Homili Hari Minggu Biasa ke XXVIIA – 2017

Hari Minggu Biasa ke-XXVIIA
Yes 5:1-7
Mzm 80: 9.12.13-14.15-16.19-20
Flp 4:6-9
Mat 21:33-43

Janganlah kamu kuatir!

Seorang sahabat mengirim sebuah ‘ayat emas’ pagi ini kepada saya, bunyinya: “Janganlah kuatir akan hidupmu: apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum dan jangan kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat 6:25). Saya membaca dan merenungkannya secara pribadi. Saya juga sempat bertanya dalam diri saya: “Apakah saya sedang kuatir dengan hidup saya?” Saya menemukan jawaban atas pertanyaan ini bahwa saya memang sedang kuatir.

Pasti anda yang membaca homili ini menertawakan saya dan berkata: “Pastor saja masih kuatir apalagi kita”. Saya harus jujur bahwa saya masih merasa kuatir. Saya merasa kuatir dalam hidup pribadi, keluarga, komunitas dan pelayanan-pelayanan saya sebagai seorang pastor dan pendidik. Selama tiga minggu terakhir saya mengalami gangguan kesehatan: sempat demam, batuk, pilek dan mengalami sakit di bagian tulang belakang. Kekuatiran saya hilang ketika secara medis dokter mengatakan bahwa tidak ada masalah kesehatan yang serius dalam tubuh saya. Selama sebulan terakhir keluarga saya juga mengalami kekuatiran saat mama saya mengalami gangguan kesehatan. Kami semua, anak, cucu, cicit belajar untuk berpasrah kepada Tuhan untuk memberikan rahmat terbaik bagi mama yang berusia 86 tahun. Ketika ia kembali ke rumah, semua kekuatiran kami perlahan hilang. Kekuatiran selalu mewarnai kehidupan kita semua. Pada hari Minggu ini saya merasa sangat dikuatkan karena perkataan Tuhan ini: “Janganlah kamu kuatir!”

Bacaan-bacaan Kitab Suci pada hari Minggu ini mengajak kita supaya menjauhkan diri dari berbagai kekuatiran duniawi yang sering menguasai hidup kita. Sadar atau tidak sadar kekuatiran selalu menguasai hidup kita. Kekuatiran yang berlebihan akan membawa kita kepada pola hidup yang serba negatif, tidak ada damai dan sukacita. Orang yang selalu kuatir dapat menggunakan berbagai cara untuk melakukan kejahatan demi menguntungkan dirinya, seperti melakukan korupsi, memecah belah persekutuan di antara sesama manusia. Pikirkanlah saat-saat kita sedang merasa kuatir, bayangkanlah wajah sesama yang sedang kuatir. Betapa saat-saat seperti itu kita juga merasa jauh dari Tuhan dan sesama.

Nabi Yesaya dalam bacaan pertama berbicara tentang kebun anggur Tuhan semesta alam yakni kaum Israel. Anggur dalam Kitab Suci melambangkan kasih yang mesra antara Tuhan dan umat-Nya. Perhatikan kata-kata ini: “Aku hendak menyanyikan lagu tentang kekasihku, lagu kekasihku tentang kebun anggurnya: kekasihmu mempunyai kebun anggur di lereng bukit yang subur.” (Yes 5:1). Apa yang dilakukan sang pemilik kebun anggur? Ia mencangkul kebun anggur, membuang batu-batunya dan menanaminya dengan pokok anggur pilihan. Untuk menjaga kebun anggurnya, ia mendirikan menara jaga, menggali lubang tempat memeras anggur dan menanti buah-buah anggur dari kebunnya. Namun satu hal yang mengecewakannya adalah buah anggurnya terasa asam.

Pemilik kebun anggur adalah seorang pribadi yang terbaik. Ia melakukan hal-hal terbaik bagi kebun anggurnya, memiliki harapan yang besar dan optimis untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari kebun anggurnya. Ia berkurban, memberi seluruh hidupnya demi mendapatkan hasil yang terbaik. Tetapi ternyata anggur yang dihasilkan rasanya asam. Hasil ini sungguh bertolak belakang dengan hasrat dari sang pemiliknya. Sang pemilik kebun anggur merasa kecewa. Sebab itu ia menebang pagar durinya, melanda temboknya, menumbuhkan semak duri, ranting pohon anggur tidak disiangi, tidak ada hujan bagi pohon anggur. Kebun anggur yang tadinya sangat diperhatikan, berubah menjadi kebun anggur yang liar.

Relasi pemilik kebun anggur dan pohon-pohon anggur menggambarkan relasi intim antara Tuhan dan manusia. Tuhan selalu memberi yang terbaik bagi manusia namun manusia selalu diliputi oleh kekuatiran duniawi sehingga ia menjauh dari Tuhan. Ia sama seperti kebun anggur yang menghasilkan buah anggur yang rasanya asam. Semua rencana Tuhan yang terbaik ternyata tidak diterima oleh manusia. Maka kegagalan akan menghiasi kehidupan manusia-manusia yang kuatir dan menjauhkan diri dari Tuhan.

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mempertegas dan memperjelas relasi antara Tuhan dan manusia. Ia menyampaikan perumpamaan tentang pemilik kebun anggur yang menyewakan kebun anggurnya kepada para penggarap. Perumpamaan ini dialamatkan kepada para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi. Sang pemilik kebun anggur sebelum menyewakan kebun anggurnya kepada para penggarap, ia terlebih dahulu menyiapkannya: membuka kebun anggur, menanam pagar di sekelilingnya, menggali lubang tempat memeras buah anggur dan membangun menara jaga. Setelah semuanya siap, ia lalu menyewakan kebun anggurnya ini kepada para penggarap.

Hari panen anggur pun tiba. Sang pemilik kebun anggur mengirim para hambanya untuk mengambil bagian yang menjadi haknya. Namun demikian para penggarap itu menunjukkan kekuatirannya yang berlebihan. Mereka mengungkapkanya dengan melakukan berbagai tindakan kejahatan seperti menangkap, memukuli, melempari dengan batu dan membunuh. Bahkan ketika sang pemilik kebun anggur mengutus anaknya sendiri, ia pun dibunuh karena dianggap sebagai ahli waris. Mereka berpikir bahwa dengan membunuhnya, kebun anggur akan menjadi milik mereka. Pada akhirnya sang pemilik kebun anggur pun murka, dan ia memberikan kebun anggurnya kepada para penggarap lain yang akan mengolahnya dan memberikan hasil kepadanya tepat pada waktunya.

Perumpamaan yang diberikan Yesus ini sebenarnya berbicara tentang relasi antara Tuhan Allah dengan bangsa Israel. Tuhan mengasihi mereka namun balasan bangsa Israel adalah menolak para hamba yang diutus Allah untuk mengatakan kebenaran. Mereka adalah para nabi yang mengalami banyak penderitaan dan kemalangan, banyak di antara mereka yang dibunuh karena memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Yesus Kristus Anak Allah saja dibunuh karena dianggap ahli waris. Dia adalah batu yang dibuang oleh para tukang bangunan dan kini menjadi batu penjuru. Dia akan menyelamatkan orang-orang yang terakhir yang hidupnya benar-benar layak di hadirat Tuhan, bukan kepada mereka yang merasa diri sebagai status quo keselamatan.

Apa yang membuat para penggarap berlaku jahat terhadap sang pemilik kebun anggur? Apa yang membuat bangsa Israel berlaku jahat terhadap para nabi bahkan membunuh Yesus Kristus Putera Allah yang tunggal? Semua ini karena ada rasa kuatir yang berlebihan. Rasa kuatir yang berlebihan dari para penggarap kebun anggur diungkapkan dalam bentuk dosa kerakusan. Mereka berniat merampas kebun anggur dari sang pemilik. Mereka kuatir akan apa yang mereka butuhkan maka tindakan kejahatan pun mereka lakukan untuk memuaskan hidup mereka.

St. Paulus dalam bacaan kedua mengingatkan kita supaya jangan kuatir tentang apapun juga. Kita perlu terbuka kepada Allah dengan menyatakan segala keinginan kepada-Nya dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Hanya dengan demikian damai sejahtera dari Allah yang melampaui segala akal akan memelihara hati dan pikiran dalam Kristus Yesus. Kita semua masih memiliki seribu satu kekuatiran. Para orang tua merasa kuatir dengan anak-anaknya, terutama tentang masa depan mereka. Kalau putra-putri belum menikah maka rasa kuatir menguasai hidup mereka. Kalau putra dan putri sudah menikan dan belum memiliki anak maka muncul rasa kuatir yang mendalam. Kalau usaha yang sedang dijalani sedang lesu maka ada rasa kuatir tersendiri. St. Paulus mengingatkan kita supaya jangan merasa kuatir tetapi membuka diri kepada Tuhan dalam doa dan ucapan syukur. Damai sejahtera akan menjadi milik kita semua.

St. Paulus menghendaki supaya kita mengubah rasa kuatir yang berlebihan dengan hidup yang lebih positif di hadapan Tuhan dan sesama. Kita menghilangkan rasa kuatir dengan mengusahakan semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua kebajikan dan patut dipuji. Paulus tidak hanya berbicara tetapi memberi teladan baik kepada jemaat.

Kita bersyukur kepada Tuhan, sebab Ia mengingatkan kita untuk hidup sebagai anak-anak-Nya. Ia selalu siap memberi kepada kita apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita sukai. Segala kekuatiran hanya akan menghalangi kita untuk bersatu dengan-Nya. Segala kekuatiran yang berlebihan hanya menjerumuskan kita dalam dosa kerakusan, merampas hak hidup orang dan berlaku tidak adil kepada sesama manusia. Saya mengakhiri Homili ini dengan mengutip perkataan St. Petrus: “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada Tuhan, sebab Ia yang memelihara kamu.” (1Ptr 5:7).

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply