Homili Pesta salib Suci -2017

Pesta Salib Suci
Bil 21:4-9
Mzm 78:1-2.34-35.36-37.38
Flp 2: 6-11
Yoh 3:13-17

Salib adalah kasih

Pada pagi hari ini ada seorang sahabat mengirim sebuah pesan singkat kepadaku, bunyinya: “Simbol cinta dan kasih bukanlah hati sebab hati dapatlah hancur, simbol cinta dan kasih sebenarnya adalah salib sebab Dia yang disalibkan itu tidak akan berhenti mencintai dan mengasihimu”. Saya mengangguk-angguk sambil mengatakan setuju dalam hati. Benar bahwa Tuhan Yesus yang disalibkan itu tidak akan pernah berhenti mengasihi kita semua. Cinta kasih-Nya tidak berkesudahan. Dia mengasihi kita sampai tuntas (Yoh 13:1). St. Theresia dari Kalkuta pernah berkata: “Ketika kamu melihat salib, kamu memahami betapa Yesus mencintaimu. Ketika kamu memandang Hosti Suci, kamu memahami betapa Yesus mencintaimu sekarang.” Perayaan Pesta Salib Suci membantu kita untuk memandang Salib Tuhan Yesus Kristus. Bagi orang-orang Yunani dan Yahudi, salib adalah tanda kehinaan dan kebodohan, tetapi Tuhan Yesus rela menerimanya sebagai takhta kebesaran-Nya. Dia bahkan wafat di atas kayu salib untuk menyelamatkan kita. Kita selalu berdoa: “Sebab dengan salib suci-Mu, Engkau telah menebus dunia.” Pada salib Tuhan Yesus Kristus ada keselamatan kita.

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada pesta Salib Suci mengingatkan kita untuk memandang salib. Dengan memandangnya kita akan tetap hidup. Dalam Kitab Bilangan, kita mendengar bagaimana orang-orang Israel selalu berkeras hati dan melawan Tuhan Allah dan Musa. Mereka marah kepada Tuhan melalui Musa karena telah membawa mereka keluar dari tanah Mesir. Mereka mengingat-ingat masa lalunya di Mesir. Mereka memang menderita tetapi tidak pernah mengalami kekurangan makanan dan minuman. Kini mereka berada di padang gurun di mana tidak ada roti, tidak ada air, dan mereka muak karena makanannya hambar. Orang-orang Israel suka bersungut-sungut melawan Tuhan dan Musa padahal mereka sedang mengalami kasih dan kebaikan Tuhan. Mereka hanya ingat akan makanan dan minuman dan melupakan kasih dan kebaikan Tuhan. Hanya gara-gara makanan dan minuman, mereka melupakan hidup kerasnya di Mesir sebagai budak dan melupakan kasih dan kemurahan Tuhan di padang gurun. Betapa rapuhnya manusia di hadapan Tuhan.

Apa yang Tuhan lakukan bagi Bangsa Israel yang keras hati ini? Tuhan menyuruh ular-ular tedung untuk memagut bangsa Israel. Banyak di antara mereka yang meninggal dunia. Ini menjadi titik balik kesadaran mereka. Bangsa Israel menyadari dosa-dosa yang sudah mereka lakukan terhadap Tuhan dan Musa, dan berani memohon pengampunan Tuhan melalui Musa. Mereka berkata: “Kami telah berdosa, sebab kami telah berkata-kata melawan Tuhan dan engkau. Berdoalah kepada Tuhan supaya dijauhkan-Nya ular-ular ini dari pada kami.” Tuhan selalu memberi kesempatan kepada bangsa Israel untuk bertobat. Tuhan menyelamatkan mereka sebab mereka sadar diri untuk kembali kepada-Nya. Tuhan menyuruh Musa untuk membuat ular tedung dan meletakannya di atas tiang sehingga setiap orang yang dipagut akan tetap hidup jika ia melihatnya.

St. Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Filipi melukiskan hidup Yesus Kristus sang Penebus dunia. Ia mengatakan bahwa Yesus Kristus meskipun dalam rupa Allah tidak mempertahankan martabat-Nya sebagai Anak Allah. Ia berkenosis atau mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Ia merendahkan diri-Nya dan taat sampai wafat, bahkan sampai wafat di kayu salib. Salib sebagai tanda kehinanan dan kebodohan diterima Yesus sang Anak Allah. Sebab itu menurut Paulus, Tuhan Allah sangat meninggikan-Nya dan menganugerahi-Nya nama di atas segala nama. Sebab itu semua lidah akan mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Yesus sang Anak Allah telah merendahkan diri, serupa dengan seorang hamba. Ia diangkat setinggi-tingginya sehingga menjadi Tuhan atas segala sesuatu.

Salib adalah kasih sebab dari salib muncul cahaya keselamatan kita. Tuhan Yesus sebagai Anak Allah tidak ragu-ragu menerima salib, memikulnya sampai ke atas bukit golgota. Di atas kayu salib ini Ia mencurahkan segala kasih-Nya kepada manusia. Tuhan Yesus menunjukkan teladan kerendahan hati yang luar biasa. Martabat sebagai Anak Allah tidak dipertahankan-Nya, tetapi rela menderita demi keselamatan manusia yang berdosa. Yesus sebagai Anak Allah saja masih merendahkan diri-Nya, mengapa kita masih sulit untuk merendahkan diri? Mengapa kita masih kesulitan untuk menerima salib-salib kehidupan kita?

Dalam bacaan Injil, Tuhan Yesus mengatakan kepada Nikodemus bahwa tidak ada seorang pun yang telah naik ke surga selain Dia yang telah turun dari surga. Hanya Anak Manusia yakni Yesus Kristus sendiri yang mengalaminya. Ia juga mengingat Nikodemus tentang peristiwa Musa meninggikan ular tedung di atas tiang di mana semua orang yang dipagut ular tedung akan tetapi hidup kalau memandang ular di atas tiang yang tinggi itu. Yesus mengatakan bahwa Anak Manusia yang telah naik dan turun dari Surga akan ditinggikan supaya setiap orang yang percaya kepadanya beroleh hidup kekal. Yesus ditinggikan berarti Yesus disalibkan. Setiap orang yang memandang Dia yang tersalib akan memperoleh hidup kekal.

Salib adalah kasih karena dari atas kayu salib Tuhan Yesus menunjukkan kasih-Nya sampai tuntas kepada kita semua. Tuhan Yesus sendiri berkata: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh 3:16). Tuhan Yesus adalah utusan Allah Bapa untuk menyelamatkan dan menganugerahkan hidup kekal kepada kita semua.

Saya mengakhiri homili ini dengan mengingat perkataan St. Rosa dari Lima. Ia berkata: “Untuk mencapai surga, tidak ada tangga lain yang bisa dilalui, kecuali salib”. Salib adalah kasih dan merupakan tangga bagi kita untuk mencapai surga atau mencapai hidup kekal.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply