Homili Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia – 2017

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XIX
Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Yos 3:7-10a.11.13-17
Mzm 114:1-6
Mat 18:21-19:1

Orang merdeka mengampuni tanpa batas

Merdeka! Ini adalah pekikan yang patut diucapkan oleh setiap anak bangsa pada hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-72, tanggal 17 Agustus 2017. Pada kesempatan istimewa ini saya akan mengutip beberapa perkataan para presiden Republik Indonesia, yang kiranya dapat menginspirasikan kita semua dalam peringatan hari kemerdekaan tahun ini.

Bung Karno berkata: “Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan”. Orang-orang merdeka adalah mereka yang senantiasa berusaha untuk membangun sebuah dunia yang penuh dengan damai dan persaudaraan. Ini adalah sebuah cita-cita dan harapan kita semua. Namanya sebuah cita-cita dan harapan maka meskipun sudah tujuhpuluh dua tahun merdeka, kita masih terus berjuang untuk mencapai perdamaian dan persaudaraan sejati sebagai satu bangsa dan satu tanah air Indonesia. Pada kesempatan yang lain, Bung Karno berkata: “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang.” Perkataan Bung Karno ini menjadi koreksi bagi anak-anak bangsa saat ini yang melihat masa depan bangsa Indonesia dengan mata buta. Anak bangsa yang hanya bisa menjadi anggota pasukan nasi bungkus, yang hanya bisa berdoa kepada Tuhan sambil menyindir sesama manusia dan yang mencuri uang negara tanpa ada rasa malunya. Anak bangsa yang hati nuraninya sudah tumpul! Kita mesti belajar dari masa lalu untuk menjadi lebih baik lagi.

Pak Harto memiliki ungkapan yang bagus untuk kita renungkan pada hari kemerdekaan ini. Ia pernah berkata: “Kalau kamu ingin menjadi pribadi yang maju, kamu harus pandai mengenal apa yang terjadi, pandai melihat, pandai mendengar, dan pandai menganalisis.” Perkataan ini sangat sederhana tetapi mengena pada kehidupan anak-anak bangsa saat ini. Banyak anak bangsa saat ini memang tidak pandai dalam segala hal, hanya pandai dalam hal-hal tertentu saja. Anak bangsa saat ini sangat sulit untuk melihat, mendengar dan menganalisis situasi. Banyak anak bangsa yang hanya bisa memiliki otot tetapi tidak berotak. Akibatnya tindakan melawan hak-hak asasi manusia semakin menjadi-jadi. Orang seakan tidak memiliki hati nurani lagi. Kita mengingat kembali figur-figur tertentu di negeri ini yang menjadi korban ketidakadilan sosial. Orang yang salah dipertahankan, orang benar dipersalahkan bahkan dipenjarakan.

Pak Habibi berkata: “Tak perlu seseorang yang sempurna, cukup temukan orang yang selalu membuatmu bahagia dan membuatmu berarti lebih dari siapapun.” Andaikan semua anak bangsa mendengar dan memahami perkataan Pak Habibi ini mungkin wajah negeri kita ini berbeda daripada yang sekarang ini. Kita semua memang tidak sempurna, masih berusaha untuk menjadi sempurna. Maka tugas kita adalah saling membahagiakan sebagai saudara-saudara sebangsa dan setanah air. Hidup kita akan berarti kalau kita berani mewujudkan sumpah pemuda, bahwa kita memiliki satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Pancasila adalah dasar yang kokoh untuk kebahagiaan kita .

Gus Dur berkata: “Tidak penting apapun agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.” Gus Dur coba membuka mata kita semua untuk bersikap toleran, bersaudara tanpa memandang siapaka sesama kita. Cinta kasih itu universal. Cinta kasih tidak mengenal agama dan suku serta ras. Cinta kasih kita wujudkan dalam perbuatan baik karena perbuatan baik akan kembali lagi kepada kita sendiri.

Ibu Megawati berkata: “Kebahagiaan itu bukan karena berkoalisi dengan kekuasaan, tapi kebahagiaan itu akan datang ketika kita bisa menangis dan tertawa bersama.” Persaudaraan sebagai anak bangsa sebenarnya memiliki kekuatan untuk merobohkan tembok-tembok yang memisahkan kita. Tujuan hidup kita di dunia ini adalah untuk menjadi pribadi yang bahagia. Sebab itu sikap empati perlu kita bangun bersama. Menangislah pada saat menangis, tertawalah pada saat tertawa bersama-sama. Kita mengingat St. Paulus pernah berkata begini: “Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita dan mengislah dengan orang yang menangis” (Rm 12:15).

Pak Susilo Bambang Yudhoyono berkata: “Tidak pernah ada hari yang sama dalam kehidupan kita. Hari ini berbeda dengan kemarin. Mari kita jadikan hari ini lebih baik.” Rasa optimis sebagai satu bangsa dan satu tanah air harus kita miliki. Kita juga tidak harus berhenti pada hari ini dan tidak mau maju pada hari berikutnya. Usaha kita adalah menjadikan setiap hari sebagai hari penuh berkat untuk mewujudkan kebahagiaan bersama.

Pak Joko Widodo berkata: “Hidup adalah tantangan, jangan dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja, dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan.” Kita semua memiliki telinga yang senantiasa terbuka untuk mendengar, dan kita mendengar kritikan banyak orang. Kritikan bisa saja membangun atau membunuh karakter kita. Tetapi satu hal yang perlu kita tanamkan dalam diri kita adalah semangat untuk bekerja. Bekerja tanpa henti menjadi bagian penting dalam hidup kita karena kita berpartisipasi dalam diri Tuhan yang senantiasa mencipta.

Semua perkataan para bapa dan ibu bangsa ini sangatlah luhur dan kristiani. Nilai-nilai luhur yang diajarkan Tuhan Yesus juga terungkap dalam perkataan mereka. Cita-cita yang besar dari para bapa dan ibu bangsa Indonesia ini adalah supaya bangsa Indonesia menjadi sebuah bangsa yang besar, bangsa yang benar-benar bermartabat, bersaudara dan bersatu dalam segala hal. Cita-cita luhur ini yang mungkin sedang dikesampingkan oleh oknum tertentu atas nama agama dan suku dan ras tertentu. Kita membutuhkan Tuhan untuk mengubah mentalitas kita sebagai anak-anak bangsa supaya kita berjalan dalam kehendak-Nya serta cita-cita dan harapan para pemimpin bangsa kita.

Apa yang harus kita lakukan?

Bacaan Injil hari ini menampilkan figur sang pemimpin para rasul yakni Petrus. Ia bertanya kepada Yesus: “Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadapku? Sampai tujuh kalikah?” (Mat 18:21). Petrus memang berpikir secara manusiawi bahwa ketika seorang saudara yang bersalah kepada kita maka cukuplah tujuh kali mengampuninya. Tuhan Yesus mendengar perkataan Petrus dan mengingatkannya tentang pengalaman Lamekh (Kej 4:23-24). Sebab itu Yesus menjawab: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali”. (Mat 18:22). Sifat pengampunan Tuhan adalah pengampunan tanpa batas bukan pengampunan dengan perhitungan tertentu. Manusia pandai menghitung banyaknya pengampunan yang dilakukannya, Tuhan tidak pernah menghitung berapa kali Ia telah mengampuni kita semua yang sudah berdosa. Kita seharusnya belajar untuk menjadi serupa dengan Tuhan yang murah hati, panjang sabar dan berlimpah kasih setia-Nya.

Bacaan Injil hari ini juga menggambarkan bagaimana sikap tidak adil itu dilakukan kepada orang lain terutama mereka yang lemah dan tak berdaya. Pikirkanlah: Kita melakukan suatu kesalahan dan Tuhan rela mengampuni kita, tetapi kita sendiri masih sulit mengampuni sesama yang bersalah kepada kita. Dalam kehidupan bersama sebagai satu bangsa dan satu tanah air, suasana permusuhan memang mudah sekali terjadi. Rasa benci, dendam, dan suka menghitung kesalahan orang lain masih menguasai kita semua. Orang boleh beragama tetapi belum beriman! Orang boleh aktif dalam kegiatan keagamaan tetapi bukanlah jaminan bahwa ia benar-benar beriman. Kita mengingat kasus seorang yang dibakar hidup-hidup di kompleks sebuah rumah ibadat di Bekasi. Mungkin orang yang melakukan tindakan sadis ini berniat untuk berdoa atau baru selesai berdoa. Adalah sangat aneh kalau buah doa adalah kebencian. Buah doa adalah pengampunan tanpa batas kepada semua saudari dan saudara kita.

Kita perlu berjalan di depan Tuhan seperti bangsa Israel yang sedang memasuki tanah terjanji. Tabut perjanjian mendahului kita semua, menyeberangi sungai Yordan dan memasuki tanah terjanji. Yosua adalah pemimpin yang tangguh. Tuhan menguatkannya untuk mengantar semua anak Israel memasuki tanah terjanji. Kita sebagai satu bangsa juga berjalan bersama dengan pancasila sebagai pandangah hidup yang membawa kita kepada gerbang kesejahteraan bersama. Bahwa masih banyak kekurangan dalam hidup berbangsa dan bernegara adalah hal yang biasa dalam kebersamaan. Kita harus berubah menjadi lebih baik lagi. Dirgahayu Republik Indonesia ke tujuh puluh dua.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply