Homili Hari Minggu Prapaskah III/A – 2017

Hari Minggu Prapaskah III/A
Kel. 17:3-7
Mzm. 95:1-2,6-7,8-9
Rm. 5:1-2,5-8
Yoh. 4:5-42

Berikanlah air kepada kami

Ada seorang sahabat yang selama ini berkarya di dalam bidang pemerintahan. Ia mengisahkan pengalamannya berkunjung ke sebuah desa yang sedang mengalami kesulitan air bersih. Dalam perjalanan bersama rombongannya ke desa itu, ia melihat masyarakat berjalan kaki untuk mengambil air di sungai yang jaraknya hampir 15 km. Ada di antara mereka yang meletakkan tempat air di bahu dan kepala, ada yang menggunakan gerobak, yang lain lagi menyewa mobil untuk mengantar air. Ia sebagai pemimpin merasa sedih melihat keadaan masyarakat di desa itu. Ketika rombongannya tiba, mereka hanya bertatap muka dengan sekelompok kecil masyarakat di desa yang menunggu kehadiran mereka. Kelompok kecil masyarakat itu mengatakan kepada rombongan pemerintah daerah: “Kami tidak membutuhkan janji bapa-bapa untuk memberi air bersih, tetapi kami semua di desa ini membutuhkan air bersih.” Rombongan pemerintah daerah kali ini tidak dapat memberi janji lagi tetapi menunjukkan kebolehannya untuk memerintahkan aparat terkait demi membantu masyarakat di desa itu. Bak air di lingkungan disiapkan, mobil tangki air dikirim setiap hari dari pusat kota berjarak 40km untuk memenuhi bak air yang ada, sambil menunggu penyelesaian sumur bor. Kepala desa setempat mengatakan bahwa mukjizat itu nyata karena rombongan pemerintah desa datang sebagai mesias. Kita dapat membayangkan betapa sulitnya daerah tertentu yang mengalami kesulitan air seperti masyarakat di desa ini.

Pada hari ini kita memasuki hari Minggu Prapaskah ketiga. Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini berbicara tentang persiapan sakramen pembabtisan bagi para calon baptisan baru di dalam Gereja Katolik. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah bangsa Israel yang mencobai Tuhan Allah di Masa dan Meriba. Ketika itu mereka sedang berjalan di padang gurun menuju tanah terjanji. Mereka mengalami rasa lapar dan haus. Mereka bersungut-sungut kepada Tuhan melalui Musa, dengan berkata kepada Musa: “Mengapa engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?” (Kel 17:3). Musa menyampaikan kepada Tuhan Allah situasi yang sedang dialami oleh bangsa ini bahwa mereka bersungut-sungut dan mencobai Tuhan Allah karena haus. Mereka berkata: “Adakah Tuhan di tengah-tengah kita?” (Kel 17: 7). Tuhan tetap menunjukkan belas kasih-Nya kepada Bangsa Israel dengan meminta Musa untuk memukul gunung batu di Horeb. Dari dalam batu itu keluar air yang dapat memberi kehidupan kepada bangsa Israel.

Bacaan pertama ini menghadirkan wajah Tuhan Allah yang penuh kerahiman kepada Bangsa Israel. Mereka boleh mencobai Tuhan Allah, bersungut-sungut melawan-Nya, namun Ia tetap menunjukkan belas kasih-Nya kepada mereka. Misalnya, Ia tetap memberi air kepada mereka yang sedang kehausan. Dengan kata lain, Tuhan telah memberi hidup kepada bangsa Israel dengan air. Lihatlah betapa baiknya Tuhan Allah kita. Ia dicobai oleh bangsa pilihan-Nya dengan bersungut-sungut, namun kasih setia-Nya kepada mereka tidak pernah berubah. Maka, kita seharusnya belajar dari Tuhan untuk selalu berbuat baik, apa pun situasinya. Kasih karunia Tuhan telah mengubah hidup manusia.

Bacaan pertama juga mengajak kita untuk kembali ke padang gurun. Apa yang muncul dalam pikiran kita? Padang gurun adalah tempat sunyi, penuh dengan aneka godaan iblis bagi manusa. Jauh sebelumnya bangsa Israel berada di padang gurun dan mereka mencobai Tuhan Allah. Tuhan Yesus penuh dengan Roh Kudus, pergi ke padang gurun untuk dicobai iblis. Bangsa Israel mengalami jatuh dan bangun, tidak setia kepada Tuhan. Yesus mengalami godaan di padang gurun dan Ia menang terhadap semua godaan. Kita pun mengalami padang gurun dalam hidup setiap hari. Kita bergumul dengan diri sendiri, dengan sesama dan Tuhan. Pergumulan positif kalau kita mampu keluar dan memulai hidup baru dalam Tuhan. Hidup baru dalam Tuhan berarti hidup sesuai dengan kehendak-Nya sendiri.

St. Paulus memahami sakramen pembaptisan sebagai waktunya Tuhan untuk mencurahkan kasih karunia-Nya kepada manusia melalui Roh Kudus. Ia mengatakan bahwa kita semua dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Hanya melalui Yesus Kristus kita dapat masuk ke dalam kasih karunia Allah sehingga dapat bermegah dalam pengharapan akan kemuliaan-Nya. Bagi Paulus, Tuhan Allah sendiri telah mencurahkan Roh Kudus-Nya ke dalam hati kita. Roh Kudus adalah kasih Allah yang tiada batas-Nya melalui Yesus Kristus Putera-Nya. Pengalaman dikasihi ini kita rasakan pertama kali saat menerima sakramen pembaptisan. Apakah kita bersyukur atas sakramen Pembaptisan yang sudah kita terima?

Pengorbanan Yesus Kristus menghasilkan damai sejahtera bagi kita semua. Tuhan Yesus mendamaikan kita dengan Allah sendiri dan mendamaikan kita dengan sesama manusia. Kesetiaan Allah tiada batasnya. Kasih itu terus meneruskan dicurahkan Allah kepada manusia melalui Roh Kudus. Kasih Allah memampukan manusia untuk memiliki harapan dan menyembah Allah. St. Paulus mengatakan bahwa Allah senantuasa menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih dalam dosa (Rm 5:8).

Dalam bacaan Injil, kita mendengar kisah perjumpaan  Yesus dan wanita Samaria pada suatu siang hari. Yesus merasa haus sehingga Ia mendekati sumur Yakub pada siang hari di Samaria. Yesus melihat seorang wanita Samaria sedang menimba air di sumur Yakub. Yesus melupakan sejarah Israel dan langsung meminta air minum kepada wanita Samaria itu. Maka terjadilah dialog di antara mereka berdoa. Mula-mula wanita Samaria itu melihat Yesus sebagai seorang Yudea, musuhnya orang Samaria. Sebab itu aneh rasanya kalau sedang bermusuhan, tiba-tiba meminta minum air tanpa ada beban satu apa pun.

Yesus bereaksi terhadap sikap wanita Samaria tanpa nama ini. Ia berkata: “Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapa Dia yang berbicara kepadamu “berilah aku minum” niscaya engkau telah meminta kepada-Nya, dan Ia memberikan kepadamu air hidup”. (Yoh 4: 10). Wanita Samaria itu bingung dengan perkataan Yesus ini. Ia memahami air minum secara harafiah saja. Sebab itu ia bertanya tentang timba, dan keunggulan-keunggulan dari air sumur pemberian Yakub kepada Yusuf. Padahal Yesus maksudkan bukan air secara harafia, melainkan air adalah simbol Roh Kudus. Orang yang menerima Roh Kudus pemberian Yesus ini, tidak akan haus lagi. Air pemberian Yesus justru menjadi mata air yang abadi.

Wanita Samaria semakin terpesona dengan Yesus yang sedang merasa haus itu. Ia berkata: “Tuhan berilah aku air itu supaya aku tidak haus lagi dan tidak datang lagi untuk menimba air di sumur ini”. Sekali lagi wanita Samaria hanya mengerti air sebagai air saja. Yesus membantunya untuk mengerti bahwa air adalah Roh Kudus sendiri. Maka Yesus berkata: “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam Roh dan Kebenaran” (Yoh 4:24). Wanita itu akhirnya mengenal Yesus sebagai Mesias. Ia pergi dan menyampaikan perjumpaannya dengan Yesus yang mengubah seluruh hidupnya itu. Orang-orang Samaria datang kepada Yesus untuk mendengar-Nya. Mereka pun percaya kepada-Nya.

Perjalanan iman wanita Samaria tanpa nama ini adalah perjalanan iman kita semua. Kita berjumpa dengan Yesus yang mulanya kita tidak kenal secara pribadi. Yesus selalu melakukan pendekatan pertama hingga kita benar-benar mengenal-Nya lebih dalam dan mengimani-Nya. Pendekatan pertama Yesus lakukan melalui orang tua, guru atau pastor. Tantgangan bagi kita adalah masih banyak di antara kita yang belum mengenal Yesus secara pribadi. Ia melakukan pendekatan pertama dengan menguduskan kita pada hari pembaptisan. Air baptis yang diperciki di kepala pada hari pembaptisan menandakan saat pertama kita mendapat pencurahan Roh Kudus. Kita semua menjadi orang karismatik di dalam Gereja Katolik.

Mari kita berkata kepada Tuhan: “Tuhan berilah kami Roh Kudus-Mu”. Amen.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply