Homili 12 Juli 2019

Hari Jumad, Pekan Biasa ke-XIV
Kej. 46:1-7,28-30
Mzm. 37:3-4,18-19,27-28,39-40
Mat. 10:16-23

Sebuah Perjumpaan yang bermakna

Bagaimana rasanya ketika anda berjumpa dengan kawan lama setelah puluhan tahun berpisah? Saya yakin anda akan memanggil namanya dengan suara histeris dan mengagetkan orang lain, saling berpelukan seperti teletube dan berciuman, mengucapkan kata hello dan apa khabar, tertawa, menangis karena terharu dan aneka ekspresi lainnya. Ini memang tanda bahwa kita masih manusia sebagai makhluk sosial. Hanya orang-orang tertentu yang akan memilih diam ketika berjumpa dengan sahabat lamanya. Perjumpaan-perjumpaan seperti ini memang sangat bermakna dan menakjubkan dalam hidup manusia.

Pada hari ini kita berjumpa dengan sosok Yusuf dan ayahnya Yakub beserta keluarga besarnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa rekonsiliasi antara Yusuf dan saudara-saudaranya sudah mulai berbuah. Yusuf berani melupakan kesalahan dan kejahatan saudara-saudaranya dan dengan bijak mengatakan: “Tetapi sekarang, janganlah bersusah hati dan janganlah menyesali diri, karena kamu menjual aku ke sini, sebab untuk memelihara kehidupanlah Allah menyuruh aku mendahului kamu.” (Kej 45:5). Ini adalah tanda kebesaran hati Yusuf yang pernah tersakiti karena kecemburuan saudara-saudaranya. Yusuf adalah pengampun sejati yang patut kita ikuti teladannya dalam hidup kita. Dari Yusuf kita belajar seni mengampuni yakni tidak mengingat-ingat kesalahan dan kejahatan yang sudah terjadi dan menimpa diri kita dari saudara-saudara kandung. Mengapa harus membenci saudara kandung yang bersalah kepada kita? Mengapa begitu sulit untuk mengampuni mereka padahal kesalahannya hanya sepele saja?

Yusuf meminta ayahandanya Yakub dan keluarga besar untuk datang ke Mesir. Yakub menyanggupinya, makai a berangkat bersama seluruh keluarga besar dan segala harta miliknya. Setibanya di Bersyeba, ia mempersembahkan kurban kepada Allah Ishak, ayahnya. Tuhan memandang gerakan bathin Yakub dan kurban sembelihannya maka pada malam hari Tuhan ia mendapat petuah dari Tuhan seperti ini: “Yakub, Yakub! Akulah Allah, Allah ayahmu, janganlah takut pergi ke Mesir, sebab Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar di sana. Aku sendiri akan menyertai engkau pergi ke Mesir dan tentulah Aku juga akan membawa engkau kembali; dan tangan Yusuflah yang akan mengatupkan kelopak matamu nanti.” (Kej 46:2-4). Yakub mendengar dan menjawab ‘Ya, Tuhan’. Jawaban Yakub ini menjadi wujud penegasan relasi mendalam antara Yakub dengan Tuhan. Dan Tuhan mengikat perjanjian dengannya supaya hidupnya penuh dengan berkat sampai ajal menjemputnya.

Perjalanan ke Mesir berlanjut. Yakub menyuruh Yehuda untuk menemui Yusuf dan memberi khabar kedatangan ayah beserta keluarga besar ke Mesir dan sudah tiba di Gosyen. Yusuf mendengar berita dari Yehuda dan pergi menemui Yakub ayahnya di Gosyen. Ini merupakan sebuah perjumpaan yang bermakna dan menakjubkan. Seorang anak yang dianggap sudah meninggal ternyata masih hidup dan berjumpa dengan ayah dan keluarga besarnya. Yusuf memeluk leher ayahnya, menangis pada bahu ayahnya. Ini adalah rekonsiliasi yang super lengkap. Yakub merasa bahwa ini adalah puncak segalanya maka ia pun berkata kepada Yusuf: “Sekarang bolehlah aku mati, setelah aku melihat mukamu dan mengetahui bahwa engkau masih hidup.” (Kej 46:30).

Pengalaman Yusuf bersama Yakub ayahnya kiranya menjadi pengalaman Yesus bersama Simeon dalam dunia Perjanjian Baru. Ketika Simeon melihat Yesus, Ia juga berkata: “Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi penyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.” (Luk 2:29-32). Yusuf dan Yesus membawa terang bagi orang lain yang meringkuk dalam kegelapan. Perubahan radikal pun terjadi di dalam diri keluarga Yakub dan kita yang mengikuti Yesus Kristus saat ini.

Perjumpaan yang bermakna dapat terjadi juga dalam pengalaman penderitaan dan kemalangan. Para Murid Yesus mengalami perutusan sekaligus warning dari Yesus bagi mereka. Mereka mengalami perutusan sama seperti domba ke tengah serigala yang buas. Sebab itu murid yang setia dan bijaksana selalu waspada dan mawas diri dalam hidupnya. Sikap mereka adalah cerdik seperti ular dan tulus seperti ular. Ular itu cerdik karena pernah menggoda Adam dan Hawa sehingga mereka jatuh ke dalam dosa. Ular dikatakan cerdik karena memiliki daya untuk mendeteksi musuh-musuh di sekitarnya. Manusia yang cerdik akan menguasai dirinya dan mawas diri terhadap situasi apapun dalam hidupnya. Di lain pihak ia tetaplah tulus dalam hidup bersama.

Untuk dapat menjadi bagian dari Yesus, orang mesti memasuki sekolahnya Yesus yakni sekolah penderitaan. Sejarah gereja mencatat bahwa banyak martir yang menumpahkan darahnya karena mempertahankan imannya kepada Yesus Kristus. Gereja menjadi subur karena ada darah para martir yang mengalir di atas bumi ini. Semua ini sudah diingatkan oleh Yesus dalam perutusan para murid-Nya. Satu kata yang menguatkan para murid adalah ‘Janganlah kuatir’ (Mat 10:19). Di tempat lain dari Injil menurut Matius, Tuhan Yesus bersabda: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:10-12). Kemartiran adalah perjumpaan yang bermakna dan menakjubkan dalam diri seorang yang mengikuti Kristus.

Pengalaman akan Allah selalu ditandai dengan perjumpaan yang bermakna dan menakjubkan. Ada rasa heran yang mendalam dan sulit untuk dilukiskan dalam Bahasa manusia. Hanya cinta yang dapat menjelaskan pengalaman akan Allah sebab dia adalah cinta sejati. Terima kasih Tuhan atas perjumpaan harian kita dalam doa dan ekaristi yang kupersembahkan kepada-Mu.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply