan seorang yang kerasukan setan di dalam Sinagoga di Kapernaum, Ia meninggalkan Sinagoga itu ke rumah Simon yang letaknya tidak jauh dari situ. Pada saat itu ibu mertua Simon sakit demam keras. Simon bersama teman-temannya meminta Yesus untuk menolongnya. Yesus mendekati wanita itu, menghardik demamnya dan demam itu meninggalkannya. Sebagai tanda syukurnya, ia bangun dan melayani komunitas Yesus. Kisah sederhana ini mengatakan kepada kita bahwa ibu mertua Simon, tanpa nama ini mengalami kesembuhan karena iman dan kepercayaan para rasul. Merekalah yang percaya dan berani memohon supaya Yesus menyembuhkannya. Pengalaman ini menguatkan kita semua bahwa kalau kita mendoakan orang lain dengan iman, maka Tuhan akan menganugerahkan segala yang terbaik kepada orang yang membutuhkan-Nya.

Selanjutnya, Lukas juga menceritakan antusiasme orang-orang di sekitar danau Galilea yang membawa kerabatnya yang sakit kepada Yesus. Yesus tanpa banyak berbicara, meletakkan tangan atas mereka dan menyembuhkan mereka. Setan-setan yang merasuki orang-orang saat itu takluk sehingga sambil keluar mereka berteriak sambil mengakui Yesus sebagai Anak Allah (Luk 4:41). Yesus menunjukkan kuasa-Nya dengan melarang mereka untuk tidak berbicara apa-apa. Di sini sekali lagi kita melihat peran sesama yang percaya kepada Yesus dan membawa sesamanya yang sakit untuk disembuhkan. Doa yang bersifat sosial akan membawa kesembuhan dan keselamatan bagi sesama.

Semua pekerjaan Yesus ini disempurnakan-Nya dalam doa. Ia mencari tempat yang sunyi untuk menyampaikan rasa syukurnya kepada Bapa. Ia tidak berbangga dengan pencapaian yang ada tetapi sebaliknya mengucapkan rasa syukur-Nya kepada Bapa di tempat yang sunyi. Orang-orang tetap mencari dan ketika mereka menemukan-Nya, mereka meminta supaya Ia tinggal bersama mereka. Namun Yesus berprinsip untuk tetap berkeliling dan berbuat baik (Kis 10:38). Ia mewartakan Injil dan menyembuhkan orang-orang sakit.

Bacaan Injil hari ini membantu kita untuk bisa berdoa dengan baik. Untuk berdoa dengan baik, kita butuh tempat yang baik, suasana yang hening supaya bisa mengarahkan hati dan pikiran kepada Tuhan. Kita belajar untuk membangun semangat doa sosial. Banyak kali kita bersifat egois dalam doa. Kita berpikir bahwa kita sendiri yang membutuhkan Tuhan padahal sesama juga membutuhkan-Nya. Pada hari ini pikiran kita diubah untuk mendoakan sesama kepada Tuhan. Kita berdoa supaya mereka mengalami penyembuhan rohani. Kita mendapat anugerah untuk menyembuhkan sesama dalam nama Tuhan.

St. Paulus dalam bacaan pertama mengakui bahwa sebelumnya ia berbicara bukan kepada manusia rohani melainkan manusia duniawi yang belum dewasa dalam Kristus. Paulus seperti memberikan susu bukan makanan yang keras kepada mereka karena mereka belum dapat menerimanya. Artinya jemaat di Korintus masih belum matang sehingga Paulus perlu memahami mereka dengan baik. Orang-orang Korintus masih merupakan manusia duniawi bukan manusia rohani. Manusia duniawi ditandai oleh sikap iri hati dan perselisihan. Kedua sikap ini dirasakan di dalam komunitas Yesus. Banyak orang menderita sakit, mengalami penyembuhan. Hal yang penting di sini ketekunan dalam bekerja sebagaimana dilakukan Paulus: “Aku yang menanam, Apolos yang menyirami, Allah memberi pertumbuhan” (1Kor 8:7). Orang yang menanam dan menyiram adalah sama. Upah yang mereka terima sesuai dengan pekerjaannya. Tuhan digambarkan benar-benar adil dalam bersabda.

Pada hari ini kita boleh bersyukur kepada Tuhan karena melalui sakramen pembaptisan, kita mendapat panggilan istimewa untuk ikut mewartakan Sabda. Kita mewartakan Injil melalui kesaksian hidup yang nyata. Kita menjadi pewarta bukan karena kemauan atau bahwa kita hebat, melainkan Tuhan sendiri bekerja di dalam diri kita. Perasaan semacam ini akan membawa kita kepada sebuah habitus yakni doa. Yesus saja berdoa setelah melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa. Mari kita belajar menjadi manusia pendoa. Kita mendoakan sesama dan diri kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply