Homili 7 April 2017

Hari Jumat, Pekan Prapaskah ke-V
Yer 20: 10-13
Mzm 18:2-3a.3b-4. 5-6.7
Yoh 10:31-41

Penderitaan itu indah!

Saya tertarik dengan perkataan Jalaluddin Rumi (1207-1273), seorang Sufi, ahli hukum, Sarjana Islam dan Teolog dari Persia. Ia pernah berkata: “Cinta dapat mengubah kekasaran menjadi kelembutan, mengubah orang tak berpendirian menjadi teguh berpendirian, mengubah pengecut menjadi pemberani, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan, dan cinta membawa perubahan-perubahan bagi siang dan malam”. Sedangkan Khalil Gibran (1883-1931), penulis dan pelukis Lebanon berkata: “Akhir dari penderitaan menghasilkan jiwa yang kuat; karakter terkuat ditandai dengan bekas luka”. Kedua kutipan ini menginspirasikan saya untuk mengawali homili pada hari ini tentang keindahan sebuah penderitaan.

Apakah penderitaan itu indah? Banyak orang yang hanya berhenti pada penderitaan sebagai sebuah pengalaman manusiawi saja akan mengatakan bahwa penderitaan adalah pengalaman pahit yang tidak dapat diterima secara manusiawi. Hanya orang yang berusaha untuk keluar dari penderitaan akan mengatakan bahwa sesungguhnya penderitaan itu indah. Mereka mengalami penderitaan, berusaha untuk mengatasi penderitaan dengan pertolongan dari Tuhan. Orang yang optimis mengakui bahwa penderitaan itu kecil di hadapan Tuhan Yang Mahabesar. Orang yang mengandalkan Tuhan akan melihat betapa indahnya sebuah penderitaan manusiawi.

St. Yohanes Paulus II menulis dalam surat Apostolik Salvifici Doloris menulis: “Kasih adalah sumber yang paling penuh yang menjawab pertanyaan mengenai makna penderitaan ini. Jawaban ini tekah diberikan Tuhan kepada manusia di dalam salib Tuhan Yesus Kristus” (SD, 13). Penderitaan bagi kita haruslah dipandang dalam terang Kristus. St. Petrus menulis: “Sebaliknya bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh bergembira dan bersukacita pada waktu ia menyatakan kemuliaan-Nya” (1Ptr 4:13). Penderitaan itu indah karena membawa sukacita tersendiri dalam hidup kita. Maka kita pun dipanggil untuk mengalami penderitaan untuk melengkapi penderitaan Kristus yang masih kuran di dalam Gereja-Nya.

Pada hari ini kita mendapat dua inspirator yang mengatakan bahwa penderitaan itu indah. Inspirator pertama adalah nabi Yeremia. Apa yang terjadi dalam kehidupan nabi Yeremia? Ketika itu ia berjuang mati-matian untuk menentang dua kejahatan utama yakni kebiasaan masyarakat saat itu di mana mereka menyembah berhala sebab itu ia bernubuat melawan nabi-nabi palsu. Yeremia juga menentang sikap sikap tidak adil terhadap sesama manusia. Dia sangat concern dengan isu-isu kemanusiaan. Sikapnya yang sangat vocal ini menimbulkan kebenciaan terhadap dirinya. Orang-orang yang membenci dirinya adalah para sahabatnya sendiri.

Perikop kita pada hari ini misalnya mengatakan: “Aku telah mendengar bisikan banyak orang, ‘Kegentaran datang dari segala jurusan! Adukanlah dia! Mari kita mengadukan dia!” Yeremia mengakui bahwa para sahabat karibnya mengintai apakah ia tersandung jatuh. Sekali lagi para sahabatnya itu berkata: “Barangkali ia membiarkan dirinya dibujuk, sehingga kita dapat mengalahkan dia dan dapat melakukan pembalasan kita terhadap dia!” Semua kutipan ini menandakan bagaimana Yeremia mengalami penderitaan dan kemalangan karena perjuangannya untuk kebaikan banyak orang.

Pengalaman Yeremia ini dapat juga menjadi pengalaman kita. Setiap perbuatan baik yang kita lakukan belum tentu dianggap benar dan baik oleh sesama yang lain. Banyak kali tidak ada apresiasi apapun dari sesama kita. Cemohan dan ancaman datang silih berganti dalam hidup pribadi kita. Apakah kita harus takut dengan situasi ini?

Nabi Yeremia tidak merasa takut karena ditinggalkan para sahabatnya. Ia justru kembali kepada Tuhan. Tuhan sendiri menyertainya seperti pahlawan yang gagah sehingga orang-orang yang mengejarnya akan tersandung jatuh, dan mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka menjadi malu sebab usaha mereka sia-sia saja. Ia berdoa: “Ya Tuhan semesta alam, yang menguji orang benar, yang melihat batin dan hati, biarlah aku melihat pembalasan-Mu terhadap mereka sebab kepada-Mulah kuserahkan perkaraku.” Yeremia tidak bangga sebagai nabi. Ia justru kembali kepada Tuhan dan berpasrah kepada-Nya.

Bagaimana dengan kita? Banyak kali kita bertahan dalam penderitaan dan tidak berani meminta bantuan dari Tuhan dan sesama. Kita berpikir mampu menyelesaikan segala perkara dengan kekuatan kita sendiri. Ternyata kita tidak mampu melakukannya. Kita kembali kepada Tuhan dan berpasrah kepada-Nya. Pertolongan Tuhan selalu datang tepat pada waktunya.

Figur inspiratif kedua adalah Tuhan Yesus Kristus. Ia membuat tanda-tanda heran, mengajar dengan kuasa dan wibawa. Banyak orang menyaksikannya namun mereka menolak Dia. Ada satu alasanyang membuat orang-orang Yahudi hendak melempari Yesus dengan batu adalah karena Ia menyapa Allah sebagai Bapa-Nya. Ia berkata: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku, Kuperlihatkan kepadamu; manakah yang menyebabkan kamu mau melampari Aku dengan batu?” Orang-orang Yahudi memang mengakui semua pekerjaan yang dilakukan Yesus tetapi hal yang membuat mereka marah adalah karena Yesus menyapa Allah sebagai Bapa. Bagi mereka Yesus adalah manusia dan Ia tidak boleh seenaknya menyamakan diri dengan Allah. Tuhan Yesus membuka kesadaran mereka bahwa tentang diri-Nya sudah diungkapkan dalam Kitab Taurat namun sia-sia saja. Mereka hendak menangkap Dia tetapi Ia luput dari tangan mereka.

Tuhan Yesus menjadi sasaran kebencian manusia pada zaman-Nya. Berbagai serangan diarahkan kepada-Nya. Ia berusaha menunjukkan jati diri-Nya namun orang-orang tetap tidak percaya. Ketika Ia menjauhkan diri dari Yerusalem, ke daerah seberang sungai Yordan barulah orang percaya kepada-Nya. Penginjil Yohanes menulis: “Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya” (Yoh 1:11). Yesus merasakan keindahan sebuah penderitaan. Ia menerimanya karena kasih kepada anda dan saya. Mulai hari ini mariu kita belajar dari nabi Yeremia dan Tuhan Yesus yang merasakan indahnya sebuah penderitaan dalam hidup mereka. Mereka menderita supaya orang lain menjadi bahagia. Bagaimana dengan kita?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply