Homili 18 Juli 2019

Hari Kamis, Pekan Biasa ke-XV
Kel. 3:13-20
Mzm. 105:1,5,8-9,24-25,26-27
Mat. 11:28-30

Meringankan beban sesama

Adalah Mahatma Gandhi. Politikus berkebangsaan India ini pernah berkata: “Kebencian selalu membunuh, cinta tidak pernah mati, itulah yang membedakan antara keduanya. Apa yang diperoleh cinta, akan selalu abadi. Apa yang diperoleh benci, akan menjadi beban hidup karena ia akan melahirkan banyak kebencian baru.” Perkataan Gandhi ini mencerminkan pengalamannya yang aktual semasa hidupnya. Suasana sosial dan politik benar-benar mengubah hidupnya, dan hidupnya sendiri mengubah dunia. Kebencian memang memiliki daya membunuh. Ini nantinya menjadi beban karena kebencian-kebencian baru akan muncul dengan sendirinya. Seharusnya cintalah yang memenangkan segala-galanya karena cinta tidak akan mati. Saya yakin bahwa pengalaman pribadi Gandhi ini juga merupakan bagian dari pengalaman harian kita. Cinta dan benci adalah bagian dari dua kutub kehidupan kita. Tidak seorang pun yang luput dari rasa cinta dan benci.

Kita mendengar kelanjutan tentang panggilan dan perutusan Musa dalam kitab Suci Perjanjian Lama. Musa keheranan mendengar perutusan yang disampaikan oleh suara dari semak duri yang bernyala itu. Musa sudah meraya yakin maka ia menyapanya dengan sapaan ‘Allah’ atau Yahwe. Ia berkata kepada Yahwe: “Apabila aku mendapatkan orang Israel dan berkata kepada mereka: Allah nenek moyangmu telah mengutus aku kepadamu, dan mereka bertanya kepadaku: bagaimana tentang nama-Nya? Apakah yang harus kujawab kepada mereka?” (Kel 3:13). Tuhan Allah memahami suasana bathin manusia khususnya Musa saat itu. Sebab itu Ia meyakinkan Musa untuk memberikan nama-Nya yakni “AKU ADALAH AKU”. Nama yang sama mengutus Musa untuk membebaskan bangsa Israel dari perbudakan di Mesir. Namun supaya menjadi lebih jelas lagi, Tuhan Allah mewahyukan diri-Nya kepada Musa: “Tuhan, Allah nenek moyangmu, Allah Abraham, Ishak dan Yakub, telah menampakkan diri kepadaku, serta berfirman: Aku sudah mengindahkan kamu, juga apa yang dilakukan kepadamu di Mesir.” (Kel 3:16).

Tuhan Allah menunjukkan kasih dan kebaikan-Nya kepada bangsa Israel yang sedang mengalami penindasan di Mesir. Ia memiliki rencana penyelamatan, yakni menuntun bangsa Israel untuk keluar dari tanah Mesir menuju ke tanah Kanaan yang kaya raya, berlimpah-limpah susu dan madunya. Tuhan mengingatkan Musa bahwa untuk melepaskan beban bangsa Israel itu tidaklah mudah karena Firaun akan berkeras hati. Namun tangan Tuhan yang perkasa akan melakukan perbuatan-perbuatan ajaib dan membiarkan bangsa Israel pergi dari Mesir. Tuhan selama-lamanya akan tetap mengingat perjanjian-Nya (Mzm 105:8a).

Tuhan Yesus dalam bacaan Injil mengajak orang-orang yang sedang mengarahkan hati dan pikiran kepada-Nya. Mereka yang letih lesu dan berbeban berat. Ia berjanji untuk memberikan kelegaan dan mengajak manusia untuk berjalan berdampingan satu sama lain. Inilah perkataan Yesus setelah menyatakan rasa syukur-Nya kepada Bapa: “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.” (Mat 11:28-30).

Apa yang Tuhan hendak katakan kepada kita pada hari ini?

Masing-masing kita memiliki beban kehidupan.Tidak ada seorang pun yang bebas dari beban dan masalah kehidupan. Pengalaman bangsa Israel sebagai budak di Mesir adalah pengalaman manusiawi kita setiap hari. Pikirkanlah betapa kerasnya para pekerja di rumah, di pabrik dan tempat kerja lainnya. Mereka bekerja tetapi tidak dibayar oleh majikan, mereka bekerja lembur tetapi tidak dibayar, mereka mengalami kekerasan fisik dan verbal. Maka saya dapat mengatakan bahwa masih ada Firaun yang menindas sesama manusia zaman ini. Namun hanya ada satu yang pasti yakni Tuhan kita Mahabesar. Ia akan melepaskan kita semua dari berbagai persoalan dan beban hidup. Firaun-firaun akan diusirnya pergi dengan tangan hampa.

Tuhan senantiasa mengajak kita untuk berjalan bersama-Nya. Kita belajar dari Tuhan Yesus yang lemah lembut dan rendah hati supaya memiliki hati yang tenang. Banyak kali hati kita jauh dari hati Tuhan. Hati kasar dan penuh kebencian, hati penuh kesombongan yang tidak menunjukkan jati diri kita sebagai pengikut Kristus. Banyak orang memang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan tetapi hati mereka kasar, tanpa belas kasih kepada sesama manusia. Kita butuh revolusi mental dalam hidup rohani supaya menjauhkan rasa benci dan iri hati dalam diri kita. Berusahalah untuk meringankan beban sesamamu hari ini.

PJ-SDB

Leave a Reply

Leave a Reply