Homili 27 November 2017

Hari Senin, Pekan Biasa ke-XXXIV
Dan 1:1-6.8-20
MT (Dan) 3:52.53.54.55.56
Luk 21:1-4

Kupersembahkan hidupku

Saya mengingat sebuah lagu rohani yang pernah dipopulerkan oleh Don Moen, judul lagunya dalam bahasa Indonesia adalah “Kupersembahkan hidupku”. Ada kata-kata dalam lagu yang sangat inspiratif: “Kupersembahkan hidupku, kepada-Mu Tuhan, untuk kemuliaan-Mu. Kuberikan hidup ini, sebagai persembahan yang berkenan pada-Mu. Ku berikan hidupku”. Lagu sederhana ini mengingatkan dan mendorong kita supaya merasa selalu berada di hadirat Tuhan. Kita mempersembahkan hidup kepada Tuhan demi kemuliaan nama-Nya. Banyak kali kita lupa bahwa hidup kita adalah sebuah persembahan yang berarti dan terus menerus bagi Tuhan. Kita mempersembahakan seluruh hidup kepada Tuhan karena Dialah yang menciptakan dan memiliki hidup kita. Persembahan diri bukan hanya dikhususkan bagi para imam, biarawan dan biarawati. Semua orang yang dibaptis memiliki panggilan luhur untuk mempersembahkan diri-Nya kepada Tuhan sampai tuntas.

Bacaan-bacaan liturgi pada hari ini mengingatkan kita untuk senantiasa mempersembahkan diri kepada Tuhan, sebagai pemilik kehidupan kita. Dalam Bacaan Injil, kita mendengar bahwa Tuhan Yesus sedang berada di Bait Allah. Ia duduk dan memperhatikan orang-orang yang masuk ke dalamnya, berdoa dan mempersembahkan kurban. Ada dua kelompok orang yang masuk di dalam Bait Allah. Kelompok pertama adalah orang-orang kaya yang datang berdoa dan memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Orang-orang ini memberi persembahan dari kelimpahan hidupnya. Ada yang memberi dengan sukarela, ada juga yang memberi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Kelompok kedua adalah orang-orang miskin yang diwakili oleh seorang janda miskin. Ia datang, berdoa dan memasukan persembahannya berupa dua peser ke dalam peti persembahan. Ia memberi dari kekurangannya, bahkan memberi seluruh nafkahnya.

Sesungguhnya ini adalah kisah yang sangat inspiratif dalam hidup sebagai Gereja. Kedua kelompok ini selalu ada. Ada orang yang berkecukupan memberi dengan sukarela tetapi ada yang memberi dengan perhitungan-perhitungan manusiawi. Suasana bathin dan motivasi untuk memberi persembahan atau berbagi sangat tergantung pada diri orang tersebut. Namun kita harus tetap mengingat bahwa Tuhan Allah saja murah hati kepada semua orang maka kita juga belajar untuk bermurah hati kepada semua orang lain. Banyak kali orang memberi persembahan, ada yang sukarela, ada juga yang terpaksa. Mungkin mereka lupa akan perkataan Yesus ini: “Tetapi ketika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu” (Mat 6:3). Berbagilah dengan sukacita dalam hidup.

Janda miskin dalam kisah injil ini menginspirasikan kita untuk memberi seluruh hidup kita tanpa perhitungan apa pun karena kita beriman. Di dalam bait Allah terdapat kotak-kota persembahan di mana setiap orang yang berdoa menunjukkan sikap berbaginya kepada sesama. Janda miskin ini memiliki dua peser yang cukup untuk hidupnya. Ia memasukkannya ke dalam kota persembahan. Janda ini percaya bahwa ia memberi segala yang dimilikinya, dengan demikian ia juga akan menerima pertolongan dari sesama yang lain. Persembahan yang diserahkan di dalam Bait Allah nantinya akan digunakan juga bagi orang-orang miskin termasuk si janda itu sendiri. Maka satu hal penting di sini adalah bagaimana kita bertumbuh sebagai pribadi yang murah hati kepada semua orang dan dengan demikian kemurahan hati itu akan kembali lagi kepada kita sendiri.

Mempersembahkan persembahan kepada Tuhan bukan hanya mempersembahkan materi tetapi kita juga mempersembahkan diri kita seutuhnya kepada-Nya. Dalam bacaan pertama kita mendengar kisah hidup Daniel, Hananya, Misael dan Azarya. Mereka membaktikan dirinya kepada Tuhan dengan tidak mencemarkan tubuh mereka. Tuhan sendiri memberikan mereka anugerah kecerdasan yang melampaui semua orang di dalam Kerajaan itu. Mempersembahkan diri kepada Tuhan secara utuh maka Tuhan akan melakukan segala sesuatu dalam hidup kita.

Beberapa hari yang lalu, Paus Fransiskus memberi sebuah homili yang luar biasa tentang bagaimana menguduskan Gereja. Dicontohkannya dengan Tuhan Yesus dalam Injil yang menyucikan Bait Allah dan Yudas Makebeus dan saudara-saudaranya yang menguduskan Bait Allah pada masanya. Kita yakin bahwa Bait Allah adalah tempat Roh Kudus bersemayam (shekinah). Apakah kita percaya bahwa Rumah Tuhan adalah rumah tempat Tuhan bersemayam dan kudus? Kalau demikian bagaimana kita berusaha untuk menguduskan Bait Allah atau Rumah Tuhan?

Berkaitan dengan usaha untuk menyucikan Bait Allah ini, Bapa Suci Fransiskus menyampaikan tiga hal penting untuk menguduskan Bait Allah yakni sikap mawas diri atau kewaspadaan, pelayanan dan kecerobohan. Secara khusus tentang hal kecerobohan, Paus Fransiskus berkata: “Berapa kali kita merasa sedih ketika memasuki sebuah gedung gereja, pastoran di paroki atau rumah uskup dan lainnya. Kita seakan tidak mengerti apakah sedang berada di rumah Tuhan atau di supermarket. Di tempat-tempat ini kita menemukan bisnis tertentu, termasuk di dalamnya daftar pembiayaan untuk pelayanan sakramen-sakramen. Tidak ada sesuatupun yang gratis di dalam Gereja! Padahal menurut Paus Fransiskus, Tuhan Allah sudah menyelamatkan kita secara gratis sampai tuntas, ia tidak menuntut kita untuk membayarnya. Berkaitan dengan dana, apakah semua dana ini dimanfaatkan untuk perawatan gedung gereja, kehidupan pastor dan lainnya. Paus dengan tegas berkata: Anda memberi dengan bebas dan Allah akan menyempurnakannya. Allah akan menyiapkan segala sesuatu. Maka gereja hendaklah menjadi gereja yang siap melayani, gereja yang bebas dari daftar harga apapun”

Perkataan Paus tentang persembahan atau pemberian ini layak untuk kita renungkan bersama sebagai satu Gereja. Banyak keluhan dari umat bahwa ada pastor tertentu yang pasang tarif dalam pelayanannya. Pastor parokinya memilih umat di lingkungan yang kaya dan mengabaikan lingkungan yang miskin. Pastornya mata duitan! Tentu saja keluhan ini lumrah dan memalukan. Perkataan Paus Fransiskus ini mengoreksi seluruh Gereja. Kesalahan bukan hanya para pastornya dalam melakukan pelayanannya, tetapi umat juga memanjakan pastornya dalam hal makan, minum dan lain sebagainya. Semua ini tentu bertentangan dengan semangat pemberian atau persembahan diri kepada Tuhan.

PJSDB

Leave a Reply

Leave a Reply