Homili 14 Juni 2017 (dari bacaan Injil)

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-X
2Kor 3:4-11
Mzm 99:5.6.7.8.9
Mat 5:17-19

Benar-benar sempurna!

Kita semua mengenal kata disiplin yang langsung berkaitan dengan diri kita maupun dengan diri pribadi sesama yang lain. Secara etimologis, kata disiplin itu berasal dari kata berbahasa Latin discipulus berarti murid. Menjadi murid berarti siap untuk belajar supaya memiliki pengetahuan tertentu dan pada saat yang sama berusaha untuk patuh kepada semua perintah atau hukum yang berlaku. Sebab itu kata discipulus mengalami perkembangan makna menjadi disciplina yang berarti instruksi atau pengetahuan. Dalam bahasa Prancis kuno dan bahasa Inggris kita mengenal kata disciple, kata yang nantinya berkembang menjadi discipline. Maka kata disiplin selalu berkaitan dengan pola perilaku yang diharapkan akan menghasilkan karakter tertentu, khususnya dapat menghasilkan peningkatan moral dan mental yang lebih teratur dan lebih baik lagi. Disiplin selalu mengandaikan kepatuhan pada perintah dan hukum tertentu.

Pemahaman akan makna disiplin ini sangat kental di dalam sebuah keluarga. Saya mengingat pada kesempatan sebuah rekoleksi keluarga, di mana ada sepasang suami dan istri yang merasa bangga karena sejauh ini mereka belum mengalami kesulitan dalam mendidik anak-anak mereka. Setelah berefleksi bersama, mereka menemukan bahwa rasa bangga mereka kepada anak-anak itu memang wajar karena sebagai orang tua mereka melakukan tugas mereka dengan baik sebagai pendidik nomor satu. Mereka berusaha menanamkan nilai-nilai disiplin di dalam diri anak-anak mereka. Hal yang mereka lihat adalah kepatuhan kepatuhan kepada orang tua dan guru dan orang-prang yang memiliki kekuatan tertentu. Mereka patuh kepada peraturan dan juga semua tata tertib di dalam keluarga dengan baik. Bagi saya, inilah keindahan dalam menghayati sebuah disiplin hidup bersama di dalam keluarga. Sekarang tinggal bagaimana setiap pribadi berusaha menjadi pribadi yang sempurna dengan memiliki disiplin diri yang terbaik.

Kita semua adalah anak-anak Tuhan yang dipanggil untuk mengikuti perintah-perintah dan hukum-hukum-Nya. Raja Daud pernah berkata: “Takut akan Tuhan suci, tetap ada untuk selamanya; hukum-hukum Tuhan itu benar, adil selama-lamanya” (Mzm 19:9). Perintah-perintah dan ketetapan-ketetapan dari Tuhan itu membantu manusia untuk hidup secara teratur, berdisiplin, dan hidup baik secara moral di hadapan Tuhan dan sesama. Perlu kita ketahui bahwa pada dahulu segala peraturan dan ketetapan Tuhan di dalam Kitab Suci mengalami penafsiran yang terus menerus. Para ahli Taurat melakukan penafsiran-penafsiran yang berguna bagi umat Allah. Tujuannya adalah supaya setiap orang memiliki disiplin diri di hadirat Tuhan Allah dan sesama. Tetapi ada juga penafsiran yang keliru terhadap Taurat dan Kitab para nabi sehingga harus ditafsir ulang lagi oleh para ahli Taurat. Sebab itu Tuhan Yesus berkata: “Jangan kalian menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya melainkan untuk menggenapinya.” (Mat 5:17).

Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menggenapi serta menyempurnakan hukum Taurat. Ia juga mengoreksi semua kekeliruan yang sudah sedang mereka lakukan, membuka pikiran mereka untuk melakukan perintah dan hukum Tuhan dengan sukacita bukan merasa sebagai beban dalam hidup mereka. Ia juga mengatakan: “Sungguh, selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu yota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5:18). Maka Yesus benar-benar membuat hukum Taurat menjadi sempurna dan dihayati dengan sukacita. Para murid haruslah memiliki disiplin untuk melakukan dan mengajarkan semua perintah Taurat dengan sempurna juga.

Tetapi apa yang terjadi pada diri Tuhan Yesus? Ia dianggap telah melawan hukum Taurat dan tradisi Yahudi lainnya. Para pemimpin Yahudi saat itu mengatakan bahwa Yesus dan ajaran-ajaran-Nya telah menghujat Allah yang mereka sudah kenal. Dengan demikian hukuman mati pun menjadi milik Yesus. Padahal Yesus dengan tegas mengatakan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat atau Kitab Para Nabi melainkan menggenapi atau menyempurnakannya dan memberikan mereka tafsiran yang benar yakni melakukan hukum Taurat dengan sukacita. Maka kasih dan kebenaran haruslah menjadi junjungan bagi semua orang.

Bagaimana dengan kita saat ini? Pada hari ini kita belajar untuk melakukan dengan baik semua yang berkaitan dengan disiplin diri. Apakah kita mengikuti perintah dan peraturan yang berkaitan dengan hidup kita? Apakah kita melakukan tugas dan tanggung jawab kita dengan baik?

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply