Homili 12 September 2016

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXIV
1Kor 11:17-26
Mzm 40: 7-10.17
Luk 7:1-10

Kasih Allah sungguh nyata

imageKita memulai perayaan Ekaristi harian hari ini dengan dengan sebuah antifon yang bagus: “Begitu besar kasih Allah kepada dunia, sehingga Ia mau mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal. Setiap orang yang percaya akan Dia, memiliki hidup abadi” (Yoh 3:16). Antifon ini menjadi jembatan yang indah sekaligus penghubung antara pelayanan kasih Yesus dalam Injil dan wejangan Paulus dalam bacaan pertama. Kedua-duanya sama-sama mengatakan tentang kasih Allah yang sungguh nyata dan tiada batasnya terhadap manusia. Tuhan sungguh-sungguh mengasihi manusia dan memberi hidup kekal kepada manusia karena kasih. Benar, Allah itu kasih! (1Yoh 4:8.16).

Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya yang bersifat universal dalam bacaan Injil Lukas. Kasih itu dilimpahkan kepada orang yang mengimani-Nya dengan tulus, tanpa kepalsuan. Dikisahkan bahwa Yesus selesai mengajar dan bergerak memasuki Kapernaum. Di sana Ia berjumpa dengan seorang perwira yang amat dihargai karena selalu berbuat baik bagi orang-orang setempat. Perwira itu mempunyai seorang hamba yang sedang sakit keras sehingga ia menyuruh beberapa orang tua Yahudi untuk memohon supaya Yesus bisa menyembuhkannya. Orang-orang itu pergi dan meyakinkan Yesus bahwa perwira Romawi itu adalah orang baik karena ia mengasihi bangsa Yahudi dan menanggung pembangunan rumah ibadat yang sering dipakai Yesus untuk mengajar pada hari Sabat.

Ketika Yesus sudah berada di dekat rumahnya, perwira itu menyuruh lagi sahabat-sahabatnya untuk mengatakan kepada Yesus bahwa ia tidaklah pantas untuk menerima Yesus di rumahnya. Perwira itu hanya meminta kata-kata penyembuhan dari mulut Yesus bagi hambanya saja. Mengapa? Karena ia merasa tidak pantas, lagi pula sebagai seorang perwira, ia masih memiliki atasan dan bawahan. Dia harus taat kepada atasannya dan para prajurit yang menjadi bawahannya mentaatinya. Yesus melihat keseriusan dan iman perwira ini. Dia adalah seorang Romawi, bukan orang Yahudi namun ia percaya kepada Yesus. Kata-kata Yesus memiliki daya penyembuh yang luar biasa. Yesus menunjukkan kasih dan kerahiman-Nya kepada hamba itu sehingga menyembuhkannya saat itu juga.

Kisah ini menarik perhatian kita karena menunjukkan kasih Allah yang sungguh-sungguh nyata. Yesus adalah kasih Allah Bapa sendiri dan Dialah yang menunjukkan wajah kerahiman Allah Bapa kepada semua orang. Ia datang ke dunia untuk menyelamatkan semua orang yang percaya kepada-Nya dan memberi hidup kekal kepada mereka. Orang yang sakit adalah seorang hamba dari perwira Romawi. Perwira Romawi itu Orang asing tetapi dikenal sebagai orang baik karena mengasihi orang-orang Yahudi di Kapernaum dan memiliki andil dalam membangun rumah ibadat mereka. Meskipun ia memiliki kedudukan tertentu dalam masyarakat sosial tetapi masih merasa tidak layak menerima Yesus di dalam rumahnya. Sebab itu ia memakai perantara untuk berbicara dengan Yesus. Mukjizat pun terjadi. Hamba itu sembuh karena iman dari perwira itu dan kata-kata penyembuh dari Yesus.

Kita senantiasa berdoa dengan memohon dan mengucap syukur atas kasih Allah yang sungguh nyata dalam hidup kita. Kita berdoa kepada Tuhan melalui Yesus sebagai satu-satunya Pengantara (Mesites) kita dengan Bapa (1Tim 2:5). Yesus adalah Pengantara, Pendamai atau Mediator. Kita juga berdoa melalui perantaraan para kudus yang siang dan malam melayani Tuhan seperti para malaikat. Para Kudus sebagai perantara itu “menempel” pada Yesus satu-satunya Pengantara kita kepada Bapa. Perwira Romawi membuktikan bahwa memohon kasih Tuhan melalui orang lain juga baik adanya. Tuhan mengabulkannya dan mukjizat menjadi nyata. Di samping berdoa dengan perantaraan kepada sang Pengantara, kita perlu memiliki iman yang besar kepada Tuhan. Dengan demikian mukjizat menjadi nyata di dalam hidup kita. Kasih Tuhan menjadi sempurna.

Kasih Allah dialami dalam perayaan Ekaristi Kudus. Kita semua datang ke Gereja dan merasakan Kasih Tuhan melalui sabda-Nya. Tuhan bersabda kepada kita melalui bacaan Kitab Suci tanpa memandang siapakah diri kita. Tuhan memberikan Tubuh dan Darah-Nya yang satu dan sama kepada kita dalam komuni kudus. Maka Ekaristi menjadi kesempatan bagi kita untuk bersekutu dengan Tuhan dan merasakan kasih-Nya yang sempurna. Di dalam Ekaristi, Yesus hadir secara nyata bagi kita semua. Kita bersekutu dan saling mengasihi sebagai saudara karena mendengar Sabda yang sama dan menerima Tubuh dan Darah Kristus yang satu dan sama. Persekutuan penuh sukacita ini hendaknya menjadi kekuatan bagi Gereja dalam merayakan Ekaristi.

St. Paulus dalam bacaan pertama mengingatkan Jemaat di Korintus untuk menjadi pribadi yang ekaristis. Ia sendiri mengaku menerima dari Tuhan sendiri bahwa Tuhan Yesus pada malam Ia diserahkan mengambil roti, mengucap syukur atasnya, memecahkan roti sambil berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagimu; perbuatlah ini sebagai kenangan akan Daku.” (1Kor 11:24). Hal yang sama dilakukan Yesus sesudah memakan roti. Ia mengambil cawan dan berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku. Perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” (1Kor 11:25). Dan Yesus menyimpulkan: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum dari cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai ia datang.” (1Kor 11:26).

Ekaristi adalah memorial, sebuah kenangan akan Kristus dan paskah-Nya. Sebuah kenangan kasih tak berhingga yang dilakukan Yesus dengan memberi diri-Nya secara total bagi manusia. Sebuah kenangan di mana Yesus menunjukkan kasih-Nya bagi kita secara pribadi. Tubuh dan Darah-Nya menguatkan dan menyucikan kita semua. Ekaristi menyadarkan kita akan kasih yang nyata penuh pengurbanan. Yesus sadar melakukannya karena Ia mengasihi kita apa adanya.

Dengan menjadi manusia yang ekaristis kita diharapkan menjauhkan diri dari semangat negatif yakni perpecahan. Orang bisa saja berada dalam satu gereja saat berekaristi tetapi masih ada pemisahan, perpecahan di antara mereka. Paulus mengatakan kepada jemaat di Korintus bahwa, bila ada perpecahan maka itu bukanlah caranya untuk makan perjamuan Tuhan. Perpecahan menunjukkan bahwa ada yang tahan uji dan ada yang tidak tahan uji. Ada jemaat yang tidak makan bersama tetapi makan dan minum sendiri sehingga ada yang masih lapar dan lainnya mabuk. Perpecahan memang berlawanan dengan persekutuan kasih dalam jemaat. Tuhan menghendaki persekutuan bukan perpecahan.

Kita bersyukur kepada Tuhan karena Ia mengasihi kita secara nyata. Kasih Tuhan penuh pengorbanan. Ia tidak hanya bersabda tetapi memberi diri-Nya secara total kepada kita semua. Tubuh dan Darah-Nya menguatkan dan menyembuhkan kita dari sakit penyakit. Tugas kita saat ini adalah menjadi manusia ekaristis.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply