Homili 11 September 2017

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXIII
Kol 1:24-2:3
Mzm 62: 6-7.9
Luk 6:6-11

Jangah hanya jadi pengamat!

Banyak di antara kita yang senang menonton siaran langsung cabang olahraga tertentu di stasiun-stasiun televisi. Biasanya stasiun televisi tersebut menyiapkan komentator-komentator yang dapat beropini dan memberi prediksi hasil pertandingan. Kita dapat menjumpai komentator yang memberi komentar yang logis, benar-benar menguasai cabang olahraga tersebut, singkatnya komentarnya memang berbobot. Ada komentator yang kelihatan hanya sekedar asal bunyi sebab ia sendiri tidak memahami cabang olah raga tersebut. Komentator dan pengamat olahraga dalam beropini kadang kelihatan lebih pintar dari para pemain di lapangan dan wasit yang memimpin pertandingan. Mungkin ini hanya terjadi pada para komentator dan pengamat di Indonesia yang seolah-olah mengetahui segalanya. Komentator dan pengamat di luar negeri kelihatan lebih tenang, tidak bertele-tele dan realistis. Menjadi pengamat terhadap kehidupan orang lain memang mudah tetapi ketika orang mengamati zona pribadi kita, maka kita akan cepat bereaksi sekaligus berbunglon. Kita mencari aman dan berlindung dalam kepalsuan hidup.

Pada hari ini kita mendengar kisah Yesus dalam Injil Lukas yang sangat bagus. Tuhan Yesus membuat sebuah mukjizat yakni menyembuhkan seorang yang mati tangan kanannya pada hari Sabat di dalam rumah ibadat. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang berada di dekat Yesus, berdiri dan mengamat-amati Yesus kalau-kalau Ia menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat. Dengan demikian mereka dapat mempersalahkan-Nya karena melanggar hari Sabat. Sikap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini langsung dirasakan oleh Yesus. Ia mengetahui pikiran mereka, sebab itu Ia memanggil si sakit untuk berdiri di tengah-tengah mereka. Tuhan Yesus menggunakan kesempatan untuk mengoreksi cara berpikir dan cara pandang mereka yang sangat legalistis dan lupa bahwa cinta kasih itu melebihi segalanya. Perbuatan kasih kepada sesama manusia adalah hal yang urgent dan dapat dilakukan kapan dan dimana saja.

Tuhan Yesus bertanya: “Manakah yang diperbolehkan pada hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat? Menyelamatkan orang atau membinasakannya?” (Luk 6:9). Pertanyaan ini sangat mendalam bagi mereka sebagai pengamat yang legalis dan lupa bahwa sesungguhnya cinta kasih itu melebihi segalanya. Cinta kasih kepada sesama dengan tulus membutuhkan pengorbanan yang besar. Itulah yang dilakukan Tuhan Yesus di dalam rumah ibadah. Ia tidak hanya mewartakan Injil. Ia melepaskan segala penyakit dan kelemahan manusiawi pada zaman-Nya. Maka tugas kita sebagai Gereja saat ini bukan hanya sebagai pribadi yang legalis saja, tetapi menyerupai Yesus Kristus yang siap berkurban untuk mengentaskan penderitaan manusia.

Mari kita juga memandang kehidupan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka sejak semua mengamat-amati Yesus kalau-kalau Ia menyembuhkan orang yang mati tangan kanannya pada hari Sabat. Mereka lalu menyaksikan Yesus berbuat baik dengan menunjukkan kasih-Nya kepada orang sakit itu dan menyebuhkannya. Para ahli Taurat dan orang-orang Farisi meluap amarahnya dan berunding, membuat strategi baru tentang apa yang akan mereka lakukan kepada Yesus, padahal Yesus berbuat baik. Orang yang benar-benar waras akan menertawakan sikap manusia seperti ini.

Sikap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi masih merupakan sikap kita masa kini. Banyak kali kita hanya menjadi pengamat aktif, yang hanya sebatas mengamati kehidupan sesama, mengeritik pribadi-pribadi tertentu seperti para aktivis Gereja sebagai orang yang kurang kerjaan, tukang cari muka (carmuk) dengan gembala, tukang cari untung di Gereja dan lain sebagainya. Mungkin benar apa yang diamati tetapi hanya menjadi pengamat saja belum cukup. Kita harus benar-benar ikut terlibat dalam berbuat baik, siap menderita bersama saudara yang sedang menderita. Sikap empati atau berbela rasa haruslah menjadi bagian dari hidup kita.

Seorang tokoh inspiratif hari ini adalah St. Paulus. Kita perlu belajar banyak dari kehidupannya. Dia bukanlah pengamat tetapi terlibat langsung dengan jemaat di Kolose, berbuat baik, mengasihi mereka bahkan menderita bagi dan bersama mereka. Ia mengakui bahwa segala penderitaan yang dialami adalah sukacita baginya. Ia bersukacita karena boleh menderita demi jemaat dan melengkapkan dalam dagingnya apa yang masih kurang pada penderitaan Kristus bagi jemaat sebagai tubuh Kristus sendiri. Paulus bukanlah pengamat, ia terlibat langsung, ikut merasakan penderitaan jemaat. Sikap Paulus ini serupa dengan apa yang dilakukan Tuhan Yesus sepanjang hidup-Nya.

Keterlibatan Paulus adalah menjadi pelayan jemaat khususnya melayani Sabda sebagaimana diamanatkan sendiri oleh Tuhan Yesus Kristus kepadanya. Paulus mewartakan Kristus dan Injil-Nya dengan sukacita. Ini adalah pekerjaan Kristus yang dilakukannya di tengah-tengah jemaat. Kristus adalah alasan yang kuat bagi Paulus untuk melayani, mengasihi sampai tuntas, apapun situasinya. Kristus adalah keselamatan dan kemuliaan bagi kita yang percaya kepadanya.

Pada hari ini kita belajar supaya jangan hanya mengamati tetapi terlibat aktif, siap untuk berkorban, bahkan menderita bagi Tuhan dan sesama. Hidup kristiani kita haruslah demikian: siap untuk mengasihi Tuhan dan sesama sampai tuntas.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply