Homili Hari Minggu Biasa ke-XXIVA- 2017

Hari Minggu Biasa Ke-XXIV
Sir. 27:30 – 28:9
Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12
Rm. 14:7-9
Mat. 18:21-35

Pengampunan yang membebaskan

Ada seorang Bapa yang pernah membagi pengalaman pribadinya tentang keindahan mengampuni. Inilah kisahnya: ia pernah mengenal seseorang dan menjadi teman akrab, hingga suatu saat bekerja sama dalam business. Business mereka berkembang dengan baik selama beberapa tahun. Namun sangatlah disayangkan karena pada suatu saat ia mengalami kecurangan dari rekan businessnya itu. Business bersama itu merugi dan harus ditutup dengan meninggalkan banyak utang yang menjadi tanggungannya. Rekan businessnya itu pun tanpa ada rasa bersalah meninggalkannya. Sejak saat itu ia mengalami pergumulan yang luar biasa. Berbagai perasaan seperti marah, benci, dendam, iri hati kepada rekan businessnya termasuk kepada Tuhan sendiri. Hanya istrinya selalu menguatkannya dengan doa dan kata-kata ini: “Apa yang berlalu biarkanlah berlalu. Mari kita kembali kepada Tuhan dan memulai yang baru lagi”. Ini adalah beberapa kata yang selalu diungkapkan istrinya dengan tenang. Istrinya juga harus bekerja keras untuk keluarga. Semangat berkorban istrinya juga sangat menguatkannya.

Selanjutnya, pada suatu kesempatan menjelang paskah, ia pergi mengakui dosa-dosanya. Ia menyampaikan semua suasana bathinnya selama bertahun-tahun. Pastornya bertanya kepadanya: “Apakah kamu bersedia mengampuni rekan business yang menipumu?” Ia menjawab: “Pastor, saya berani!” Pastor mengatakan kepadanya: “Silakan mewujudkan keberanianmu itu”. Dalam perjalanan kembali ke rumah ia merasa heran dengan dirinya sebab ia berjanji kepada pastor bahwa ia berani untuk mengampuni. Ia sudah berjanji maka ia juga berusaha untuk mewujudkannya. Ini adalah awal ia merasa legah, bebas, serasa mendapat energi baru. Relasi dalam keluarga menjadi lebih baik, ia mulai berkreasi untuk memulai usaha baru lagi dengan belajar kembali dari pengalaman yang sudah berlalu. Kemampuan untuk mengampuni senantiasa membuka pintu dan jendela kebebasan kita.

Saya yakin bahwa pengalaman semacam ini bukan hanya dialami oleh Bapa ini. Banyak di antara kita mungkin menjadi korban penipuan atau mungkin kitalah yang menjadikan seorang rekan sebagai korban dan meninggalkannya bergumul sendirian. Situasi-situasi ini memanggil kita untuk merenung lebih dalam tentang semangat untuk mengampuni. Kita memiliki pilihan untuk mengampuni dalam kategori manusia atau dalam kategori Tuhan. Mengampuni kategori manusiawi berarti mengampuni sambil tetap mengingat-ingat peristiwa yang menyakitkan. Mengampuni kategori Tuhan berarti mengampuni tanpa batas, tanpa mengingat-ingat kembali masa lalu. Kita masing-masing dapat menilai diri kita selama ini. Kita mengatakan sudah mengampuni tetapi selalu menceritakan peristiwa yang menyakitkan itu atau kita mengatakan sudah mengampuni dan benar-benar legah, bebas dan tidak mengingat semua yang sudah terjadi. Pengampunan yang membebaskan adalah pengampunan Kristiani.

Saya sepakat dengan Dale Carnegie, seorang penulis Amerika pernah mengatakan bahwa setiap orang bisa mengkritik, mengecam, dan mengeluh. Tapi hanya orang berkarakter yang bisa mengontrol diri untuk memahami dan mengampuni. Saya juga mengingat Martin Luther King, seorang pejuang Amerika pernah berkata: “Kita harus mengembangkan dan mempertahankan kemampuan untuk mengampuni. Dia yang menolak untuk mengampuni menolak untuk mencintai. Ada banyak kebaikan dari jahatnya kita dan banyak kejahatan dari baiknya kita. Ketika kita menemukan hal ini, kita akan lebih mudah mengampuni musuh kita.”

Sabda Tuhan pada hari Minggu Biasa ke-XXIV tahun A ini membantu kita untuk membenahi diri dari berbagai kebiasaan buruk yang menghalangi kita untuk berjumpa dengan Tuhan dan tinggal bersama-Nya. Bacaan pertama dari Kitab Putra Sirakh mengingatkan kita akan kebiasaan harian di dalam lingkungan hidup kita di mana kita mudah memiliki dendam kesumat, amarah yang sangat mengerikan serta suka membalas dendam dan suka mencari musuh dalam hidupnya. Semua ini menjadi bagian dari pengalaman hidup setiap pribadi, dari anak-anak hingga orang dewasa. Jangan pernah berbohong dengan mengatakan tidak pernah merasa marah. Marah itu capital sin atau induk dosa. Orang marah pasti melakukan dosa lain yakni benci, dendam, iri hati dan lain sebagainya.

Kitab Putra Sirakh memberi jalan kepada kita untuk berani mengampuni: “Ampunilah kesalahan sesama, niscaya dosa-dosamu akan dihapus juga, jika engkau berdoa”. Pikiran kita tertuju pada doa yang Tuhan ajarkan: “Ampunilah kaesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami”. Kita harus berani mengampuni sesama sama seperti Tuhan mengampuni kita. Tuhan mengampuni kita tanpa batas maka kitapun harus berani mengampuni sesama tanpa batas. Banyak kali kita mudah memoho pengampunan dari Tuhan tetapi lupa diri sehingga tidak mengampuni sesama kita. Ada pribadi tertentu yang berperilaku demikian: berani memohon supaya Tuhan mengampuninya tetapi dia sendiri tidak mengampuni sesamanya. Hidup Kristiani bukanlah demikian. Mengampuni berarti membebaskan. Kita mengampuni sesama karena kita percaya bahwa Tuhan sendri membebaskan kita meskipun kita sendiri memiliki dosa yang besar.

Apa yang diungkapkan Kitab Putra Sirakh ini membantu kita untuk mengerti dengan baik bacaan Injil hari ini. Petrus datang kepada Yesus dengan sebuah pertanyaan: “Tuhan, sampai berapa kalikah aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kalikah?” (Mat 18:21). Petrus sudah punya konsep sendiri tentang mengampuni sesama. Ia mengambil angka tujuh sebagai angka biblis yang mengatakan tentang kesempurnaan. Bagi Petrus tujuh kali sudah cukup atau mencapai batas kesabaran. Mungkin bagi kebanyakan di antara kita, belum sampai satu kali saja kita sudah berpikir untuk membalas dendam dari pada mengampuninya. Tuhan Yesus menjawabnya: “Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali” (Mat 18:22). Jawaban Tuhan Yesus ini bukan menyangkut angka-angka sebagaimana dipikirkan Petrus dan kebanyakan di antara kita. Yesus mau mengataan bahwa pengampunan yang Tuhan berikan kepada manusia itu tidak ada batasnya. Orang yang memiliki dosa sebesar apa pun, kalau si pendosa memohon pengampunan pasti akan diampuni. Hal ini serupa dengan orang yang punya banyak utang yakni sepuluh ribu talenta tetapi mendapat pengampunan atas utang piutangnya. Sayang sekali orang ini tidak mampu mengampuni sesama yang berutang padanya seratus dinar.

Tuhan Yesus menggunakan angka-angka matematis: “tujuh puluh kali tujuh kali”. Rujukan pertama adalah pada hukuman yang akan diterima oleh Lamekh atas segala perbuatan dosanya. Dikatakan: “Sebab jika Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat” (Kej 4:24). Tetapi Tuhan Yesus juga mau mengingatkan kembali para murid-Nya akan angka: 70 x7 = 490, angka 490 dapat dikaitkan dengan tahun-tahun penderitaan anak-anak Israel di Mesir, di mana mereka mengalami penderitaan selama 430-440 tahun. Artinya bagi kita adalah dalam situasi menderita sebagai budak bertahun-tahun sekalipun, harus selalu ada keberanian untuk mengampuni orang yang memperbudak diri kita. Orang menyakiti kita, kita berani mengampuninya dengan sepenuh hati karena Tuhan sendiri lebih dahulu melakukannya.

Apa yang harus kita lakukan?

St. Paulus dalam bacaan kedua mengatakan “entah hidup entah mati, kita tetap milik Tuhan”. Benar, kita memang tidak hidup untuk diri kita sendiri. Tiada ada seorang yang mati untuk dirinya sendiri. Kita memang hidup bagi Tuhan, mati pun bagi Tuhan. Perkataan Paulus ini memiliki pengaruh bagi hidup kita. Kalau kita percaya bahwa hidup atau mati kita adalah milik Tuhan maka kita harus berusaha supaya menjadi serupa dengan Tuhan dalam segala hal. Salah satunya adalah kemampuan untuk mengampuni. Tuhan mengampuni orang yang melakukan dosa besar dan kecil, tanpa menghitung pengampunannya, demikian kita juga berani untuk mengampuni semua orang tanpa perhitungan apa pun. Kita harus merasa malu ketika percaya bahwa hidup dan mati kita adalah milik Tuhan, tetapi kita sendiri tidak serupa dengan Tuhan.

Pengampunan itu membebaskan kita ketika kita melakukannya dengan sepenuh hati. Kita memulai dari diri kita. Diri kita adalah musuh utama yang harus kita taklukan. Maka kita harus mampu mengampuni diri kita tanpa batas apa pun. Dengan demikian kita akan mengampuni sesama tanpa batas sebagaimana pengalaman pengampunan yang Tuhan berikan kepada kita dan kita terapkan dalam diri kita. Dalam nama Tuhan kita pasti bisa mengampuni. Mari kita mengulangi doa ini: “Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami.”

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply