Homili 13 Juli 2019

Hari Sabtu, Pekan Biasa ke-XIV
Kej. 49:29-32; 50:15-26a
Mzm. 105:1-2,3-4,6-7
Mat. 10:24-33

Kebaikan hati itu numero uno

Ada sebuah penglihatan yang menarik perhatianku dalam penerbangan Jakarta-Denpasar Bali. Ada seorang penumpang yang berbadan ‘sangat’ kurus mengenakan sebuah kaos bertuliskan kata-kata ini: “Kebaikan hati itu numero uno”. Saya melihatanya, menunduk dan tersenyum sendiri. Saya berkata dalam hati bahwa ada kemungkinan orang ini selalu menomorsatukan kebaikan hati. Kebaikan hati itu numero uno berarti kebaikan hati itu nomor satu. Kata-kata yang sederhana tetapi memiliki power yang transformatif. Ada daya untuk mengubah cara pandang dan sikap hidup kita kepada Tuhan dan sesama. Sesungguhnya kebaikan hati itu akan membedakan kita dengan makhluk yang lain karena kita berakal budi. Kebaikan hati itu numero uno karena menunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh manusia.

Sebagaimana kita ketahui bahwa bacaan-bacaan Liturgi kita dari Hari Senin Pekan Biasa ke-V hingga hari Sabtu Pekan Biasa ke-XIV ini, kita membaca bacaaan pertama dari Kitab Kejadian. Kita mengawalinya dari kisah penciptaan di mana Tuhan menciptakan segalanya baik adanya dan mengakhiri Kitab Kejadian ini dengan kisah rekonsiliasi berbasis kebaikan hati dalam diri Yusuf anak Yakub. Kebaikan hati benar-benar menjadi numero uno sebab ada transformasi radikal dalam diri saudara-saudara Yusuf yang jahat di hadapan Yusuf yang baik hati. Saya merasa yakin bahwa proses transformasi ini terjadi karena rencana dan kehendak Tuhan Allah, sumber kebaikan hati yang sempurna.

Kisah dimulai dengan warta kematian Yakub alias Israel. Yakub merasa gembira karena dapat berkumpul kembali dengan anak-anaknya. Yusuf yang dianggap sudah meninggal dunia, ternyata masih hidup dana mat menyenangkan hati Yakub. Ketika ia memandang Yusuf, ia langsung mewartakan saat ajalnya. Ia serasa melihat terang Tuhan yang terpancar dari kebaikan hati Yusuf. Sebab itu Yakub meminta kepada anak-anaknya untuk menguburkannya di sisi nenenk moyangnya di dalam gua di ladang Efron, orang Het. Di sana ia dibaringkan bersama Abraham dan Sara, Ishak dan Ribka dan Lea yang sudah lebih dahulu dikuburnya. Yakub mengalami kedamaian abadi karena kebaikan hati dari Tuhan dan keluarganya.

Masalah baru muncul pasca meninggalnya Yakub. Rupa-rupanya saudara-saudara Yusuf belum mengalami transformasi hidup yang sempurna. Saudara-saudara Yusuf masih berpikir bahwa setelah Yakub meninggal maka Yusuf akan membalas dendam dengan berbuat jahat sebagaimana telah mereka lakukan kepadanya. Inilah pikiran yang diungkapkan mereka: “Boleh jadi Yusuf akan mendendam kita dan membalaskan sepenuhnya kepada kita segala kejahatan yang telah kita lakukan kepadanya.” (Kej 50:15). Untuk itu mereka berbicara kepada Yusuf dengan mengulangi perkataan Yakub: “Ampunilah kiranya kesalahan saudara-saudaramu dan dosa mereka, sebab mereka telah berbuat jahat kepadamu. Maka sekarang, ampunilah kiranya kesalahan yang dibuat hamba-hamba Allah ayahmu.” (Kej 50:17). Mereka bahkan datang sendiri-sendiri kepada Yusuf dan memohon supaya menjadi budak daripada menderita di hadapannya. Sikap saudara-saudara Yusuf ini membuatnya menangis di hadapan mereka. Yusuf berusaha melupakan kesalahan saudara-saudaranya dengan mengutamakan kebaikan hati namun saudara-saudaranya masih mengingat-ingat kesalahan mereka di masa lalu. Betapa rapuhnya hidup orang yang tidak berkemauan untuk berubah.

Reaksi Yusuf adalah tetap berbuat baik kepada mereka. Ia menangis dan menghibur mereka: “Janganlah takut, sebab aku ini bukan pengganti Allah. Memang kamu telah membuat rencana jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mengubahnya menajdi kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar. Jadi janganlah takut, aku akan menanggung makanmu dan makan anak-anakmu juga.” (Kej 50: 19-21). Yusuf tetap hidup bersama mereka dalam kebaikan hati. Ia meninggal di hadapan mereka dalam usia serratus sepuluh tahun. Pesannya kepada saudara-saudaranya: “Tidak lama lagi aku akan mati; tentu Allah akan memperhatikan kamu dan membawa kamu keluar dari negeri ini, ke negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak dan Yakub.” (Kej 50:24). Di samping itu ia meminta mereka untuk bersumpah, katanya: “Tentu Allah akan memperhatikan kamu; pada waktu itu kamu harus membawa tulang-tulangku dari sini.” (Kej 50:25). Yusuf meninggal dalam damai di hadapan saudara-saudaranya.

Kisah hidup Yusuf dan saudara-saudaranya dalam Kitab Kejadian adalah kisah hidup kita. Banyak keluarga atau mungkin kita sendiri juga mengalami kesulitan-kesulitan tertentu dengan saudara dan saudari kandung. Kita boleh berasal dari darah yang sama, ayah dan ibu yang sama tetapi karater selalu membedakan kita. Suasana dapat saja berubah ketika orang tua yang melahirkan dan membesarkan kita sudah meninggal dunia. Ada anak yang suka merebut harta warisan orang tua, ada yang suka menunjukkan kasih dan kebaikan hati serta tanggung jawabnya kepada saudara-saudari di dalam keluarga. Kita membutuhkan sosok Yusuf dalam keluarga kita masing-masing, yakni orang yang selalu menunjukkan kebaikan hati sebagai hal yang pertama dan utama dalam hidupnya.

Apa yang harus kita lakukan?

Tuhan Yesus di dalam bacaan Injil memberikan satu jalan kepada kita yakni komitmen pribadi kepada-Nya. Kita melakukan pekerjaan-pekerjaan Kristus yang dipercayakan kepada kita misalnya berjalan bersama-Nya untuk mewartakan Khabar Sukacita yang satu dan sama. Mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat kita. Menjauhkan segala rasa takut yang selalu menghantui kita. Ini adalah sikap pemuridan sejati yang dapat kita hayati sepanjang hari ini. Mari kita kembali memandang Yusuf dan Yesus sebagai inspirator hidup kita sepanjang hari ini.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply