Homili 23 Oktober 2017

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXIX
Rm 4:20-25
Luk 1:69-75
Luk 12:13-21

Waspadalah terhadap ketamakan!

Ada seorang sahabat yang membagi pengalaman kebersamaannya dengan sesama kaum berjubah. Ia mengaku sangat kagum dengan kehidupan para imam, biarawan dan biarawati, meskipun ia sendiri tidak bergabung di dalam suatu lembaga hidup bakti tertentu. Ia mengagumi sosok imam, biarawan dan biarawati tertentu yang hidupnya miskin, murni dan taat kepada kehendak Allah. Baginya, sosok-sosok ini sebelum bergabung dalam tarekat hidup bakti dan sekarang sudah bertahun-tahun di dalamnya, tetaplah menampakkan wajah sederhana, bersahaja dalam kasih dan penuh ketaatan. Ia juga merasa sedih ketika melihat sosok-sosok tertentu yang hidupnya berubah seratus persen di dalam biara. Bagaikan kacang lupa kulit, mereka menjadi sosok OKB atau orang kaya baru di dalam biara padahal berasal dari keluarga yang miskin. Orang kaya baru di dalam biara ini memiliki hidup yang unik yakni hidupnya tidak sederhana lagi, angkuh sehingga sulit untuk mengasihi dan mentaati. Kaul-kaul kebiaraan yakni miskin, murni dan taat tinggal nama dan kenangan saja. Sosok seperti ini bukan melayani Tuhan dan sesama, tetapi melayani keluarganya sendiri.

Saya mendengar sharing pengalaman ini dengan suasana bathin yang tidak enak. Semua yang dia katakan memang bukan hal yang baru, sebab semuanya benar-benar nyata di depan mata banyak orang. Tidak ada yang dapat disembunyikan, ketika orang mengatakan biara ini dan biara itu kaya raya. Ini memang salah kapra tetapi karena anggota-anggota tertentu hidupnya demikian maka anggapan orang ini dibenarkan begitu saja. Para pendiri tarekat hidup bakti menanamkan kharisma di dalam Gereja selaras dengan hidup Yesus Kristus sendiri yang miskin, murni dan taat. Para anggota hidup bakti berubah total, tidak serupa lagi dengan Yesus.

Bacaan Injil hari ini berbicara tentang bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap harta kekayaan yang dimiliki secara pribadi dan secara bersama-sama dalam keluarga dan komunitas. Dikisahkan bahwa pada waktu itu Yesus sedang mengajar banyak orang. Tiba-tiba ada seorang, tanpa nama, meminta Yesus untuk menyampaikan kepada saudaranya supaya berbagi warisan dengan adil. Tentu saja Yesus kaget dengan permintaan ini. Sebab itu Ia mengatakan kepadanya bahwa diri-Nya bukanlah hakim atau penengah. Terhadap sikap hidup semacam ini, Yesus berkata: “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan! Sebab walaupun seseorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari kekayaannya itu” (Luk 12:15). Tuhan Yesus mengetahui hidup manusia, maka Ia pernah mengatakan bahwa di mana hartamu berada, di situ hatimu juga berada (Mat 6:21). Banyak orang yang hatinya melekat pada hartanya. Mereka adalah orang kaya baru yang perilakunya tamak, serakah, avarice. Perilaku semacam ini menjauhkannya dari Tuhan.

Untuk membuka wawasan para pendengar-Nya, Yesus menceritakan kisah tentang seorang kaya yang bodoh. Orang kaya tanpa nama ini memiliki tanah yang luas dan berlimpah-limpah hasilnya. Ia duduk dan merenung sambil bertanya dalam hatinya di mana ia dapat meletakkan hasil-hasil panenan dari kebunnya. Ia mendapat sebuah insight yang praktis yakni merombak lumbung-lumbung yang kecil menjadi lebih besar. Semua gandum dan hasil-hasil pertanian lainnya dimasukkan ke dalam lumbung-lumbung baru yang besar. Usai melihat lumbung-lumbungnya yang besar itu penuh dengan hasil-hasil pertaniannya, ia duduk dan berkata dalam hatinya begini: “Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya. Beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!” (Luk 12:19).

Orang kaya yang bodoh ini berpikir bahwa dunia adalah miliknya. Padahal sikap yang sedang dibangunnya ini adalah sikap tamak dan serakah yang akan menghancurkannya. Ia sangat terikat pada harta kekayaan dan lupa pada Tuhan sang Pencipta. Sebab itu Tuhan berkata: “Hai orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu. Bagi siapakah nanti apa yang telah kau sediakan itu?” (Luk 12: 20). Bagi Yesus, orang ini memang kaya di hadapan manusia karena ia menimbun harta kekayaan, tetapi ia sendiri tidak kaya di hadapan Allah.

Harta kekayaan itu menantang hidup semua orang di hadapan Tuhan dan sesama. Apakah orang berkemauan untuk bersikap lepas bebas atau tetap melekat pada harta kekayaan. Saya mengingat Filsuf dan Psikolog Jerman, Eric Fromm. Ia pernah berkata: “Keserakahan adalah jurang maut yang menguras orang dalam upaya tanpa henti untuk memenuhi kebutuhan tanpa pernah mencapai kepuasan.” Orang yang serakah dan tamak akan berusaha terus menerus menjadi kaya raya dengan cara-cara yang tidak halal, namun ia tetap tidak kaya di hadapan Allah. Hanya karena harta kekayaan, ia dapat mengorbankan orang lain. Hanya karena gila harta kekayaan, ia tidak malu-malu melakukan korupsi. Ia telah mengambil apa yang menjadi hak orang lain, bukan haknya sendiri.

Apa yang harus kita lakukan supaya memiliki sikap waspada terhadap segala ketamakan?

Kita butuh iman! Kalau kita benar-benar beriman maka tidak ada suatu kekuatiran apa pun dalam hidup kita. Tuhan Yesus berkata: “Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting dari pada makanan dan tubuh itu lebih penting dari pada pakaian?” (Mat 6:25). Sekiranya semua orang benar-benar beriman mungkin dunia kita ini bebas dari keserakahan dan ketamakan.

St. Paulus dalam bacaan pertama mengangkat kembali sosok Abraham. Abraham memiliki iman sehingga memuliakan Allah dalam segala hal. Ia percaya pada semua janji Tuhan, bahwa Tuhan berkuasa untuk menepati janji-Nya. Di pihak Tuhan, iman Abraham ini diperhitungkan sebagai sebuah kebenaran. Kita saat ini memandang sosok Yesus Kristus. Dia menyerahkan diri-Nya untuk menyelamatkan kita semua. Dia telah wafat bagi kita. Roh Kudus membangkitkan-Nya sehingga maut benar-benar dikalahkan. Ketika kita percaya pada Yesus yang bangkit, kita juga dibenarkan di hadapan Allah. Iman menyelamatkan kita. Kita percaya makan kita dibenarkan oleh Tuhan.

Pada hari ini kita menyatakan syukur kita kepada Tuhan sebab Ia memberikan segala sesuatu yang mencukupkan hidup kita. Mari kita bersikap lepas bebas, tidak melekat pada harta kekayaan. Iman meneguhkan kita karena Tuhan adalah satu-satunya kekayaan abadi kita. Sebab itu waspadalah terhadap segala ketamakan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply