Homili 12 Juli 2017

Hari Rabu, Pekan Biasa ke-XIV
Kej. 41:55-57; 42:5-7a,17-24a
Mzm. 33:2-3,10-11,18-19
Mat. 10:1-7

Carilah selalu wajah Tuhan

Saya pernah mengunjungi sebuah biara tua. Di ruang tamu biara itu terdapat gambar matahari yang baru terbit di atas lautan yang indah, dengan sebuah tulisan di bawahnya: “Carilah selalu wajah Tuhan”. Saya mengingat perkataan ini berasal dari Kitab Mazmur tentang puji-pujian atas segala perbuatan Allah di masa lampau di mana dikatakan begini: “Carilah Tuhan dan kekuatan-Nya, carilah wajah-Nya selalu!” (Mzm 105:4). Dalam perjalan pulang ke komunitas, saya merenung kembali perkataan Tuhan ini dan bertanya dalam hatiku apakah sepanjang hari ini saya juga selalu mencari wajah Tuhan? Saya dengan jujur mengatakan kepada Tuhan permohonan maaf dan memohon pengampunan yang berlimpah karena banyak kali saya lalai mencari Tuhan dan kekuatan-Nya dan lalai mencari wajah-Nya. Saya lebih mengandalkan kekuatan saya dari pada mengandalkan kuasa Tuhan. Saya lebih bersikap narcis dari pada mencari wajah Tuhan dalam diri sesama dan segala ciptaan-Nya.

Kita mendengar kisah lanjutan tentang keluarga Yakub yang sudah berubah namanya menjadi Israel. Ia memiliki dua belas anak laki-laki, dan anak yang paling disayanginya bernama Yusuf. Sebab itu saudara-saudaranya cemburu dan berniat jahat kepadanya. Sebenarnya mereka ingin membunuhnya namun mereka kuatir dengan keadaan ayah mereka Yakub yang sudah memasuki usia senja. Mereka lalu memasukkannya ke dalam sumur kering, kemudian menjualnya ke Mesir. Di Mesir, Yusuf dikenal sebagai penafsir mimpi terkenal sehingga. Mimpi raja Firaun pun ditafsirkannya dengan tepat. Sebab itu ia mendapat kepercayaan sebagai Mangkubumi. Ia menguasai suplai bahan makanan untuk seluruh Mesir dan sekitarnya.

Dikisahkan bahwa pada suatu waktu, seluruh negeri mengalami kelaparan yang hebat. Banyak orang Mesir berteriak-teriak meminta makanan dan Firaun mengarahkan mereka semua kepada Yusuf. Yusuf membuka lumbung persediaan makanan kepada orang-orang Mesir dan juga bangsa asing yang berada di tanah Kanaan, terutama keluarga Israel. Mereka ramai-ramai berdatangan ke Mesir untuk membeli makanan, termasuk saudara-saudara Yusuf. Mereka sudah lupa wajah Yusuf, tetapi Yusuf tidak melupakan mereka. Saudara-saudara Yusuf bersujud dengan mukanya sampai ke tanah. Yusuf memasukkan mereka ke dalam tahanan namun kemudian membebaskan mereka.

Yusuf berkata kepada mereka: “Buatlah begini, maka kamu akan tetap hidup, aku takut akan Allah. Jika kamu orang jujur, biarkanlah dari kamu bersaudara tinggal seorang terkurung dalam rumah tahanan, tetapi pergilah kamu, bawalah gandum untuk meredakan lapar seisi rumahmu. Tetapi saudaramu yang bungsu itu haruslah kamu bawa kepadaku, supaya perkataanmu itu ternyata benar dan kamu jangan mati.” (Kej 42:19-20). Perkataan Yusuf ini membuka pikiran mereka, membangkitkan penyesalan mereka yang begitu mendalam karena telah bersalah terhadap Yusuf saudara mereka. Inilah perkataan mereka: “Betul-betullah kita menanggung akibat dosa kita terhadap adik kita itu: bukankah kita melihat bagaimana sesak hatinya, ketika ia memohon belas kasihan kepada kita, tetapi kita tidak mendengarkan permohonannya. Itulah sebabnya kesesakan ini menimpa kita.” (Kej 42: 21). Ruben, sang kakak tertua juga mengungkapkan suasana batinnya: “Bukankah dahulu kukatakan kepadamu: Janganlah kamu berbuat dosa terhadap anak itu! Tetapi kamu tidak mendengarkan perkataanku. Sekarang darahnya dituntut dari pada kita.” (Kej 42: 22).

Kisah Yusuf ini memiliki makna yang sangat mendalam bagi kita semua. Dalam hidup kita setiap hari, entah dalam keluarga atau komunitas selalu saja ada rasa suka dan tidak suka di antara anak-anak meskipun berasal dari satu rahim yang sama. Ada orang tua yang memperlakukan anaknya berbeda dengan anak yang lain. Anak yang satunya dimanja, dijadikan anak emas dan lain selalu dimarahi. Ada orang tua yang tanpa sadar membanding-bandingkan anak-anaknya. Anak sulung tidak sehebat anak bungsu, misalnya. Hal-hal seperti ini mudah membangkitkan rasa iri dan dengki di antara anak-anak dan juga terhadap orang tua.

Yusuf memang dijual ke tangan orang Mesir tetapi dari Mesir, Ia menunjukkan wajah kerahiman Allah kepada saudara-saudaranya di tanah Kanaan. Ia masih mau memberi makan, memberi kehidupan kepada saudara-saudaranya yang sudah menjualnya kepada orang-orang asing. Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan. Saling menjual satu sama lain itu bukan zamannya lagi. Seharusnya sebagai manusia yang berbudaya kita saling mengasihi satu sama lain sebagai saudara. Apakah kita dapat berlaku seperti Yusuf yang mengasihi saudara-saudaranya yang sudah bertindak jahat kepadanya?

Pengalaman Yusuf mirip dengan pengalaman Yesus sendiri. Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus memilih dua belas orang menjadi rasul atau utusan-Nya. Ia memberi mereka kuasa untuk mengusir roh-roh jahat, melenyapkan segala penyakit serta kelemahan. Kedua belas rasul itu diutus berpasangan maka nama-nama mereka selalu dirangkai dengan kata “dan” supaya kesaksian mereka menjadi sah. Mereka mendapat pesan istimewa supaya jangan menyimpang ke jalan bangsa lain atau masuk ke dalam kota Samaria melainkan kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel. Kerajaan Allah sudah dekat merupakan pokok pewartaan mereka.

Terlepas dari nama-nama para rasul dan perutusan mereka, saya tertarik untuk melihat figur Yesus yang memiliki kemiripan dengan Yusuf dalam bacaan pertama. Yesus juga dijual oleh seorang pilihan-Nya yakni Yudas Iskariot. Ia menjual Yesus seharga tiga puluh perak. Yesus nantinya memberi diri-Nya secara total sebagai makanan rohani dalam Ekaristi kudus hingga saat ini. Kejahatan Yudas Iskariot dibalas dengan kebaikan Yesus yang menghidupkan. Yesus menjadi roti yang turun dari surga, menjadi makanan rohani yang membawa keabadian dalam hidup kita.

Pada hari ini kita belajar untuk berbuat baik kepada orang-orang yang berbuat jahat kepada kita. Balaslah kejahatan dengan kebaikan. Jadilah makanan yang menghidupkan sesama yang berlaku jahat kepadamu. Anda dan saya pasti bisa bersama Tuhan. Hanya dengan demikian kita akan selalu mencari wajah Tuhan dan menunjukkan-Nya kepada sesama kita hari demi hari.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply