Homili 18 Mei 2017

Hari Kamis, Pekan Paskah ke-V
Kis 15:7-21
Mzm 96:1-2a.2b-3.10
Yoh 15:9-11

Tinggal di dalam kasih Tuhan

Saya masih mengingat sharing bersama para siswa di sebuah sekolah katolik dalam acara rekoleksi bersama. Ketika itu kami merenungkan bersama perikop Injil hari ini tentang tinggal di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus. Mereka semua sangat antusias dalam membagi pengalaman rohani tentang kasih yang mereka alami sendiri di dalam keluarga masing-masing. Salah seorang siswa mengatakan begini: “Saya belajar tentang makna kasih dari kedua orang tua saya. Mereka saling mengasihi satu sama lain. Kadang-kadang mereka berbeda pendapat satu sama lain, kadang-kadang mereka berbicara dengan suara yang keras. Tetapi semuanya ini selesai di dalam rumah. Usai semuanya ini, mereka saling berbicara seperti biasa, rasanya seperti tidak ada masalah apapun ang terjadi. Mereka saling melayani satu sama lain ketika salah satunya sakit. Seba itu bagi saya, kasih dalam keluarga adalah sebuah pengorbanan diri. Saya belajar dari kedua orang tua makna kasih ini dan saya merasa yakin sedang tinggal di dalam kasih seperti ini”. Semua siswa dan siswi mendengar sharing ini dengan penuh perhatian. Ada yang menggugurkan air mata karena merasa terharu atau mungkin memiliki pengalaman yang mirip. Ada juga yang tidak pernah mengalami kasih seperti ini di dalam keluarga.

Setiap pribadi memang menghendaki untuk tinggal di dalam kasih. Orang tua dapat mengajar anak-anaknya tentang kasih kalau mereka sendiri sudah mengalami kasih sebagai pribadi dan kasih sebagai suami dan istri. Bagaimana orang tua dapat menyadarkan anak-anak tentang kasih kalau mereka sendiri sebagai pasangan hidup tidak saling mengasihi? Kasih itu bukan suatu hal yang diucapkan. Kasih adalah pengalaman hidup. Anak-anak harus merasa bahwa dirinya dikasihi oleh orang tuanya. Kualitas kasih sendiri bukanlah ditentukan oleh materi. Anak-anak merasa dikasihi bukan berdasarkan berapa barang yang sudah diberikan kepada mereka. Bahwa mereka dapat disapa dengan namanya sendiri itu sudah cukup bagi mereka.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil hari ini melanjutkan wejangan-wejangan terakhir-Nya. Setelah menjelaskan perkataan-Nya tentang pokok anggur yang benar, Yesus melanjutkannya dengan mengatakan tentang kualitas kasih Kristiani. Kasih Krisitiani berarti melakukan segala perintah Tuhan Yesus. Ia memberikan perintah baru yang mengikat semua orang yakni supaya saling mengasihi sebagai saudara. Ia berkata: “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikian juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yoh 15:9). Pemahaman kita adalah Allah sebagai Bapa mengasihi Yesus sebagai Anak dalam Roh Kudus. Kasih adalah pengalaman hidup. Yesus mengalami kasih Bapa, itulah yang dibagikan-Nya kepada kita.Pengalaman Yesus membagi kasih Bapa kepada kita inilah yang harus kita lanjutkan sepanjang hidup ini. Kita dapat membagi kasih Bapa kalau kita mengalami kasih Yesus, artinya kita sungguh-sungguh tinggal di dalam kasih Tuhan Yesus.

Apa yang harus kita lakukan untuk menunjukkan bahwa kita memang ingin tinggal di dalam kasih Tuhan Yesus Kristus? Satu jawaban pasti adalah kita harus menuruti perintah Tuhan Yesus Kristus. Perintah Tuhan Yesus adalah perintah baru, yakni perintah kasih (Yoh 13:34). Buah dari kasih adalah sukacita. Kita tinggal dalam kasih Tuhan Yesus, berarti kita siap untuk merasakan sukacita-Nya di dalam hidup kita. Sukacita kita menjadi sempurna karena kasih Tuhan Yesus Kristus. Pertanyaan kita adalah, apakah kita masing-masing sudah merasakan kasih Tuhan Yesus Kristus? Apakah kita sudah mengasihi sesama kita seperti Tuhan Yesus sendiri mengasihi kita?

Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah tentang Konsili pertama di Yerusalem. Para Rasul dan panatua-panatua jemaat membicarakan tentang sunat. Petrus sebagai kepala dari para Rasul mengatakan kepada seluruh peserta Konsili bahwa sejak semula Allah memilih Dia untuk memberitakan Injil dengan mulutnya kepada bangsa-bangsa lain dan mereka telah mendengarnya dan percaya. Tuhan Allah sendiri mengenal hati manusia dan Ia sendiri menyatakan kehendak-Nya untuk menerima mereka. Ia sendiri menganugerahkan Roh Kudus-Nya kepada mereka sama seperti kepada para murid Tuhan. Tuhan Allah sendiri tidak melihat perbedaan antara para Rasul, Panatua dengan mereka karena Ia sendiri yang menyucikan hati mereka dengan iman.

Petrus juga berkata: “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus akan beroleh keselamatan sama seperti kepada bangsa-bangsa lain juga”. Dengan demikian tidak ada jalan untuk mencobai Tuhan Allah dengan memasang kuk pada murid- murid dari bangsa-bangsa asing yang tidak dapat mereka pikul. Paulus dan Barnabas juga memberi kesaksian penting tentang jemaat dari bangsa-bangsa asing yang bertambah banyak dan bagaimana kasih karunia Allah juga ada bersama mereka. Yakobus selaku Uskup di Yerusalem mengatakan bahwa Gereja perdana tidak boleh menimbulkan kesulitan bagi mereka dari bangsa-bangsa lain yang berbalik kepada Allah.

Lalu apa yang harus dilakukan oleh jemaat di luar Yerusalem? Para Bapak Konsili di Yerusalem menulis surat kepada mereka supaya: Pertama, menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala. Kedua, menjauhkan diri dari percabulan. Ketiga, menjauhkan diri dari daging binatang yang mati dicekiki dan dari darah. Ini adalah hal-hal praktis yang akan disampaikan kepada seluruh jemaat.

Kita bersyukur karena Tuhan mengasihi Gereja-Nya dan menuntun Gereja dalam kasih. Berbagai persoalan tentang sunat dan tidak bersunat, tentang layak tidaknya seorang di hadirat Tuhan, bukanlah urusan manusia melainkan urusan Tuhan. Duduk bersama untuk bermusyawarah akan lebih baik daripada bersikap frontal atau merasa diri lebih benar. Permusuhan bukanlah bagian dari semangat menggereja. Kita perlu sadar bahwa keselamatan adalah tanda kasih Tuhan yang berlimpah bagi manusia.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply