Homili 28 Maret 2017

Hari Selasa, Pekan Prapaskah IV
Yeh. 47:1-9,12
Mzm. 46:2-3,5-6,8-9
Yoh. 5:1-3a.5-16

Tuhan, Aku membutuhkan Engkau di sini!

Saya pernah merayakan misa syukur bersama umat di sebuah lingkungan. Mereka biasanya menyiapkan buku-buku tertentu seperti Puji Syukur dan Alkitab di atas altar. Ketika itu saya menemukan sebuah pembatas buku, dengan tulisan tangan yang sederhana, bunyinya: “Tuhan, Aku membutuhkan Engkau di sini”. Saya merasa bahagia membaca tulisan tangan, dan ini adalah sebuah doa sederhana di hadirat Tuhan. Saya membayangkan bahwa orang yang menulis doa ini mungkin sedang mengalami sebuah pergumulan sehingga ia jujur mengatakannya kepada Tuhan bahwa ia membutuhkan-Nya. Doa dengan hati yang tulus memang memberi dampak yang kuat di dalam hidup pribadi kita. Bagi saya, tulisan pada pembatas buku ini memberikan dorongan tersendiri bagi kita untuk mengatakan kepada Tuhan bahwa kita semua membutuhkan-Nya.

Penginjil Yohanes hari ini mengisahkan sebuah mukjizat lain yang dilakukan Yesus di Yerusalem. Mukjizat itu mengungkapkan realitas hidup kita sebagai manusia yang memiliki banyak kelemahan di hadirat-Nya. Ada saja sakit penyakit yang kita alami dalam hidup ini. Tuhan tetaplah menjadi harapan dan andalan kita. Sebagaimana dikisahkan oleh Penginjil Yohanes bahwa di Yerusalem saat itu terdapat sebuah kolam bernama Betesda, dengan memiliki lima serambi, di mana di setiap serambi itu terdapat banyak orang sakit, di antaranya ada orang buta, orang timpang dan orang lumpuh.

Ada seorang yang sudah tiga puluh delapan tahun lamanya sakit. Yesus tahu bahwa ia membutuhkan belas kasih-Nya. Sebab itu Ia melakukan pendekatan pertama dengan bertanya: “Maukah engkau sembuh?” (Yoh 5: 6). Pertanyaan ini menarik hati orang sakit itu untuk mendeskripsikan dirinya di hadapan Yesus. Ia mengaku, selalu berusaha untuk masuk ke dalam kolam setiap kali ada goncangan air, namun tidak ada seorang pun yang berani datang untuk menolongnya untuk masuk ke dalam kolam. Waktu tiga puluh delapan tahun merupakan sebuah penantian yang panjang. Manusia boleh berusaha, namun tanpa bantuan Tuhan maka sia-sia saja. Manusia memang membutuhkan Tuhan supaya hidupnya sempurna. Sebab itu Tuhan Yesus menaruh belas kasihannya kepada orang sakit itu. Ia berkata: “Bangunlah, angkatlah tilammu dan berjalanlah.” (Yoh 5:8). Perkataan Tuhan Yesus ini memiliki kuasa menyembuhkan. Orang lumpuh itu sembuh total. Ia mengangkat tilamnya dan berjalan seperti biasa.

Gelombang reaksi bermunculan. Mukjizat ini terjadi pada hari Sabat. Orang lumpuh tanpa nama ini mentaati kehendak Yesus untuk memikul tilamnya. Sebab itu ia mendapat teguran yang keras dari orang-orang Yahudi. Namun ia tetap berpegang teguh pada perintah Yesus yang ia sendiri belum mengenal-Nya. Yesus sekali lagi mendekati orang lumpuh itu dan berkata: “Engkau telah sembuh, jangan berbuat dosa lagi, supaya padamu jangan terjadi yang lebih buruk”. (Yoh 5: 14). Sejak saat itu ia mengenal Yesus sebagai penyembuh dan penyelamatnya.

Ada tiga hal penting yang menarik perhatian kita dari kisah Injil ini. Pertama, orang-orang sakit adalah gambaran semua orang yang menghuni dunia ini. Kita semua memiliki sakit dan penyakit tertentu. Kita memiliki pergumulan dalam diri, keluarga dan lingkungan hidup kita. Sebab itu kita perlu mengandalkan Tuhan dalam hidup ini. Mengandalkan diri sendiri berarti menunjukkan ketidakmampuan kita sama seperti orang yang sakit selama tiga puluh delapan tahun. Kedua, Tuhan Yesus selalu melakukan pendekatan pertama. Ia melihat orang sakit dan tergerak hatinya untuk menolong, untuk menyelamatkan. Pertolongan Tuhan Yesus ini tepat pada waktunya. Orang sakit mengalami kesembuhan. Ketiga, Sebagai ungkapan syukur atas kesembuhan maka orang yang baru disembuhkan Yesus itu mewartakan kesembuhannya, bahwa Yesuslah yang telah menyebuhkannya. Semua dosanya diampuni, dan ia sungguh menjadi baru di dalam Yesus Kristus. Rasa syukur kita adalah siap untuk mewartakan kasih Kristus kepada seama manusia.

Nabi Yehezkiel dalam bacaan pertama mengisahkan pengalaman kenabiannya bahwa ia melihat air mengalir dari dalam bait Suci; dan bahwa kemana saja air itu mengalir, semua yang ada di sana hidup. Ada berbagai macam tumbuhan berupa pohon buah-buahan yang daunnya tidak layu dan buahnya pun tidak habis-habisnya. Setiap bulan selalu ada buah yang baru sebab pohon itu mendapat air dari tempat kudus. Buahnya menjadi makanan dan daunnya menjadi obat.

Air memiliki dua makna penting bagi kita dalam masa prapaskah ini. Air mengingatkan kita pada sakramen pembaptisan. Air baptis disiram di atas kepala kita sebagai saat pertama kali kita mengalami pencurahan Roh Kudus. Kita menjadi kudus karena Tuhan menguduskan dengan Roh-Nya. Air juga merupakan lambang Roh Kudus. Tuhan Yesus mengungkapkan kepada wanita Samaria bahwa di dalam hidupnya akan mengalir aliran air hidup. Tuhan Yesus maksudkan bahwa Roh Kuduslah yang mengalir dan menguduskan kita.

Sakramen pembaptisan adalah saat pertama kita mengatakan bahwa kita membutuhkan Tuhan. St. Paulus pernah berkata: “Jikalau kita hidup, kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Maka entah kita hidup, entah kita mati, kita milik Tuhan.” (Rom 14:8). Kita milik Tuhan maka kita membutuhkan-Nya sepanjang hidup kita.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply