Homili 18 Agustus 2017

Hari Jumat, Pekan Biasa ke-XIX
Yos. 24:1-13
Mzm. 136:1-3,16-18,21-22,24
Mat. 19:3-12

Masih banyak yang tegar hati!

Saya sedang membaca sebuah buku, hasil karya Kimberly Hahn, berjudul “Life-Giving Love. Embracing God’s Beautiful Design for Marriage”. Saya menemukan kalimat yang indah, dan saya merasa sangat meneguhkan setiap keluarga masa kini. Beliau menulis: “Membangun rumah merupakan sebuah ungkapan puitis bagi pasangan yang membentuk keluarga. Tuhan sendirilah yang membangun setiap keluarga sehingga keluarga tersebut bisa bertahan dalam badai kehidupan. Tuhan adalah batu karang, dan di atasnya kita harus membangun, bukan di atas pasir, sebagaimana pendapat masyarakat dan kebudayaan yang sedang banyak dianut.” Saya sepakat dengan pernyataan istri Scott Hahn ini. Banyak pasangan hidup yang hanya berpikir bahwa persekutuan hidup sebagai suami dan isteri itu semata-mata hanya keinginan manusiawi saja. Bagi mereka, hidup bersama dapat terjadi karena kesukaan fisik semata. Mereka lupa bahwa ada hal lain yang melebihi kesukaan fisik semata yakni kebahagiaan hidup sebagai alasan utamanya. Memang, tujuan hidup berkeluarga adalah supaya pasangan suami dan istri yang diberkati dalam Tuhan dapat hidup bersama sebagai pribadi yang bahagia.

Penyerahan diri secara total kepada pasangan hidup merupakan wejangan emas yang selalu disampaikan oleh para orang tua, saksi perkawinan dan para Romo yang memberkati pernikahan. Seringkali wejangan ini berlalu begitu saja. Pasangan suami dan istri baru menyadarinya ketika sudah muncul masalah-masalah yang berhubungan dengan relasi antara suami dan istri. Saya mengingat Katekismus Gereja Katolik yang mengajarkan seperti ini: “Maka pantaslah bahwa kedua mempelai memeteraikan Ya-nya sebagai penyerahan diri secara timbal balik, dengan mempersatukan diri dengan penyerahan Kristus kepada Gereja-Nya, yang dihadirkan di dalam kurban Ekaristi dan menerima Ekaristi, supaya mereka hanya membentuk satu tubuh di dalam Kristus melalui persatuan dengan tubuh dan darah Kristus yang sama (Bdk. 1 Kor 10:17) [KGK,1621]. Penyerahan diri suami dan istri menjadi satu daging menjadi serupa dengan penyerahan diri Kristus kepada Gereja-Nya. Sayang sekali karena hingga saat ini masih banyak pasangan hidup yang tegar hatinya.

Pada hari ini kita mendengar sebuah kisah Injil yang bagus untuk direnungkan oleh semua keluarga manusia. Dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan ada kaum Farisi yang datang untuk mencobai Yesus dengan bertanya: “Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Pertanyaan ini muncul karena ada banyak kasus yang terjadi pada saat itu. Tuhan Yesus tidak menjawab pertanyaan kaum Farisi ini secara langsung ya atau tidak. Ia membuka pikiran mereka dengan mengecek apa yang sudah mereka ketahui dalam Kitab Suci. Sebab itu Ia berkata: “Tidakkah kalian baca, bahwa Ia yang menciptakan, sejak semula menjadikan mereka pria dan wanita? Dan Ia berkata: “Sebab itu pria akan meninggalkan ayah dan ibunya, dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging. Demikian mereka itu bukan lagi dua, melainkan satu. Karena apa yang tekah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Perkataan Yesus ini mengingatkan mereka semua bahwa Tuhan sudah merencanakan persekutuan suami istri sebelum mereka menjadi satu daging (Kej 2:24).

Kaum Farisi melanjutkan pertanyaan mereka dengan merujuk pada Musa yang membuat surat cerai jika orang menceraikan istrinya. Yesus mendengar perkataan kaum Farisi ini dan dengan tegas mengatakan: “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kalian menceraikan istrimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. Barangsiapa menceraikan istrinya, kecuali karena zina lalu kawin dengan wanita lain, ia berbuat zina”. (Mat 19: 8). Saya mengira kaum Farisi tidak memiliki pertanyaan yang lain lagi sebab mereka membuka boroknya sendiri bahwa mereka memang tegar hati.

Kita tidak dapat menutup mata terhadap perilaku keluarga-keluarga saat ini. Banyak pribadi yang tidak memiliki ide yang jelas tentang panggilan untuk mewujudkan pernikahan sebagai persekutuan, menjadi satu daging sesuai dengan rencana Tuhan. Ada pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan apapun. Ada yang selalu berganti pasangan tanpa memiliki hati nurani bahwa yang menderita adalah anak-anak yang lahir dari kandungan mereka. Keluarga-keluarga itu sedang berada dipersimpangan jalan karena hati mereka tegar. Kita berdoa bagi kelurga-keluarga itu supaya kembali ke jalan yang benar sesuai dengan kehendak Tuhan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply