Homili 26 Oktober 2016

Hari Rabu, Pekan Biasa ke- XXX
Ef 6:1-9
Mzm 145:10-14
Luk 13:22-30

Laksanakanlah pelayananmu dengan rela

imageAda seorang sahabat pernah membagi pengalamannya dalam melayani kedua orang tuanya. Ia mengaku pernah mengalami kasih sayang yang besar dari kedua orang tuanya. Ia bertumbuh dalam keluarga yang baik. Orang tuanya mendidiknya untuk bertumbuh sebagai seorang pribadi yang baik di dalam dan di luar rumah. Ia disekolahkan di sekolah yang baik hingga pendidikan tinggi dan sekarang mendapat pekerjaan yang baik pula. Ada pengalaman hidup yang sangat bermakna baginya. Ketika sedang menyiapkan dirinya untuk menikah, ibunya sakit keras dan diopname ke luar negeri. Ia sebagai anak tunggal dalam keluarga menunjukkan tanggung jawabnya terhadap orang tuanya dengan mendampingi ibunya sampai sembuh total di rumah sakit. Pernikahannya pun mundur setahun. Ketika menjelang pernikahannya di tahun berikutnya, giliran papanya sakit keras dan diopname ke luar negeri lagi. Pernikahannya pun mundur setahun lagi. Pada tahun berikutnya pernikahannya berjalan lancar. Kedua orang tuanya sehat dan mendampinginya untuk menerima sakramen pernikahan bersama pasangannya di Gereja. Ia bersukacita karena berani mengalah demi kesehatan dan kebahagiaan kedua orang tuanya. Ia juga bersyukur karena suaminya memahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai anak di dalam keluarganya.

Pada hari ini St. Paulus melanjutkan nasihat-nasihatnya bagi jemaat terutama bagi keluarga-keluarga. Ia menghendaki agar setiap keluarga kristen hidup dalam kasih. Nasihat pertama ditujukkan kepada anak-anak untuk mentaati orang tuanya. Jalan ketaatanya adalah dengan menghormati mereka, karena dengan demikian anak-anak akan berbahagia dan panjang umurnya di bumi. Anak-anak memiliki tugas dan tanggung jawab moral untuk berbagi kasih dengan orang tuanya. Tuhan Allah sendiri sudah memberi perintah ini melalui Musa bagi Israel: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu…” (Kel 20:12; Ul 5:16). Para orang tua mengetahui perintah Tuhan ini dan mewariskannya turun temurun kepada anak-anak dan cucu mereka.

Paulus meminta kepada para bapa supaya jangan menimbulkan rasa marah di dalam hati anak-anak. Mereka seharusnya mendidik mereka dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Paulus sebenarnya menekankan pentingnya teladan hidup sebagai orang tua yang beriman bukan dengan kata-kata. Teladan hidup lebih banyak pengaruhnya daripada banyaknya kata-kata yang keluar dari mulut. Teladan hidup itu juga merupakan wujud kesaksian iman kepada Allah sendiri. Kata-kata berupa nasihat kadang bertentangan dengan hidup orang tua yang sebenarnya maka anak-anak dapat menilainya sebagai kata-kata kosong.

Paulus melanjutkan nasihatnya kepada para hamba atau budak. Pada waktu itu di Efesus masih ada banyak budak. Paulus meminta mereka untuk taat kepada tuan atau majikannya dengan takut dan gentar dan dengan tulus hati. Ketaatan sebagai hamba kepada tuan ini sama dengan ketaatan kepada Kristus. Hal yang terpenting adalah sikap sebagai abdi yang taat kepada kehendak Allah. Maka menurut Paulus, seorang hamba harus melaksanakan pelayanannya dengan rela seperti orang-orang melayani Tuhan sendiri dan bukan melayani manusia. Kalau saja para hamba melayani tuannya dengan suka hati maka melayani Tuhan harus dengan sepenuh hati. Para tuan juga kebagian nasihat dari Paulus. Ia mengatakan kepada mereka untuk bersikap baik kepada para hamba dengan tidak mengancam dan membuat kekerasan tertentu. Sikap semacam ini penting dan harus dilakukan di hadapan Tuhan, sebab baik tuan maupun hamba, sama-sama merupakan ciptaan di hadapan Tuhan sang Pencipta.

Nasihat-nasihat Paulus ini masih aktual sampai saat ini. Kita bisa membayangkan betapa banyak anak yang tidak menghargai orang tuanya. Perintah untuk menghormati orang tua sudah tidak laku lagi. Para ayah dan ibu yang sudah tua dan sakit-sakitan, dibiarkan menyendiri, atau membayar pembantu untuk memperhatikan mereka, atau masuk ke panti jompo sedangkan anak-anak hidup dalam kebahagiaan, seperti tanpa ada beban apapun. Ada banyak bapa dan ibu yang tidak memperhatikan anak-anak mereka. Para tuan atau majikan kadang mengukur para pembantunya dengan uang yang diterima (honor). Para pembantu adalah pribadi yang menyatu dengan tuannya. Paulus hendak mengatakan tentang pentingnya menghayati cinta kasih dan keadilan dalam hidup bersama dan saling melayani.

Dalam bacaan Injil, Lukas menceritakan perjalanan Yesus ke Yerusalem sambil mengunjungi kota-kota serta desa-desa sambil mengajar. Kemungkinan saat itu Tuhan Yesus berbicara tentang Injil dan keselamatan serta syarat-syarat untuk memperoleh keselamatan. Sebab itu, ada seorang yang berani bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sedikit sajakah orang-orang yang diselamatkan?” Tuhan Yesus tidak memberikan jumlah berapa orang secara pasti. Ia  mengatakan seperti ini: “Berusahalah untuk masuk melalui pintu yang sempit itu.” (Luk 13:24). Pintu yang sempit berarti mengikuti jejak Kristus tersalib, menerima segala bentuk penderitaan Kristus di dalam hidup kita. Yesus menggunakan kata “agonisesthe” artinya berjuanglah! Kata ini memiliki dimensi eskatologis dimana untuk sampai kesana orang harus membuka dirinya kepada Injil dan melakukan pertobatan pribadinya. Banyak orang tidak mampu melewati pintu yang sempit ini untuk mengikuti perjamuan abadi bersama Tuhan karena tidak bertahan dalam penderitaan dan tidak mau bertobat.

Hal lain yang patut kita pikirkan adalah kalau Tuhan menutup pintu bagi kita akibat kita menutup diri terhadap Sabda-Nya. Kita mengaku sebagai orang katolik belumlah cukup. Kita menerima sakramen pembaptisan bukanlah jaminan bahwa kita akan selamat, kalau ternyata kita tidak bertobat. Kita hanya akan memanggil nama-Nya dan Dia terus terang mengatakan tidak mengenal kita. Orang-orang Yahudi sudah mengalami bagaimana dengan sadar mereka menolak kehadiran Tuhan Yesus sendiri. Sebab itu Tuhan Yesus berkata: “Ada orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan ada orang yang terdahulu yang akan menjadi yang terakhir” (Luk 13:30)

Sabda Tuhan pada hari ini sangat menguatkan kita. Kita membangun relasi yang baik sebagai keluarga manusia dan hendaknya relasi yang sama juga menjadi nyata dengan Tuhan. Kata-kata penting untuk permenungan kita adalah melayani dengan kerelaaan, menerima Injil dengan sukacita dan bertobat. Lakukanlah semuanya ini maka kita akan melewati pintu yang sempit dengan mudah. Apakah anda dan saya siap melewati pintu yang sempit?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply